Mohon tunggu...
Faqih Ashri
Faqih Ashri Mohon Tunggu... Teknisi - The Revolutionist

Bima City, 06-02-1990 Menulis untuk mengetahui rahasia tak tertulis, mendamba setiap pengalaman baru yang tak terlupakan.. City Planner, Content Writer, YouTuber. www.faqihashri.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kapan Bank Bisa Lebih "Manusiawi"?

2 Juni 2020   06:34 Diperbarui: 2 Juni 2020   07:04 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : www.pexels.com

"Pak faqih, untuk tagihan bulan Mei harus dibayarkan paling lambat tanggal 29 ya biar tidak kena denda. Kami menunggu setoran dari bapak. Terima kasih."

Kalimat diatas berasal dari suara seorang operator sebuah bank BUMN yang hampir bosan saya dengar setiap mendekati akhir bulan. Mending kalau mereka hanya menghubungi via telepon saja, tapi nyatanya lewat SMS juga. Jika telepon dan SMS tidak ditanggapi, biasanya di "terror" lagi lewat Whatsapp. Pernah beberapa kali juga dihubungi bahkan sebelum menyentuh tanggal 25. Kita sedang serius kerja di depan laptop, tiba-tiba ada nomor tak dikenal memanggil, kan risih juga. 

Sekarang pihak bank sudah hebat. Mereka sudah jarang menggunakan nomor kantor untuk mengingatkan nasabahnya. Nomor kantor dengan kode area Jakarta sangat mudah dikenali, apalagi muncul di akhir bulan. Debitur akan sangat malas untuk mengangkatnya. Menurut hemat saya, pihak Bank toh pasti punya data kecenderungan seorang debitur itu membayar tagihannya tanggal berapa. 

Misalnya seorang pegawai negeri, kreditnya sudah berjalan selama 2 tahun dari total 10 tahun yang tertulis di perjanjian kredit. Selama 2 tahun berjalan pegawai negeri tersebut selalu rutin membayarkan pada tanggal 28 setiap bulannya tanpa pernah telat. Melihat rekam jejak itu saja, harusnya kan pihak bank baru boleh "kebakaran jenggot" jika pegawai tersebut belum bayar setelah melewati tangggal 28 setiap bulannya.

FLASHBACK

Sejak tahun 2014 saya mulai bekerja sebagai karyawan tetap di salah satu bank plat merah, setelah berhasil melalui tes yang berjenjang dan cukup banyak. Dorongan untuk memperoleh penghasilan dan gengsi membuat saya mencoba menjajaki peruntungan di sektor perbankan. Saya tipe orang yang tidak ingin berada di zona nyaman. 

Selama di perbankan, saya berusaha membuat terobosan baru bahkan sejak tahun-tahun awal saya diterima bekerja. Hasilnya, saya sering dikirim ke berbagai event mewakili perusahaan. Waktu terus berjalan, pengahasilan dan fasilitas mengalir terus dengan nominal yang sangat cukup untuk bisa terus membuat asap dapur mengepul, bahkan masih bisa disisihkan untuk tabungan.

Tidak ada masalah, namun masalah terbesar muncul dari nurani saya sendiri. Setiap pergantian waktu, pikiran saya tidak pernah berhenti merenung. Apa ini pekerjaan yang benar-benar dambakan? Penghasilan besar tapi kok seperti tidak bisa dinikmati setiap bulannya? Uang yang dihasilkan rasanya menguap begitu saja tertutupi olehnya capeknya bekerja di dalam tekanan.

Pergi pagi, pulang malam. Jika akhir bulan atau akhir tahun bisa pulang lewat tengah malam. Anak-istri di rumah sudah tidur ketika saya sampai di rumah. Dan keesokan paginya, saya harus berangkat lagi bahkan sebelum anak bangun dan melihat ayahnya. Pekerjaan selalu didasarkan pada target dan tekanan yang tinggi, bahkan beban itu semakin bertambah setiap tahunnya. Sebab, dunia perbankan merupakan bisnis yang bergantung pada keuntungan (laba), yang keuntungan tiap tahun harus lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Itu yang dinamakan pertumbuhan bisnis, dari situ sebuah bank terus hidup.

Suatu ketika saya pernah menawarkan kepada pimpinan, sekiranya bank bisa memberikan bantuan untuk penghijauan dan pembangunan masjid yang saat ini sangat dibutuhkan oleh daerah. Tapi saran saya saat itu mental begitu saja, menguap dibawa oleh angin. Pasti karena tidak ada dampak untuk keuntungan dari sisi finansial, sehingga saran saya tadi diabaikan begitu saja. Ucapkan yang sering menjadi bahan guyonan di lingkungan orang-orang bank adalah : "Kita kan bukan lembaga sosial atau yayasan amal?!".  

Semakin kesini, saya semakin merasa jengah dengan semuanya. Nurani saya berontak. Selain karena sulit memperoleh Quality Time untuk keluarga, pekerjaan perbankan harus bekerja di bawah tekanan ekstra, serta makin tidak relevan dengan background pendidikan saya yang seorang sarjana teknik. Saya akhirnya memutuskan untuk resign (keluar) sebagai seorang banker tepat di penghujung tahun 2018. Saya mencoba mengadu nasib dengan mengikuti tes CPNS. 

Akhirnya, saya lulus. Sekarang saya sudah duduk di kursi birokrat, yang rumpun kerjanya sangat sesuai dengan background studi saya. Walaupun penghasilannya jauh lebih kecil dari pada zaman perbankan dahulu, tapi saya sangat menikmatinya. Waktu untuk keluarga lebih banyak, hidup tanpa tekanan yang terlalu tinggi, belajar dengan wawasan yang sesuai passion. Semua itu tidak akan bisa terulang dalam hidup. Intinya, kini saya lebih bahagia.

TAGIHAN DI MASA PANDEMI

Memang sih, sudah menjadi tugas bank untuk menjadi garda terdepan sebagai "mesin pencetak uang" bagi sebuah negara. Eksistensi dunia perbankan sangat menentukan berputarnya roda ekonomi sebuah negara. Secara umum, bank berfungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat berupa tabungan, untuk kemudian disalurkan kembali dalam bentuk kredit dengan bunga yang lebih tinggi dari pada bunga yang dibayarkan kepada penabung. 

Selisihnya tentu akan menjadi keuntungan bagi bank. Secara falsafah konstitusi, fungsi perbankan digambarkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 :"Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak".

Kita ketahui bersama, masa pandemi Covid19 seperti saat ini telah menjadi keresahan bersama seluruh bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Banyak sendi-sendi ekonomi yang runtuh dan tidak bisa diselamatkan. Jutaan orang kehilangan pekerjaannya akibat gelombang PHK. Tidak sedikit pula yang akhirnya hidup tanpa pemasukan karena bidang usahanya menyangkut langsung dengan pergerakan harian manusia. 

Mayoritas dari mereka hidup bergantung pada pinjaman dari perbankan. Sementara sistem perbankan saat ini hampir tidak mau mengenal alasan dalam bentuk apa pun terkait pembayaran angsuran. Penagihan datang membabi buta demi keberlanjutan "hidup" dunia perbankan itu sendiri. Tidak peduli dengan keberlanjutan hidup dari para debitur yang hidupnya tertatih-tatih di masa pandemi.

Jika ingin lebih peduli terhadap customer, harusnya seluruh perbankan di Indonesia bisa mendorong presiden untuk mengeluarkan kebijakan yang memang berpihak pada masyarakat pemilik pinjaman. Fakta yang terjadi, presiden hanya menyampaikan secara umum untuk memundurkan angsuran di tengah Covid19 bagi mereka yang terdampak pandemi.

Tapi seruan presiden ini dinilai tidak serta merta dikonversi secara menyeluruh hingga tataran action di lapangan, jadi terkesan hanya sebagai bumbu pemanis saja. Operator yang suaranya membosankan di cerita saya diatas tadi setiap bulannya tetap "meneror" para debitur yang memiliki pinjaman. Seakan semua perbankan ingin menunjukkan bahwa sebagai mesin pencetak uang, mereka harus terus bekerja seperti tidak terjadi apa-apa, demi memastikan ekonomi bangsa ini terus berjalan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun