Tidak sama dengan aktivitas lainnya yang berbuah hasil instan seperti bernyanyi, melukis, menggambar dan lain sebagainya, bercocok tanam membutuhkan proses berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.
Selama proses ini juga diperlukan kerja keras dan komitmen untuk terus merawat dan memberikan nutrisi kepada tanaman hingga sampai menghasilkan yang kita dapat nikmati hasilnya.
Hal ini juga yang saya lakukan dengan anak saya ketika berhidroponik ataupun bercocok tanam dengan konvensional bahwa diperlukan proses yang melelahkan dan cukup panjang agar dapat menghasilkan bahkan jika tidak menghasilkan dan mengalami kegagalan karena terserang penyakit atau gagal tumbuh maka terkandung pesan bahwa kita tidak boleh menyerah dengan keadaan.
Anak saya memang terkadang sedih melihat beberapa tanaman kami tidak tumbuh, tapi dia coba bersikap positif atas keadaan dia cepat berfokus kepada tanaman lainnya yang masih hidup, pun kalau ada yang gagal semua dia kerap mengajak saya untuk kembali menanam dari awal agar dapat kembali menghasilkan.
Di awal perjalanan kami menanam, anak saya sering sekali bertanya kapan kami akan panen padahal baru kemarin menanamnya, namun seiring berjalannya waktu dan berkali-kali menanam akhirnya dia paham bahwa untuk panen dibutuhkan proses dan waktu yang tidak singkat. Dengan demikian dia pun akan sangat senang dan menghargai ketika panen atau hasilnya pun kita dapatkan.
Tanaman yang kami panen pun tak jarang kami bagi ke keluarga ataupun tetangga sekitar, untuk sam-sama merasakan hasil kerja kami selama beberapa waktu ketika menanam.
Keempat, Menjadi Media Pembelajaran tentang Ilmu Pengetahuan Alam
Saya mengingat saya ketika duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) baru paham tentang sistem fotosintesises, perlunya sinar matahari ketika fotosintesis, tanah yang gembur untuk media tanam, pupuk kompos, berbagai jenis benih dan bibit tanaman, dan lain sebagainya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!