“Hanya sepasang matamu itu saja, Nur. Kalau saja matamu waras seperti anak gadis lain, siapa yang tak suka denganmu. Badanmu bagus, berisi. Kulitmu bersih, dan rambutmu hitam, tebal, lurus, tapi lembut. Kamu juga tak ngorok dan ngiler di waktu tidur. Laki-laki akan senang menjadi suamimu. Kalau saja tak terhalang matamu...,”
Aku diam untuk menekan rasa sedih dalam-dalam, dan mencoba tak mengeluh. Ibarat membendung aliran air, aku menumpukkan apa saja agar air tak mengalir. Untuk beberapa detik aku bisa membendungnya, sampai kemudian aku sadar bahwa aku tak cukup punya banyak hal untuk membendungnya. Maka kesedihan membuat gerakanku mengiris cabai terhenti. Dari mataku air mengalir merambati pipi. Tanpa suara. Tapi tarikan nafasku lalu tersendat air yang juga memenuhi lubang hidungku. Jadilah, tangisan senyapku diketahui nenek.
“Kamu menangis, Nur?”
Aku tak menjawab, karena tak yakin jika suaraku akan terdengar normal seperti sebelum kesedihan membanjiri hatiku.
“Kekuranganmu hanya matamu saja, Nur. Hanya itu. Lelaki tak menganggapmu karena matamu. Tapi aku percaya, Tuhan punya kersa terhadapmu. Mungkin kau perlu berhias,” kata nenek lagi.
Tangis senyapku sedikit mereda, lalu aku mencoba membetulkan suaraku.
“Berhias?” tanyaku. Tapi usai pertanyaan itu, air dari hidung terasa meluncur lagi, sehingga secara spontan aku menariknya kembali dengan tarikan nafas kasar. Tangisku tak terdengar nenek, tapi tak bisa tersembunyi darinya.
“Ya, tapi bukan wajahmu. Bedak pupur bisa membuat segar dan cantik wajahmu, tapi tak bisa membetulkan matamu. Jadi bedak pupur tak cukup untuk berhias bagimu.”
Kata-kata nenek menyudutkan perasaanku. Entah apa maksudnya terus menerus menyebut tentang mataku. Kenapa kau terus menyebut mata pada cucumu yang juling, nek?
“Semalam aku merasa emakmu datang lagi. Ia menuntunmu dan menangis karena wajahmu coreng-moreng arang sehingga teman-temanmu tak mau bermain denganmu. Ia berkata bahwa kamu tak mau membersihkan arang yang mencorengi mukamu. Maka ia memintaku untuk menasihatimu agar mau membersihkan wajahmu. Aku menuruti emakmu, tapi kau keras kepala.”
“Nenek mimpi?”