Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

[Nur] #1 'Semanis' Teh Pahit

14 Desember 2015   10:05 Diperbarui: 16 Desember 2015   21:58 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Ya, aku terkejut dan bangun. Aku melihatmu tidur pulas dan aku merasa sedih melihatmu setua itu belum juga berjodoh.”

Ngilu rasanya mendengar ucapan nenek. Setua ini tapi belum juga berjodoh. Akankah aku berjodoh?

“Sejak mungkin dua tahun lalu, emakmu beberapa kali datang dalam mimpi dengan cara yang sama, menuntunmu, dan wajahmu penuh coreng moreng. Aku gelisah memikirkannya, baru tadi pagi aku sedikit paham setelah aku berbincang sebentar dengan Mbah Kaji Sono tentang mimpi itu. Dia prihatin juga denganmu, Nur.”

Suara hiruk-pikuk anak-anak yang berangkat sekolah mewarnai pagi yang sudah terang benderang. Bunyi induk ayam momong anak-anaknya yang menciap-ciap menjadi irama peningkahnya. Tapi di dalam rumah lusuh ini sunyi saja. Hanya sesekali pisau yang menghantam telenan dari gerakanku mengiris-iris cabai, bawang merah dan bawang putih.

“Kata Mbah Sono, anak gadis punya kecantikan lahir dan kecantikan batin. Kecantikan lahir adalah cantiknya wajah. Biar semakin cantik, anak gadis berhias dengan bedak pupur. Kecantikan batin adalah akhlak, kesopanan, perkataan halus, kejujuran, dan keimanan. Jika seorang gadis tak cantik wajahnya, ia masih bisa menutupinya dengan kecantikan batinnya. Aku percaya batinmu cantik, tapi mungkin kau kurang berhias untuk batinmu.”

“Apa maksud nenek?”

“Waktu Subuh, Nur. Seharusnya di umur tiga puluh lima, kau tak perlu harus dibangunkan berkali-kali. Sholat malam dan Sholat Subuh adalah bedak pupur yang belum kau gunakan untuk berhias.”

“Aku kan Sholat Subuh, nek?”

“Ya, tapi apakah selama ini kau akan bangun Subuh jika aku tak ada? Berhiaslah karena kamu ingin, bukan karena disuruh.”

Aku berhenti mengiris lagi. Aku ingin melayangkan protes, tapi hati kecilku terlanjur membenarkan ucapan nenek, jadi keinginan itu menguap.

“Memang anak gadis tak bisa lain selain menunggu, dan laki-lakilah yang harus datang. Tapi bukan berarti anak gadis hanya menunggu saja, kau harus bersiap dan berhias, karena kedatangannya adalah sewaktu-waktu.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun