Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berebut Tulang

26 Februari 2016   10:28 Diperbarui: 26 Februari 2016   11:38 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Satu setengah tahun lalu, aku merasa prihatin dengan Ayah dan Ibu. Mereka yang rukun dan bahagia tiba-tiba bertengkar hebat dan memutuskan untuk pisah ranjang. Ibu untuk sementara ‘kembali’ ke rumah Nenek, Ayah tetap tinggal di rumah, dan aku sendiri dengan ikhlas wara-wiri dari rumah ini ke rumah Nenek.

Hubunganku dengan Ayah sama dekatnya dengan Ibu, jadi, keadaan itu cukup membuat fokusku pada kuliah terganggu.

Penyebabnya sepele bagiku, tapi mungkin tidak bagi Ayah atau Ibu. Mereka berbeda pendapat dalam pemilihan presiden. Keadaan politik yang memanas menjelang pemilihan presiden hingga setelah mahkamah konstitusi memutuskan menolak gugatan calon presiden yang tak terpilih, ikut memanggang keharmonisan Ayah dan Ibu.

Buntutnya, Ayah memutuskan untuk pisah ranjang ketika calon presiden idolanya kalah dalam gugatan di mahkamah konstitusi.

Ibu lantas berkemas dan pulang ke rumah Nenek. Sejak itu Ibu berangkat dan pulang kantor dari dan ke rumah Nenek. Aku diberi kebebasan untuk memilih ikut Ibu, atau Ayah. Tapi karena aku sayang keduanya, aku memilih seminggu tinggal di rumah, dan seminggu menemani Ibu di rumah Nenek.

Waktu-waktu selanjutnya adalah waktu yang menyiksa bagiku. Aku kehilangan selera terhadap semua hal termasuk kuliah. Aku bahkan merasa trauma dengan televisi, televisi menjadi seperti hantu, dan acara berita di televisi tak ubahnya film horor bagiku. Karena dari berita-berita gencar itulah, Ayah dan Ibu bertengkar hebat.

Kakek sempat memarahi Ibu ketika mendengar alasan mengapa Ibu dan Ayah sampai pisah ranjang.

“Rebutan balung tanpa isi,” kata Kakek dengan ketus. Aku yang tak tahu artinya mendapat penjelasan dari Nenek, bahwa arti ucapan Kakek itu adalah, berebut tulang yang tak bersungsum. Konyol, dan tak ada gunanya.

Di bulan-bulan awal mereka pisah ranjang, Ayah tak pernah sekalipun menengok keadaan Ibu. Ayah selalu hanya memintaku untuk mengatakan pada Ibu bahwa uang belanja untuk Ibu sudah ditransfer lewat bank. Dan jawaban Ibu setiap kali pesan Ayah itu kusampaikan adalah bahwa uangnya sendiri lebih dari cukup ia dan aku.

Ketika bulan-bulan berlalu tanpa tanda-tanda kepastian Ayah dan Ibu, Kakek datang ke rumah dan bertanya pada Ayah, “enak balunge?”

Maksudnya adalah, ‘enak tulangnya?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun