Tarjo menghela nafas. Ia enggan untuk mencerna kata-kata Pakdhe Noto barusan. Ia tak merasa repot dengan kesendiriannya, tak pula keberatan harus mengerjakan pekerjaan perempuan. Ia merasa cukup dengan nrima. Kenakalan anak-anaknya yang sulit dikendalikan. Itu saja yang membuatnya resah. Tentang teman hidup, pertimbangan, atau apa pun namanya yang dalam bahasa jelas adalah menikah lagi, tak ingin dipikirkannya. Aku tua, duda, dan seorang blantik, dengan ketiga anak yang nakal. Janda pun belum tentu mau, apalagi anak perawan. Kalaupun ada yang mau, paling-paling ya, lonthe-lonthe Gembol, dan yang mereka maui tak ada lain kecuali uangnya, bukan tuanya, bukan dudanya, bukan blantik dengan bau badannya.
Dalam beberapa jurus kemudian Tarjo menyadari bahwa bukan badannya saja yang bau kambing, tapi perilakunya sama baunya dengan kambing. Kebiasaan jajannya sudah layaknya candu. Apalagi sejak Sutinah meninggal, ia semakin bebas dengan segala macam jajanan. Ia tak bisa memasak seenak Sutinah, jadi jika ingin makan enak, kemana lagi kalau bukan warung. Sejak Sutinah meninggal, ia selalu kesepian. Jika dulu ia takut jajan, maka sejak Sutinah meninggal, ia cukup punya alasan untuk jajan. Obat penghilang stres.
Tiba-tiba Tarjo merasa sangat malu kepada Pakdhe Noto yang masih duduk di hadapannya dengan nafas tua yang seperti lelah.
“Aku sudah tua dan anak-anakku nakal, aku pilih nrima saja, Pakdhe,”
“Tapi kamu akan sulit untuk berubah kalau kamu sendiri,”
“Entahlah, Pakdhe,”
......
Catatan :
Nang (Kanang) : panggilan kesayangan untuk anak laki-laki
Direm : dikendalikan