Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Nur] #4 Tarjo Blantik

28 Desember 2015   08:44 Diperbarui: 28 Desember 2015   08:55 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  ilustrasi

Tarjo, lelaki lima puluh tahun itu turun dari sepeda motor tua berwarna merah kusam miliknya. Ia baru saja datang dari pasar hewan, tempat ia mengais rejeki berdagang hewan ternak. Di teras rumahnya ia mendapati keadaan yang membuatnya risih. Keadaan teras itu tak berbeda dengan keadaan di depan kandang kambingnya di samping rumah. Kotor oleh sampah dedaunan atau rumput, bekas kunyahan tebu, tahi ayam, kulit pisang, kulit kacang, plastik bekas jajanan snack anak-anaknya, dan entah apa lagi. Ia teringat delapan tahun lalu ketika mendiang Sutinah, istrinya, masih hidup. Meskipun rumahnya adalah rumah bata merah yang belum diplester, tapi bersih, sebab Sutinah resikan. Di waktu sore atau malam, orang-orang senang berkumpul di teras rumahnya untuk ngobrol karena tempatnya bersih dan nyaman. Sekarang teras itu, seluruh rumah berserta halaman dan pekarangannya benar-benar njembrung.

Tarjo memiliki dua anak perempuan dan dua anak laki-laki. Anak perempuan pertama sudah menikah di umurnya yang ke 18. Anak perempuan keduanya masih bersekolah di Madrasah Aliyah. Tapi kedua anak perempuannya tak satu pun yang mewarisi sifat resikan ibu mereka, Sutinah. Tarjo tak bisa berharap dari kedua anak-anak laki-lakinya yang masih SD. Keadaan demikian membuat beban pikiran tersendiri. Pada pagi hari adalah waktu di mana Tarjo menjadi bapak sekaligus ibu untuk ketiga anaknya. Terkadang ia berharap, Mahmudah, anak kedua bisa sedikit mengurangi bebannya. Paling tidak sebagai seorang anak perempuan yang sudah SLTA ia sudah bisa mengurus dirinya sendiri. Tapi kenyataannya, Mahmudah sama merepotkannya dengan kedua adik laki-lakinya yang masih SD itu. Harus dibangunkan berkali-kali, giliran bangun sudah pasti rebutan untuk mandi. Sarapan adalah saat ia pasti akan bertengkar dengan kedua adiknya dalam bentuk pertengkaran segitiga. Sebesar itu Mahmudah belum memiliki kesadaran untuk mencuci bajunya sendiri dan belajar mengerjakan pekerjaan dapur. Ayah merekalah yang harus mengerjakannya.

Tarjo duduk di amben teras tanpa mempedulikan keadaan kotor di sekelilingnya. Ditebarkannya pandangan ke sekitar. Di setiap sudut yang tersapu pandangan matanya, semuanya tampak kotor dan kusam. Seketika ia mendapati sebuah kesadaran yang mendalam, betapa berartinya seorang Sutinah yang semasa hidup nyaris tak ia anggap kecuali sebagai orang yang harus mengurusi rumah, dan hanya itu saja. Sutinah yang ia anggap terlampau resikan, terlampau cerewet, pelit, fanatik, dan menyebalkan, adalah seseorang yang telah memberinya keadaan rumah yang nyaman, bersih, damai. Ketika Sutinah pergi untuk selamanya, pergi pula kenyamanan, kebersihan dan kedamaian dalam rumah ini.

Ia sadar jika ia terlampau ngeman dan memanjakan anak-anaknya, dan keberatan jika Sutinah dulu ‘memaksa’ mereka untuk bahu membahu belajar mengerjakan pekerjaan di dalam rumah. Aturan Sutinah dalam hal lain pun tegas, setiap waktu sembahyang semuanya harus sembahyang, tak ada uang jajan kecuali uang jajan sekolah. Sekarang terbukti, dengan dimanjakannya mereka, maka sekarang kerepotan justru menumpuk padanya. Jika disuruh sembahyang, apalagi disuruh bersih-bersih rumah, mereka sudah terbiasa beralasan. Tapi jika minta jajan, maka harus ada uang jajan itu dalam sekejap. Celakanya, mereka tak kenal waktu dalam urusan jajan.

“Kalau saja umurmu tak pendek, Nah, Nah,” gumam Tarjo mengenang mendiang istrinya, “memang aku yang goblok. Kau ingin mendidik mereka dengan benar, tapi aku senang membebaskan mereka. Sekarang aku sendiri yang repot.”

Perasaan bersalah muncul di benak Tarjo jika mengingat akibat dari kebebasan yang ia berikan pada anak-anaknya. Muslikah, anak tertuanya, yang sepeninggal ibunya merasa bebas dari segala aturan dan tekanan, suatu hari membawa pulang sesuatu yang sangat memalukan sekaligus menyesakkan. Muslikah hamil. Rasanya seperti dibedaki kotoran oleh anaknya sendiri. Perasaan terkejut dan malu itu membuatnya kesetanan dengan menampari Muslikah sampai lemas, lalu pergi mendatangi laki-laki pacar dari Muslikah, menghajarnya hingga babak belur. Pada akhirnya Muslikah dinikahi pacarnya, tapi semuanya sia-sia saja sepertinya. Perasaan wirang dari kenyataan itu ternyata seperti kotoran di muka yang tak pernah bisa dibersihkan. Ia tetap seorang ayah yang tak bisa menjaga anak perempuannya.

Sekarang anak keduanya, Mahmudah, sudah memperlihatkan gejala yang sama. Bukan sekali dua kali ia mendengar selentingan jika Mahmudah berhubungan dengan teman sekolahnya yang berasal dari dusun Bekelan, yang bertetangga dengan dusunnya sendiri, Sampang. Sering dipergoki orang sedang ngumpet berdua-duaan di tegalan. Setiap kali itu ditanyakan pada Mahmudah, setiap kali itu pula anak itu mengelak. Belakangan anak perempuannya itu pun sudah mulai berani menjawab dengan ketus jika ayahnya menanyakan sesuatu yang tak disukainya, atau memerintahnya mengerjakan sesuatu yang tak ingin dikerjakannya.

Tarjo sadar, mengeluh pun percuma. Semua ini berawal dari kebiasaannya yang terlalu sayang dengan anak dan membebaskan mereka. Jika dulu ia malas bangun Subuh ketika dibangunkan Sutinah, sekarang ia harus bangun sebelum Subuh untuk memasak nasi, mencuci pakaian mereka, mencuci piring-piring dan peralatan memasak yang kotor, dan semua pekerjaan yang dulu dikerjakan Sutinah. Kesibukan itu akan ditambah segala keributan jika anak-anaknya sudah bangun. Mulai dari berebut mandi lebih dulu, pertengkaran dalam sarapan, keributan persiapan sekolah, dan seterusnya. Tarjo baru bisa menarik nafas lega jika mereka sudah menerima uang jajan masing-masing dan berangkat sekolah.

Setelah pagi dengan ‘pekerjaan perempuan’, Tarjo berubah peran kembali ke seorang ayah yang harus mencari nafkah dengan pekerjaan laki-laki. Tempatnya bekerja sebagai Blantik adalah di pasar hewan. Ia akan menuju berbagai pasar tergantung hari pasarannya. Wage ia berada di Pasar Windusari, Kliwon di Pasar Muntilan, Legi di Pasar Bandongan, Pahing di Pasar Mertoyudan, dan Pon di Pasar Selopampang. Sepulang dari pasar ia akan berkeliling dusun-dusun untuk mencari orang-orang yang ingin menjual kambing atau sapi. Jika ada dan modalnya cukup maka ia akan membelinya dengan harga bakul. Tapi jika modalnya tak mencukupi, maka ia akan mengundang kawan blantik yang lain untuk patungan membeli ternak itu. Esok harinya ia akan membawanya ke pasar hewan yang buka untuk dijual.

Tak setiap waktu ia mendapat ternak dagangan, karena tak setiap waktu pula orang menjual ternak. Jika dalam keadaan begitu maka Tarjo tetap akan ke pasar dan di sana ia akan membantu kawan-kawan blantiknya yang memiliki dagangan ternak dengan berkeliling menemui pengunjung pasar yang ingin membeli ternak. Kepada mereka ia akan menawarkan sambil merayu. Jika berhasil menjual, ia akan akan mendapat persen dari kawan blantik yang memiliki ternak itu. Keadaan yang sama juga akan terjadi jika ia yang memiliki dagangan ternak. Akan ada banyak teman blantik yang membantunya ‘menjualkan’, dan ketika laku, kepada mereka ia juga harus memberikan persen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun