Ramadan 1446 H baru saja berlalu, meninggalkan jejak rindu dan renungan mendalam di hati saya. Bulan suci yang dinanti-nanti ini selalu datang membawa atmosfer spiritual yang luar biasa: siang yang diisi puasa menahan diri, malam yang semarak dengan tarawih dan tilawah. Namun kini, seiring takbir Idulfitri berkumandang, saya merasakan sebuah kekosongan dan penyesalan. Saya bertanya pada diri sendiri, sudahkah Ramadan kali ini saya manfaatkan sebaik mungkin? Sayangnya, nurani saya menjawab bahwa ibadah dan amal saya selama sebulan penuh ini masih jauh dari maksimal.
Sebagai seorang Muslim, saya meyakini sepenuhnya bahwa Ramadan adalah bulan penuh keberkahan dan keutamaan. Allah SWT telah menjadikannya waktu istimewa untuk memperbanyak ibadah dan meraih ampunan-Nya. Inilah bulan diturunkannya Al-Qur'an, ketika rahmat Allah terbuka lebar bagi hamba-hamba-Nya. Rasulullah Muhammad SAW juga menggambarkan keistimewaan Ramadan dengan bersabda:Â
"Sungguh telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah mewajibkan kepada kamu sekalian untuk berpuasa. Pada bulan itu pintu-pintu surga dibuka dan pintu neraka Jahanam dikunci, dan setan-setan dibelenggu. Pada bulan itu ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Maka siapa yang tidak berusaha untuk mendapatkan kebaikannya, maka luputlah semua kebaikannya".Â
Hadits ini menyadarkan kita bahwa di bulan yang mulia ini, peluang memperoleh pahala dan ampunan terbuka selebar-lebarnya -- betapa ruginya jika dilewatkan begitu saja.
Keistimewaan Ramadan dan Janji Ampunan
Setiap Muslim tentu mendambakan meraih ampunan Allah di bulan Ramadan. Rasulullah SAW bersabda bahwa barangsiapa berpuasa di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Bukhari & Muslim). Ramadan bak ladang subur tempat menanam sebanyak mungkin amal kebaikan. Pahala setiap amal shalih dilipatgandakan nilainya di bulan ini dibanding waktu lainnya. Ibarat bonus besar-besaran, satu kebaikan sunnah nilainya bagaikan satu kewajiban, dan barangsiapa melakukan satu amalan fardhu, maka itu setara dengan 70 fardhu di luar bulan Ramadan.Â
Begitu istimewanya Ramadan, hingga para ulama pun mengingatkan: jangan sampai hari-hari di bulan puasa ini berlalu sama saja dengan hari-hari biasa. "Janganlah jadikan hari puasamu sama seperti hari ketika kamu tidak berpuasa". Artinya, Ramadan semestinya membawa perubahan nyata dalam intensitas ibadah dan kualitas diri kita.
Saya memasuki Ramadan tahun ini dengan penuh harap: berharap dapat menghapus dosa-dosa masa lalu, memperbanyak amal, dan meraih predikat takwa sebagaimana tujuan puasa yang Allah firmankan, "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa".Â
Di awal bulan, saya merancang berbagai target: khatam Al-Qur'an, qiyamul lail rutin, sedekah setiap hari, dan memperbaiki akhlak. Saya termotivasi oleh kisah para salafus shalih dan sunnah Nabi SAW yang memperbanyak ibadah di bulan suci ini. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia paling dermawan dalam kebaikan, dan beliau paling dermawan pada bulan Ramadan, teladan yang mendorong saya untuk lebih peduli kepada sesama selama Ramadan. Sayangnya, kini saat Syawal tiba, saya menyadari betapa sedikitnya target-target itu yang benar-benar tercapai.
Menyadari Ibadah yang Belum Optimal
Dalam perenungan setelah Ramadan ini, saya mencatat beberapa kekurangan utama yang membuat ibadah saya terasa belum optimal. Mungkin pengalaman saya ini juga menjadi pengalaman banyak orang.
Amal ibadah masih minim. Meskipun tidak meninggalkan kewajiban puasa dan shalat, saya merasa ibadah sunnah saya jauh dari cukup. Tilawah Al-Qur'an yang saya lakukan tak seberapa, jangankan khatam 30 juz, membaca beberapa lembar mushaf per hari pun kadang terlewat. Qiyamul lail dan tarawih sering saya jalani dengan tergesa atau bahkan tertidur karena lelah. Padahal saya tahu, seharusnya setiap malam Ramadan sangat berharga untuk mendekatkan diri pada-Nya, terutama dengan adanya malam Lailatul Qadar yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Ketika mengingat sabda Nabi bahwa "Pada bulan itu ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan", hati saya miris, apakah saya sudah bersungguh-sungguh mengejarnya? Jawabannya, sayangnya belum.