Mohon tunggu...
Adrian Susanto
Adrian Susanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - aku menulis, aku ada

pekerjaan swasta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenapa Tiap Jelang Ramadan Harga Barang Naik?

24 Mei 2017   11:27 Diperbarui: 24 Mei 2017   13:16 16566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tidak lama lagi saudara-saudari kita muslim akan memasuki bulan suci ramadhan sebagai persiapan menyambut Hari Raya Idul Fitri. Dalam bulan ramadhan atau bahkan menjelang bulan ramadhan, berita tetap yang selalu menghiasi semua media massa adalah realitas kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Setiap kali menjelang dan sepanjang bulan ramadhan kita selalu melihat, menyaksikan dan mendengar bahwa harga-harga barang, terlebih barang sembako, naik dari biasanya. Kenaikan ini malah berdampak juga pada orang-orang yang sama sekali tidak bersentuhan dengan bulan ramadhan. Dan biasanya, kambing hitamnya adalah para penimbun barang.

Realitas naiknya harga kebutuhan pokok menjelang dan selama masa puasa ini seakan menjadi sebuah tradisi. Dari tradisi ini lahirlah tradisi lain seperti mengeluh. Umumnya kaum ibu-lah yang sering bersentuhan dengan tradisi keluhan ini. Hanya sedikit orang yang merasa bingung dengan realitas ini. Orang bingung karena ramadhan itu selalu dirayakan setiap tahun. Kenapa kejadian kenaikan harga barang ini selalu terulang lagi? Apa berarti selama ini tidak ada penanganannya? Sepertinya orang tidak belajar dari pengalaman, padahal keledai saja tidak pernah jatuh ke dalam lobang yang sama untuk kedua kalinya.

Sebenarnya realitas kenaikan harga barang di bulan ramadhan ini bisa dijelaskan dengan hukum ekonomi. Dalam hukum ekonomi (pasar), dimana persediaan barang sedikit dan permintaan akan barang itu banyak, maka dengan sendirinya harga barang itu akan naik. Naiknya harga ini bisa dipahami agar barang tidak hilang dari pasar.

Karena itu, hukum ekonomi (pasar) ini bisa diterapkan dalam fenomena harga naik pada saat bulan puasa, baik menyongsong maupun Sepanjang bulan ramadhan. Bisa dikatakan bahwa Menjelang ramadhan persediaan barang yang dibutuhkan sangat sedikit, sementara para pamakainya banyak. Hal ini membuat harga-harga barangnya menjadi naik. Sebagai contoh, telur. Pada hari biasa persediaan telur 1.000, sementara yang membutuhkannya hanya 10 orang, dimana tiap orang cuma butuh 1 atau 2 butir telur. Di sini telur akan dijual murah agar cepat habis. Tapi pada saat ramadhan, dimana persediaan telur tetap 1.000, sementara yang butuh lebih dari 500, dimana tiap orang butuh 2 atau 3 butir, maka pedagang dengan sendirinya akan menaikkan harga telur itu. Atau juga yang butuh tetap 10 orang, tapi tiap orang membutuhkan 100 butir telur, tentulah pedagang juga akan menaikan harga telur. Inilah hukum ekonomi.

Jadi, kenaikan itu merupakan suatu keharusan, sebagaimana yang telah diuraikan dalam hukum ekonomi. Akan tetapi, haruskah kita menyerah pada hukum tersebut, atau bisakah diatur sedemikian rupa sehingga pada masa puasa ini harga barang tidak naik? Tentu saja bisa dan seharusnya bisa.

Kita sudah mengetahui bahwa unsur-unsur yang menyebabkan harga naik tadi, yaitu persediaan barang yang terbatas, peminat yang banyak atau kebutuhan akan barang yang banyak. Peminat atau pemakai sebenarnya tidak terlalu banyak. Tentulah orang-orang itu saja yang membutuhkannya. Tak mungkin setiap ramadhan jumlah penduduk kita bertambah banyak. Yang meningkat adalah kebutuhan akan barang. Orang membutuhkan barang dalam jumlah yang tidak biasanya. Jadi, bisa dikatakan bahwa penyebab kenaikan harga barang ini ada dua, yaitu persediaan barang dan kebutuhan.

Untuk mengendalikan harga pasar, tentulah dengan cara mengendalikan kedua unsur tadi. Pertama, persediaan barang harus ditingkatkan jumlahnya. Bulan ramadhan sebenarnya bukan hanya sekali dua kali saja terjadi, melainkan berkali-kali. Setiap tahun pasti orang mengalaminya. Karena itu, seharusnya sudah bisa diprediksikan berapa kebutuhan akan barang tertentu. Misalnya, kalau setiap ramadhan kebutuhan akan telur sekitar 3000, maka menjelang ramadhan harus sudah disediakan 3000-4000 butir telur.

Kedua, soal kebutuhan akan barang. Karena kebutuhan ini melekat pada manusia, maka yang perlu dikendalikan adalah manusianya. Apa yang harus dikendalikan dari manusianya? NAFSU! Nafsu manusialah yang harus dikendalikan, karena nafsu itulah yang mendorong manusia untuk membeli barang dalam jumlah yang sangat banyak. Jika seandainya nafsu itu dapat dikendalikan atau dimatikan, tentu manusia tidak akan membeli dalam jumlah yang banyak. Konsekuensinya, harga tidak akan naik. Persoalannya, dapatkah manusia mengendalikan nafsunya itu?

Seharusnya dapat. Bukankah bulan ramadhan adalah masa puasa. Puasa merupakan ibadah. Bulan puasa ini umat muslim diminta untuk mengendalikan hawa nafsunya. Dan salah satu hawa nafsu itu adalah nafsu membeli barang dalam jumlah yang banyak. Konsekuensi logisnya adalah di masa ramadhan ini manusia mengendalikan hawa nafsunya, termasuk membeli barang dalam jumlah yang sangat banyak, sehingga dengan demikian harga barang tidak akan naik.

Pertanyaan kita sekarang adalah siapa yang bertanggung jawab akan semuanya ini. Untuk pengendalian unsur yang pertama, yaitu persediaan barang, tentulah yang bertanggung jawab adalah pemerintah, para produsen dan para pedagang. Pemerintah bertanggung jawab untuk mengatur ketersediaan barang di pasar. Dengan wewenang yang dimilikinya, pemerintah dapat mendesak para produsen untuk memproduksi barang dalam jumlah yang banyak menjelang ramadhan. Dan para produsen harus menyediakan hal itu. Jika produsen memproduksi barang dalam jumlah yang banyak di saat mendekati ramadhan, tentulah para pedagang tidak ada niat untuk melakukan penimbunan.

Memang pemerintah bertanggung jawab atas pengendalian harga pasar ini. Namun bukan berarti kesalahan atas naiknya harga barang dalam masa puasa ini mutlak pada pemerintah. Tak pantaslah kita menyalahkan pemerintah saja atas kejadian ini. Pihak lain yang harus disalahkan adalah konsumen, yang merupakan unsur kedua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun