Mohon tunggu...
Farida Chandra
Farida Chandra Mohon Tunggu... -

praktisi, pemerhati hukum ketenagakerjaan budidaya ikan lele dan pisang kepok pelestari dan usaha batik tulis madura

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melawan Mega

8 Oktober 2014   23:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:50 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mega artinya besar. Mega juga berarti banyak. Awan pun dibilang Mega. Awan yang banyak, berkumpul jadi satu dan mampu jadi hujan. Membasahi setiap lapak di bumi ini. Demikian seterusnya proses alam. Melawan Mega, melawan awan. Tidak pernah ada habisnya. Ia tetap akan jadi hujan yang membasahi bumi, berguna untuk sawah ladang bahkan banjir di daerah minus penghijauan atau memperlakukan alam dengan buang sampah sembarangan.

Sama halnya dengan Megawati. Ibu presiden wanita pertama Indonesia.

Beliau berarti besar dan bagi banyak “wong cilik”. Sebagian besar daerah di Indonesia khususnya Jakarta me-merah ketika PDI Perjuangan, parpol yang dipimpinnya jadi partai peraih suara terbanyak di Pemilu 1999 lalu dengan 33% suara. Tidak menjadikan beliau presiden. Berbesar hati hanya sebagai wakilnya Gus Dur. Bersabar akhirnya jadi presiden RI ke-4 menggantikan Gus Dur yang hanya menjabat kurang dari 2 tahun.

Ya…itulah hidup. Hidup itu pilihan. Konon nama seseorang adalah harapan orangtua. Sesuai namanya, nampaknya Ibu Mega mau jadi awan yang “menghilang” namun tetap ada dan berguna bagi nusa dan bangsa. Selama 10 tahun terakhir dengan 2 kali kalah di pilpres tidak menjadikan beliau menyusun kekuatan di DPR/MPR. Atau menyusun kampanye hitam untuk lawan politiknya. Beliau lebih memilih untuk menyiapkan para kader hebat demi masa depan bangsa. Setidaknya ada Bu Risma Walikota Surabaya, Pak Ganjar Gubernur Jateng, apalagi Pak Jokowi dengan karier melesat pesat bak meteor dan bikin iri berbagai kalangan.

Seorang guru tidak harus jadi dokter jika mantan muridnya jadi dokter yang handal dan terkenal di dunia. Lebih bijak baginya jika mantan muridnya kelak mengatakan, ia bisa jadi dokter karena bimbingan dan jasa sang guru bijak.

Bukankah setiap orangtua juga ingin setiap anaknya lebih baik kehidupannya dibandingkan dirinya? Demikian dengan Ibu Mega dengan ketegaran negarawan dan kebanggannya, seorang ibu tetaplah manusia biasa yang bisa menangis ketika “murid”nya Jokowi (yang sebagian orang menyebutnya “boneka”) menang pilpres.

Saya percaya Ibu Dyah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri yang bak banteng itu telah terbiasa dengan kekalahan. Kalah lagi, bangkit lagi, tanding lagi. Demikian seterusnya. Awan, tidak pernah ada habisnya.

Kisah kehidupan dalam masa pendidikan dengan berbagi kesulitan dalam meraih gelar sarjana. Kisah kehidupan pernikahan dengan 2 putra balita yang secara tiba-tiba menjadikannya single parent karena sang suami tercinta pilot pesawat TNI-AU gugur dalam kecelakaan pesawat di perairan pulau Biak Irian Jaya bersama 7 awak pesawat dan jasadnya tidak berhasil ditemukan.

Dan kemudian kehidupan berpolitiknya sejak mahasiswa (GMNI tahun 1965) dilanjutkannya bersama suami (alm.) Taufiq Kiemas pun menjadikannya semakin kuat. Semakin bisa melihat siapa lawan dan siapa teman sejati. Berapa banyak orang-orang yang dijadikannya sebagai pemimpin di kemudian hari ternyata tidak loyal. Mengejar jabatan, mengejar uang...

Saya percaya Ibu Mega yang merupakan 8 dari 100 wanita terkuat dunia versi Majalah Forbes tahun 2004 (Sonia Gandhi urutan ke-3, mantan PM Margareth Thathcer urutan ke-21, Aung San Suu Kyi urutan ke-45) itu sangat tahu dengan apa yang harus dilakukannya saat ini dalam mendukung JKW-JK dan mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali.

Dengan prinsip menjunjung tinggi supremasi hukum, memaafkan dan melihat ke depan (ingat bagaimana beliau tidak menggunakan kekuasaan untuk mendendam atas masa lalu) dan hanya berkata dengan dasar bukti fakta, saya percaya lawan politiknya dalam hati kecil tetap segan melawannya. Nyalinya mungkin hanya cukup untuk melawan JKW yang kurus itu hehe…

Biarlah waktu yang membuktikan sebuah kebenaran. Lihatlah track record dan polah tingkah seluruh jajaran eksekutif – legislatif dan yudikatif hingga suatu saat nampak jelas bagi rakyat siapa pemimpin sejati di negeri ini?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun