Mohon tunggu...
Adrian Chandra Faradhipta
Adrian Chandra Faradhipta Mohon Tunggu... Lainnya - Menggelitik cakrawala berpikir, menyentuh nurani yang berdesir

Praktisi rantai suplai dan pengadaan industri hulu migas Indonesia_______________________________________ One of Best Perwira Ksatriya (Agent of Change) Subholding Gas 2023____________________________________________ Praktisi Mengajar Kemendikbudristek 2022____________________________________________ Juara 3 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Umum Tingkat Nasional SKK Migas 2021___________________________________________ Pembicara pengembangan diri, karier, rantai suplai hulu migas, TKDN, di berbagai forum dan kampus_________________________________________ *semua tulisan adalah pendapat pribadi terlepas dari pendapat perusahaan atau organisasi. Dilarang memuat ulang artikel untuk tujuan komersial tanpa persetujuan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Belajar dari India Sampai Sandiaga Uno untuk Peningkatan SDM Indonesia

19 Agustus 2019   13:29 Diperbarui: 19 Agustus 2019   13:50 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: old.presidentpost.id

Indonesia yang memiliki jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia dengan tingkat keberagaman yang sangat tinggi layaknya dua bilah mata pisau yang dapat menjadi bencana sekaligus aset yang sangat menjanjikan.

Merujuk data siaran pers Bappenas pada 22 Mei 2017 dinyatakan bahwa pada 2030-2040 Indonesia akan mengalami bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif yang berusia 15-64 tahun akan mendominasi sekitar 64% pada struktur kependudukan di Indonesia dibandingkan penduduk usia non produktif yaitu dibawah 15 tahun dan di atas 64 tahun.

Di sisi lain kita masih melihat merujuk pada data BPS per Februari 2019 terdapat angkatan kerja 136,18 juta orang dengan persentase Tingkat Pengangguran Terbuka sebesar 5,01% atau sekitar 7 juta jiwa, cukup besar untuk negara sebesar Indonesia. Selain itu juga per 2017 terdapat 63% tenaga kerja tersebut adalah lulusan sekolah menengah pertama atau lebih rendah.

Data-data diatas merupakan fakta-fakta tentang SDM Indonesia yang perlu dengan segera ditindaklanjuti dan dikaji.

Tantangan SDM Indonesia

Bak dua belah mata pisau yang bisa menciderai namun di sisi lain dapat membantu kita. Keberagaman dan kekayaan SDM Manusia Indonesia perlu dikelola dengan seksama dan komprehensif.

Pemerintah perlu dengan segera membuat strategi nasional yang masif untuk  memetakan SDM di Indonesia. Paradigma yang berubah tentang SDM di masa sekarang perlu dengan segera diadopsi dan difasilitasi oleh Pemerintah. SDM bukan lagi hanya sebagai objek kaku dari sebuah kebijakan, tetapi menjelma menjadi aset utama dalam mengelola sebuah negara. Konsep pemikiran Human Resources berubah menjadi Human Capital, karena manusia adalah aset terpenting dalam mengelola bangsa.

Secara pribadi saya mendukung gagasan Jokowi untuk memfokuskan pembangunan SDM pada 2020 ini. Karena jika tidak sekarang maka Indonesia akan kehilangan momentum menyiapkan generasi terbaiknya pada era bonus demografi 2030 sampai dengan 2040. 

Di samping itu juga, Indonesia harus mengejar ketertinggalan kualitas SDM kita dengan negar-negara populasi besar lainnya yaitu Republik Rakyat Tiongkok, India, dan Amerika Serikat termasuk juga negara tetangga kita di kawasan ASEAN. Berdasarkan penelitian Bank Dunia per akhir 2018, SDM Indonesia bercokol di peringkat 87 dari 157 negara. Suatu hal yang tidak menggembirakan jika kita melihat besarnya potensi dari SDM Indonesia. Indonesia juga masih tertinggal SDM-nya dibandingkan Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

Masalah utama dan paling dasar adalah pendidikan dan pengembangan keterampilan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kualitas pendidikan dan pengembangan keterampilan Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain. Dari anggaran pendanaan, kurikulum, pola pengajaran, dan lain sebagainya. Sesuai amanat UUD bahwa alokasi minimal 20% dari struktur APBN untuk pendidikan nyatanya bukan benar-benar untuk pengembangan pendidikan. Alokasi terbesar diserap justru dari anggaran rutin seperti gaji. Alokasi untuk pengembangan pendidikan justru alokasinya jauh lebih sedikit dari anggaran rutin tersebut.

Di samping itu, kita mengetahui bahwa pemetaan kurikulum yang short term dan cenderung tidak market oriented terbukti justru membebani para siswa di Indonesia. Kurikulum kita banyak yang masih berorientasi pada hasil yang tertulis dalam lembar ujian dengan mengesampingkan proses dan pendalaman materi serta orientasi pada kebutuhan dunia kerja baik lokal maupun global serta kemajuan teknologi terkini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun