Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Nur] #3 Di Balik Undangan

21 Desember 2015   08:49 Diperbarui: 21 Desember 2015   09:26 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Nah, kan, melamun lagi?”

Nur menggeleng sambil tersenyum semanis-manisnya demi menyembunyikan bagian yang getir dalam-dalam.

“Datang, ya?”

“Insya Allah, aku akan datang,” sahut Nur.

“Jangan lupa ajak calonnya ya?”

Angan Nur melambung. Membayangkan seorang laki-laki menemaninya datang ke pernikahan Umiroh. Mereka memakai batik sarimbit dan duduk di depan panggung di mana Umiroh dan suaminya duduk di pelaminan dan menebar senyum. Tapi dengan segera angan itu kembali bertengger di benaknya dan ia keluar dari dalam sana mendapati kenyataannya kembali.

Nur mengangguk saja agar Umiroh berhenti menggodanya. Tentu saja ia akan datang untuk kondangan dan nyumbang saja, sebagaimana kebiasaan para pegawai toko yang menerima undangan pernikahan dari teman sesama pegawai. Mereka akan datang agar ketika suatu hari ia punya hajat, ia mendapat mendapat balasan kunjungan dan sumbangan. Nur ingat, mungkin sudah puluhan kali ia kondangan dan nyumbang di acara pernikahan teman pegawai, atau pegawai toko lain yang berada di sekitar toko Sumber Teknik yang saling kenal. Dan entahlah, apakah ia akan berkesempatan untuk mendapat kunjungan balasan sekaligus sumbangan dari mereka, karena ia belum mungkin mengundang mereka hingga saat ini.

Umiroh meninggalkannya untuk menemui kawannya yang lain untuk kepentingannya ‘meminta doa restu’ itu. Undangan pernikahan adalah isyarat halus seseorang mengharapkan kehadiran sekaligus sumbangan atas nama berbagi kebahagiaan. Undangan yang diterima secara tidak langsung menjadi ‘akad’ yang mengikat bahwa seseorang harus datang memenuhi undangan itu dan membawa ‘sesuatu’. Ketidakhadiran – apa pun alasannya – memang tak akan berakibat apa pun secara langsung. Tapi pergunjingan ditambah perasaan bersalah dari penerima undangan yang tak hadir merupakan ‘hukuman’ tersendiri yang menyudutkan.

Menerima undangan berarti menerima kenyataan bahwa harus menyisihkan uang untuk sumbangan. Kebanyakan, mereka yang pernah mengundangnya sekarang sudah berhenti bekerja, dan celakanya, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang dari lain desa, bahkan lain kecamatan. Jika suatu hari ia menikah, ia tak akan bisa ganti mengundang mereka. Nur enggan memikirkan itu, tapi bagaimana pun itu tetap menjadi pemikiran tersendiri. Mendapat undangan tanpa kesempatan untuk ganti mengundang.

“Wah, si Umiroh, masih kecil sudah mau menikah saja. Kamu kapan, Nur? Disalip terus kok, tenang-tenang saja?”

Pertanyaan tanpa beban itu baru saja keluar dari mulut seorang Kasdi. Pegawai bagian depan yang sepertinya sedang akan mengambil sesuatu. Tapi di tangannya ia memegang sepucuk undangan yang sama seperti yang diterimanya dari Umiroh tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun