Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Seringai

2 Maret 2016   23:00 Diperbarui: 3 Maret 2016   01:15 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber : Seringai"][/caption]Wajah jelek dengan bau mulut tak tertahan itu menyeringai. Kepuasan jelas tergambar di sana. Dan kurasa pasti terasa luar biasa dalam perasaannya. Tubuhnya yang kecokelatan tampak berminyak oleh keringat yang membasahi tiap jengkal permukaan kulitnya dan menebar baus busuk. Erangan panjangnya baru saja mengakhiri ‘pembantaian’ yang dilakukannya padaku. Ya, pembantaian. Hanya itu kata yang tepat untuk menggambarkan perbuatannya padaku.

“Utangmu sudah lunas. Aku tak akan menuntut apa-apa lagi,” ujarnya sembari menyambar pakaiannya yang bertebaran di lantai. Lelaki itu memakainya kembali dengan seringai yang betah tinggal di bibir hitamnya.

Harusnya aku menarik nafas lega, karena sejak malam ini aku akan terbebas dari kewajiban membayar hutang yang bertumpuk jumlahnya dan aku harus ‘mencicilnya’ seminggu dua kali selama tiga tahun. Malam ini adalah ‘cicilan’ yang penghabisan, dan seharusnya dunia gelapku yang pengap selama bertahun-tahun akan berakhir. Esok adalah hari-hari yang lapang dan setiap tarikan nafas berisi udara segar.

Aku selalu berpikir begitu selama aku menantikan saat hutang yang ditinggalkan suamiku pada lelaki bau busuk itu benar-benar lunas. Benar, sekarang hutang itu sebentar lagi akan lunas. Tapi aku merasakan ada yang akan hilang setelah ini.

Penyebabnya adalah, sejak beberapa bulan terakhir ini, lelaki bau busuk itu selalu meninggalkan amplop berisi uang setiap kali aku selesai ‘membayar cicilanku’. Sesuatu yang kutolak pada awalnya, karena aku melakukan itu untuk membayar hutangku, bukan menjual diriku.

“Terima sajalah, aku merasa senang karena kau sungguh-sungguh dalam urusan hutangmu,” kata lelaki itu. Aku bimbang dan mengutuk kemiskinan yang begitu lengket melekat pada hidupku.

Maka sejak uang itu tak bisa kutolak, aku merasa bahwa uang itu merubah perangaiku. Kesadaranku sendiri bahkan tak cukup untuk mengembalikannya. Jika mulanya aku selalu merasa lebih baik mati setiap datang hari di mana lelaki bau busuk itu akan datang untuk menagih ‘cicilanku’, kini uang itu membuat aku menantikannya. Dan jika mulanya aku berharap ‘cicilan’ hutangku segera lunas, kini uang itu juga yang membuatku berharap, hutangku tak pernah lunas.

“Apakah hutangku sudah benar-benar lunas?” aku bertanya. Lelaki bau busuk itu mengangguk. Padahal aku berharap ia berbohong dan menjawab, masih sepuluh atau dua puluh kali lagi.

“Aku harap kau sudah menghitungnya dengan cermat. Aku tak ingin suatu hari kau datang dan mengatakan kau salah menghitungnya,” imbuhku.

“Tak usah khawatir,”sahutnya sambil mengambil sebuah amplop dari saku celananya yang baru saja kembali dipakainya. Amplop itu terlihat tebal. Bahkan lebih tebal dari sebelumnya. Aku menelan ludah dengan hati kecilku mengutuk diriku sendiri.

“Ini untukmu,” ia menyerahkan amplop tebal itu padaku. Hati kecilku sudah serak berteriak agar aku menolaknya. Tapi tanganku menerimanya begitu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun