Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Nur] #5 Kecanduan Jajan

4 Januari 2016   09:56 Diperbarui: 4 Januari 2016   10:18 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebenarnya, ketika anak bungsunya mulai menangis dan melemparinya, sudah menarik perhatian seseorang. Seseorang yang sudah hafal dengan tabiat anak-anak Tarjo jika meminta sesuatu pada ayahnya, dan hafal pula tabiat Tarjo yang akan mengalah kalau anaknya sudah merajuk. Tapi siang ini ia mendapati keadaan yang di luar kebiasaan mereka. Tarjo bereaksi atas kenakalan anaknya. Maka ketika ia mendapati Tarjo mengikat anak bungsunya dengan tali tambang dan membopongnya ke dalam, maka dengan tertatih-tatih ia bangkit dari duduknya di teras rumahnya yang berada di seberang jalan dusun dan posisinya berhadapan dengan rumah Tarjo. Di ambang pintu rumah blantik itu ia mendapati Tarjo tengah menghajar anak bungsunya.

Wis, Jo,” katanya dengan suara parau. Suara orang tua yang bergetar.

Tarjo menoleh ke ambang pintu dan mendapati pemilik suara yang memintanya untuk menghentikan amarahnya. Tarjo menarik nafas dengan rakus lalu menghembuskan layaknya seseorang yang baru timbul dari dalam air. Kesadaran mulai merayapi dirinya setelah beberapa saat ia tenggelam dalam kesetanan.

“Sabar, Ngger, sabar,” kembali suara parau itu memintanya dengan sangat.

Tarjo duduk di kursi penjalin. Tanpa disadarinya ia menangis dalam senyap. Air mata berleleran tanpa disadarinya. Rasanya terlampau menyedihkan sebagai seorang ayah tak mampu mengendalikan anak-anaknya. Ia merasa tak memiliki wibawa dan penghargaan dari anak-anaknya.

Orang tua itu, Pakdhe Noto namanya, mendekat kepada Tarjo dengan langkah tertatih dan duduk pula di kursi lain yang berhadapan. Beberapa lama orang tua itu komat kamit seperti ingin mengucapkan sesuatu. Tapi berulangkali urung dan urung kembali. Tarjo masih dalam kendali amarahnya. Segala nasehat justru akan membuat keadaan tak ubahnya nyala api yang hampir padam disiram minyak. Api akan kembali menjadi-jadi. Maka orang tua itu kemudian mengalihkan pandangannya kepada anak bungsu Tarjo yang terikat di saka guru dan menyisakan isak dari sisa tangisnya yang hebat. Ingin ditolongnya anak itu, tapi ia sendiri takut dengan begitu akan membuat anak itu ngadi-adi. Setidaknya sekali-sekali anak itu memang harus merasakan akibat dari sebuah perbuatan. Anak itu terbiasa mendapatkan semua keinginannya dalam sekejap. Sekali waktu harus diajarkan bahwa kadangkala tak semua keinginan bisa didapat.

“Membiarkan anak, menuruti semua keinginan anak, pada akhirnya merepotkan kamu sendiri bukan? Kamu jadi tak punya cara untuk mengendalikan mereka. Ngajar anak memang bukan perkara sepele. Anak itu titipaning Gusti. Kalau kita bisa mendidik akan menjadi anugerah, kalau tidak maka akan menjadi fitnah. Tapi jangan kamu hajar begitu, bisa klenger anakmu,” Pakdhe Noto ikut meratap.

“Kurang bagaimana aku ini, Pakdhe. Semuanya kulakukan untuk anak. Tapi semakin lama aku ini malah semakin tak berharga. Pakdhe pernah melihat aku memaki mereka, memukul mereka? Aku eman dengan anak-anakku, tapi lihat Pakdhe, aku diasok-asokke, hanya, hanya karena aku mencoba mengendalikan mereka,” keluh Tarjo, “dosa apa sebenarnya aku ini, Pakdhe?”

Pakdhe Noto bingung untuk menanggapi. Ia sendiri miris membayangkan menjadi Tarjo, seorang laki-laki yang ditinggal mati sang istri dan harus mengurus anak-anaknya seorang diri. Menjadi bapak sekaligus ibu. Meskipun kenakalan anak-anaknya boleh jadi karena kebiasaannya memanjakan mereka, tapi tentu saja tak sepenuhnya bisa disalahkan. Seseorang harus mencari nafkah sekaligus mengurus rumah, cepat atau lambat pasti akan kewalahan. Pakdhe Noto mengamati Tarjo yang dari hari ke hari semakin lusuh. Tampangnya memang tipikal blantik yang lusuh. Pekerjaannya yang bergulat dengan kambing atau sapi bahkan membuat aroma tubuhnya pun kental dengan aroma tubuh hewan-hewan itu. Tubuhnya yang kecoklatan tampak gemuk dari kebiasaannya makan enak berlemak di warung.

Jajan, sekali lagi kebiasaan itu membuat seseorang tak berselera dengan makanan yang ada di rumah, termasuk anak-anaknya. Jajan pula yang membuat ekonominya jalan di tempat, meski setiap hari ia mendapatkan uang dalam jumlah yang berlipat kali lebih banyak daripada seorang tukang batu, tanpa harus memeras terlalu banyak keringat. Ironisnya, ketika para tukang batu justru bisa memperbaiki rumah, Tarjo masih bertahan dengan rumah batanya yang lusuh. Banyak tetangga, terutama yang tak menyukai, mengatakan bahwa Tarjo tak bisa memperbaiki rumah dan ekonominya karena uangnya habis untuk jajan ia dan anak-anaknya. Terlalu mengadili sebenarnya, tapi semua itu memang beralasan karena kebiasaan jajan Tarjo dan anak-anaknya sangat mencolok dilihat oleh semua orang di dusun Sampang.

“Kamu butuh teman, Jo. Tanggung jawabmu bukan hanya masa depan anak-anakmu saja, tapi juga masa depanmu sendiri. Kamu butuh pertimbangan,” kata Pakdhe Noto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun