Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Yang Tersisa Setelah Pandemi

3 Juni 2021   07:25 Diperbarui: 3 Juni 2021   14:17 1910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

New Normal telah dimulai. Hari-hari yang membosankan karena pandemi akan berakhir. Ayah dan ibu mulai kembali masuk kantor. Cuma aku dan adikku yang belum pasti kapan harus masuk sekolah lagi. Bagiku sih, setahun lagi tidak masalah.

Semalam ayah uring-uringan karena tagihan listrik membengkak tiga kali lipat dari biasa dan tagihan internet juga tak kalah mengejutkan. Ayah mulai menyalahkan perusahaan listrik, lalu pemerintah, lalu dan lalu, sampai akhirnya ke ibu, lalu aku dan adikku.

Kata ayah kami menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Mendengar dirinya ikut dituding, ibu membalas dengan sengit. Ayah lupa bahwa dalam membela diri dan mengomel ibu sama sekali tak memiliki pesaing.

Melihat ayah tak bisa berbuat banyak, aku bergabung dengan ibu.

"Seperti ayah bergelap-gelapan saja selama kita diam di rumah. Laptop ayah menyala terus, tivi favorit ayah di ruang gym?" aku ikut berkampanye untuk ibu. Dan aku sendiri.

"Laptop ayah menyala karena ayah harus bekerja dari rumah. Tivi di ruang gym menyala karena ayah harus olahraga!" seru ayah.

"Pasti ayahmu berpikir itu tak memakai listrik dan jaringan internet," timpal ibu dengan sengit.

Ayah diam lagi. Artinya dia tak punya cukup alasan lagi untuk terus menyalahkan kami tanpa melibatkan dirinya sendiri dalam kasus tagihan listrik dan internet yang membengkak ini.

Pagi pertama ayah dan ibu masuk kantor lagi setelah pandemi jadi pagi yang agak dingin di antara mereka, gara-gara tagihan listrik dan internet. Suasana meja makan kurang berselera seperti sebelumnya bahkan selama pandemi.

Setelah mereka berangkat, kupikir suasana itu akan mencair lagi ketika mereka pulang malam nanti. Aku mengenal ayah dan ibu cukup baik. Mereka cukup kompak dan romantis untuk sepasang suami istri yang anak pertamanya sudah kelas 11 SMA. Teman terdekatku mengakui hal itu, dan baginya itu mengherankan karena ayah ibunya, katanya, seperti bukan suami istri. Hubungannya cukup kaku, meskipun tidak buruk.

Jadi, masalah tagihan listrik dan internet ini, meskipun sempat membuat suasana makan pagi jadi menegangkan, kurasa akan kembali normal saat makan malam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun