Mohon tunggu...
Leon Wilar
Leon Wilar Mohon Tunggu... Jurnalis - Aktivis

Aktivis, Peneliti, Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Filosofi Wale, Foso Tumo'tol Hingga Rumamba

4 Desember 2022   23:47 Diperbarui: 4 Desember 2022   23:51 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Wale bagi orang Minahasa ibarat mikro kosmos. Di dalamnya tercakup tempat perlindungan, tempat ibadah, dan yang paling utama sebagai tempat belajar. Wale diibaratkan seperti inkubator, bahkan rahim, yang akan membentuk karakter manusia yang tinggal di dalamnya.


Oleh: Leonard Wilar
Editor: Rikson Karunden
g 


ORANG Minahasa memilik rumah khas yang disebut wale. Dahulu, wale atau rumah di daerah ini dibangun cukup besar dan dihuni oleh beberapa keluarga. Jenis rumah itu dikenal dengan wale wangko, rumah besar atau rumah panjang.

Pendirian wale punya tata cara khusus dan tidak boleh sembarangan. Semua melalui foso (ritus) Sejak awal proses pembangunan hingga tuntas, harus dikaitkan dengan alam sehingga jadi satu kesatuan. Wale harus menyatu dengan alam.

"Tata caranya sudah dimulai ketika proses pemotongan pohon, yang nantinya diolah menjadi kayu untuk bahan dasar pembuatan rumah," kata Rinto Taroreh, budayawan Minahasa asal wanua (desa) Warembungan.

Para leluhur, orang tua terdahulu, memiliki pengetahuan dan cara khusus untuk menentukan waktu dan cuaca yang tepat untuk memulainya. Proses pemotongan pohon juga harus melalui upacara "tumalinga ni koko", mendengar tanda burung manguni. Apabila tanda baik, biasanya keluarga yang akan mendirikan rumah, saat itu juga akan memotong pohon di hutan atau di kebun untuk dibawa ke rumahnya.

"Pohon yang digunakan bukan sembarangan. Orang tua dulu biasanya memilih dua jenis pohon sebagai bahan dasar. Pertama, pohon tahas atau cempaka. Kedua, pohon wakan. Pohon tersebut harus dipilih. Pohon yang digunakan itu pohon yang tidak posok atau tidak patah ujungnya saat bertumbuh. Terkena petir pun tidak bisa digunakan. Jadi harus mengunakan pohon yang bagus," ungkap Taroreh.

Menurutnya, orang tua dahulu memiliki alasan hingga menggunakan kedua jenis kayu tersebut. Pertama, kenapa kayu tahas karena kayu ini yang paling mengikuti musim. Apabila musim panas, kayu ini akan mengecil, dan ketika musim hujan akan mengembang. "Artinya 'bahidop', kayu itu hidup" ujar Taroreh.

"Kedua, kayu wakan ada getah yang gatal. Alasan orang tua mengunakan kayu ini, untuk mengetahui apabila ada orang yang berniat tidak baik masuk ke rumah, dapat diketahui. Kayu wakan biasa digunakan di atas ruang tamu. Apabila ada yang berkunjung duduk di ruang tamu, jika gelisah itu menandakan mereka memiliki niat tidak baik," jelasnya.

Fredy Wowor, budayawan Minahasa asal Sonder, juga menjelaskan hal yang sama. Menurutnya, proses pendirian wale harus diawali dari kesadaran tou (manusia). Ketika memiliki rencana untuk mendirikan rumah, doa dan berhubungan dengan Sang Pencipta jadi hal yang utama untuk memulainya sehingga dapat berjalan dengan baik. Bukan hanya itu, menurutnya pengetahuan membaca tanda-tanda alam yang dimiliki leluhur, jadi salah satu faktor yang diperhatikan dalam proses pendirian rumah.

Menanam pohon sudah jadi kebiasaan yang dilakukan orang tua sejak dulu. Itu dilakukan agar anak dan cucu bisa menikmatinya saat pohonnya sudah besar. Kesadaran itu sudah dimiliki orang tua, bahwa kayu tersebut akan bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Sehingga pohon yang ditanam sejak, nanti bisa dijadikan bahan dasar untuk mendirikan rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun