Mohon tunggu...
Adolf Izaak
Adolf Izaak Mohon Tunggu... Karyawan swasta -

Orang kantoran tinggal di jakarta yang suka moto, traveling, di negeri tercinta Indonesia. bercita-cita ingin menjadi travel writer, travel photographer, khusus Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Formula Belajar Fotografi Otodidak

15 April 2017   09:38 Diperbarui: 15 April 2017   18:00 1972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi. Salah satu karya yang sempat menuai apresiasi

Dari doeloe sejak di bangku SMA sudah di berikan pilihan ekstrakurikuler. Dari sekian sekurangnya 7 pilihan, saya nekad memilih fotografi. Padahal ortu sudah mengingatkan agar siap konsekuensinya. Apa itu...? MAHAL....!!!

Padahal ngga juga sich, saya berkilah. Khan kamera sudah di pinjamkan sekolah. Ngga usah beli baru. Yang harus beli, di luar biaya ekstrakurikuler adalah beli film dan kertas untuk cetak foto. Itupun film masih hitam putih. Lainnya seperti pemakaian lab foto, alat mencetak, cairan mencetak untuk proses manual, sudah termasuk biaya tadi.

Faktanya tetap saja ortu menjerit manakala keseringan di mintai uang untuk beli 2 item tadi. Ya waktu itu belum ada kamera digital. Semua masih manual. Setiap kali praktek butuh minimal 1 roll film isi 24 frame. Selama 1 semester ada sekitar 10 kali praktek. Berarti minimal 10 roll.

Untuk urusan cetak minimal butuh 36 lembar untuk sekali masuk lab foto dalam rangka belajar cetak. Banyak benar khan pakenya Cuma 1 roll isi 24 frame?. Butuh lebih banyak. Khan harus memikirkan tingkat kesalahan cetak. Selama 1 semester perlu 3 kali masuk lab belajar cetak foto. Berarti minimal 3x36 kertas cetak. Total harga…? Yeaaaa.....ngga berani nyebut dech.

Hhhmmm…… akhirnya ortu hands up, mengatakan cukup satu semester ini saja. Padahal kepingin lanjut ke advance yaitu belajar cetak warna. Apa boleh buat kalau sumber keuangan sudah angkat tangan begitu.

Ya itu doeloe.... Belajar fotografi merupakan sesuatu yang mewah. Untuk menghasilkan foto menarik harus di “tebus” biaya muahaaaaalllll.......

Sekarang, dengan serba digital gimana? Meski kamera digital tidak menggunakan film, menggunakan memory card, bisa memilih mana yang harus di cetak atau di buang, tetap saja ada alasan menjerit muahaaallll...........

Lho kog?

Iya. Kamera digital ternyata lebih mahal dari kamera analog. Untungnya....kondisi yang bikin menolong ragam kamera digital banyak. Ada yang jenis DSLR (Digital Single Lens Reflect), Pocket, dan Mirrorless. Harganya pun beragam. Kondisinya bisa baru atau second atau bekas. Jadi yang ingin beli kamera bisa pilih sesuai budget.

Pertanyaannya, setelah punya kamera untuk apa? Jawaban sederhana, ya untuk di pake. Jawaban yang lebih keren, untuk menghasilkan foto bagus.

Menghasilkan foto bagus apakah harus di tunjang jenis dan tipe kamera? Maksudnya, kamera mahal akan menghasilkan foto bagus. Demikian sebaliknya. Ternyata tidak juga. Bagus tidaknya foto tergantung dari 2 pihak, pertama yang melihat, yang memberikan apresiasi, penilaian. Kedua dari yang moto. Istilah yang terakhir, The Man Behind Camera.

Foto Bagus Seperti Apa?

Dalam kenyataannya menghasilkan foto bagus menjadi impian para pe-motret alias fotografer. Bagi yang sekedar hobi, ada suatu kepuasan batin saat fotonya mendapat apresiasi positif dari penikmat fotografi. Bagi yang cari rejeki dari motret, kepuasan jika fotonya dapat terjual dan menuai rupiah.

Cuma itu definisi foto bagus? Tidak juga. Simple aja. Foto bagus bisa dibilang foto yang lucu, asyik di liat, jelas (maksudnya tajam), foto yang berkesan, menarik asyik di lihat n ngga bosan, foto yang membawa kenangan, foto yang bercerita.

Dalam prakteknya untuk menghasilkan foto bagus sesuai pengertian diatas sangat-lah tidak mudah. Menghasilkan foto lucu misalnya bayi tertawa, perilaku hewan, butuh proses. Foto yang tajam, butuh pengaturan teknis kamera.

Secara ilmu fotografi, foto yang bagus dihasilkan dari penerapan kaidah-kaidah teknis fotografi secara tepat. Sudut pengambilan (angle) yang tepat. Misalnya menghasilkan yang sebenarnya tinggi tubuh pendek namun jika angle dari bawah akan terlihat tinggi. Pengaturah speed dan appeerture secara tepat dan benar, pengaturan pencahayaan yang tepat sehingga tidak over atau under exposure.

Satu lagi adalah foto yang ber-estetika, mengandung kaidah-kaidah seni. Saat melihat terasa aura seni dari foto tersebut. Foto yang ber-seni tercipta bukan kebetulan atau asal-asal-an. Insting kita bisa di asah dan di latih.

Terkadang foto bagus di hasilkan secara kebetulan, tidak di sengaja. Pernah melihat tidak hanya sekali sebuah foto yang mendapat sekian banyak pujian. Menurut pengakuan yang motret kebetulan saja. Ini yang dinamakan faktor luck.

Cara Belajar fotografi

Namun seberapa sering faktor luck itu terjadi? Kawan-kawan yang tidak meyakini sebuah foto bagus di hasilkan dari luck tadi, berkeyakinan menghasilkan foto bagus harus lah melalui proses belajar.

Bicara belajar fotografi, pengalaman saya sudah dilakukan sejak di SMA tadi. Yang ingin serius dan memilih jenjang karier di bidang fotografi, bisa menempuh di perguruan tinggi. Ternyata ada universitas yang membuka pendidikan S-1 bidang fotografi.

Yang sudah terlanjur tidak sempat kuliah gimana macam saya ini? Saya mulai suka foto sekitar tahun 2003. Sudah jadi orang kantoran. Bidang kerjaan saya pun tidak ada kaitan dengan kegiatan fotografi.

Dokumen pribadi. Salah satu foto menarik, Jam Gadang Bukittinggi Sumatra Barat di ambil waktu subuh
Dokumen pribadi. Salah satu foto menarik, Jam Gadang Bukittinggi Sumatra Barat di ambil waktu subuh
Apakah kesempatan belajar formal lantas lenyap begitu saja? Ternyata tidak. Cukup banyak lembaga yang mengadakan kursus fotografi. Levelnya mulai dari basic, advance, intermediate, advance, profesional. Salah satunya yang terkenal Darwis Triadi School Photography. Ada juga yang lain misalnya Canon School,Nikon School, Newmat School Photography.

Hanya saja kendalanya adalah biaya yang tidak murah. Pun terjangkau budget, untuk kawan-kawan di daerah yang jauh dari ibukota atau kota-kota besar misalnya, mengalami kendala minimnya lembaga penyelenggara kursus fotografi.

Dokumen pribadi. Cara pegang kamera yang benar saat motret juga bagian pembelajaran fotografi
Dokumen pribadi. Cara pegang kamera yang benar saat motret juga bagian pembelajaran fotografi
Lantas?

Mau tidak mau belajar secara OTODIDAK. Maksudnya belajar secara mandiri, tanpa harus ikut kursus fotografi. Tidak ada guru atau dosen pendamping. Pertanyaannya, apakah bisa? Jawab, tentu saja bisa. Ragam cara untuk bisa mengisi ilmu selama ada kemauan. Saya temasuk yang memilih belajar secara otodidak di karena-kan kendala dana.

Caranya?

Baik belajar melalui pendidikan formal maupun otodidak, membutukan sarana antara lain pengetahuan teori. Beruntungnya dii era internet dan digitalisasi, pengetahuan teori bisa di peroleh dengan mengakses situs-situs belajar fotografi secara otodidak. Ngga percaya? Ketik saja di google : Belajar fotografi Otodidak, pasti akan keluar sekian banyak situs. Ada juga situs yang bisa persilahkan download materi secara gratis. Nah ini kesempatan bagus. Salah satunya : http://rizkyardianto.com/mau-belajar-fotografi-gratis-disini-tempatnya/

Jika memiliki dana meski terbatas bisa membeli buku-buku fotografi. Untuk yang baru mulai, bisa memilih tema Basic photography. Bisa juga dengan meng-kliping artikel dari beberap koran atau majalah. Salah satunya rubik fotografi yang di tulis Arbain Rambey, yang selalu muncul di Kompas setiap Selasa.

Dokumen pribadi. Ragam buku teori pribadi
Dokumen pribadi. Ragam buku teori pribadi
Sesekali juga bisa mengikuti workshop singkat fotografi baik yang di adakan lembaga fotografi atau komunitas fotografer. Ada yang gratis ada juga yang bayar dengan biaya cukup murah. Jika ada dana meski terbatas jangan ragu join jika tema dan waktu cocok.

Intinya belajar fotografi kita butuh pengetahuan teori. Semakin banyak mendapat sumber dan mempelajari secara serius dan santai teori-teori tadi, pasti semakin baik. Itu pertama.

Dokumen pribadi. Salah satu Workshop fotografi yang sampaikan salah satu fotografer senior Bp Don Hasman
Dokumen pribadi. Salah satu Workshop fotografi yang sampaikan salah satu fotografer senior Bp Don Hasman
Syarat kedua, untuk belajar fotografi otodidak termasuk belajar formal, harus sering melihat-lihat karya foto orang lain. Di era internet ini lagi-lagi melihat karya foto sangatlah mudah.

Bagi pemula setelah asyik lihat-lihat foto coba mulai fokus, mulai jujur dan menentukan minat fotografi yang di sukai. Sebagai informasi, cabang fotografi ternyata banyak. Sebutlah landscape (pemandangan yang kebetulan paling saya sukai, arsitektur, makro (motret benda-benda atau hewan kecil), food (motret makanan), model, human interst (motret prilaku orang), animal photography (khusus motret perilaku hewan), pre-wedding (motret pasangan jelang pernikahan), dan masih banyak lagi.

Jika sudah menentukan mana yang paling di sukai, fokus dan perdalam-lah bidang tersebut. Tentu sambil tetap memperhatikan cabang-cabang fotografi yang lain. Saya belajar dari pengalaman, sangatlah tidak tepat hanya karena sudah suka pada satu bidang, misalya landscape, lalu menutup diri untuk tidak melihat-lihat karya lain.

Tujuan melihat foto-foto adalah mengisi refrensi di otak yang berguna saat mempraktek-kan. Cukup banyak foto-foto menarik justru dihasilan setelah mendapat inspirasi dari karya fotografer lain. Proses ini bukan mencontek ya. Menghasilkan foto yang mirip-mirip karya lain adalah sah-sah saja. Misalnya foto di Bromo saat pagi hari dari bukit Penanjakan. Banyak banget foto-foto serupa yang di hasilkan pemotret yang berbeda.

Ketiga. Ini yang paling penting. Praktek.....belajar teori, melihat-lihat, kalau tidak di praktek-kan adalah sia-sia. Praktek langsung motret harus mendapat porsi yang lebih banyak di banding teori dan melihat-lihat tadi.

Pastinya saat praktek bukan sekedar pencet tombol shutter. Ada pertimbangan atau perhitungan fotografis. Misalnya saja saat melihat obyek menarik, terbersit dalam pikiran kenapa tertarik motret itu. Bagaimana cara motret agar menghasilkan foto yang menarik dari sudut pengambilan (angle). Exposure harus di setting under, normal atau over? Kamera harus di setting bagaimana, apakah cukup menggunakan tombol Auto yang paling mudah, atau memilih tombol “P” (program – semi otomatis), “A” (Apperture), “S” (Speed), atau “M” (Manual). Pilihan itu jika menggunakan kamera DSLR atau pocket jenis Prosumer .

Dokumen pribadi. Praktek & Hunting bersama teman-teman fotografer
Dokumen pribadi. Praktek & Hunting bersama teman-teman fotografer
Intinya adalah sebelum motret ada pertimbangan, perhitungan, berdasarkan teori yang sudah di serap dan dipelajari.

Ada fenomena menarik saat motret masih menggunakan kamera analog dan film dengan kamera digital. Teman-teman yang masih menggunakan kamera film tidak sembarang pencet tombol shutter. Ia akan berpikir dulu. Selain bertujuan menghasilkan foto menarik juga agar tidak sia-sia mengumbar film. Pemborosan biaya jika asal jepret aja, tutur salah satu rekan fotografer waktu masih mengunakan film.

Yang sudah menggunakan digital beda lagi. Karena tidak menggunakan film, tidak ada kendala boros tidaknya dari sisi biaya. Tokh bisa di hapus. Tokh bisa dipake berulang-ulang. Maka tanpa ragu-ragu pencet tombol shutter sebanyak-banyak-nya.

Bagi pengguna analog dan film, berusaha jangan berbuat salah, foto yang dihasilkan pasti bagus, saat memutuskan pencet tombol shutter. Beda bagi pengguna digital, jangan takut berbuat kesalahan. Belajar dari kesalahan. Karenanya pencet-lah shutter sebanyak-banyak-nya. Setelah di lihat di komputer, baru pelajari dimana letak kesalahannya.

Dokumen pribadi. Praktek tunggal fotografi.
Dokumen pribadi. Praktek tunggal fotografi.
Formula Belajar Otodidak

Ya itu hanya perbedaan cara untuk menghasilkan foto menarik. Kebetulan di tunjang kondisi teknologi berbeda dari masing-masing kamera. Walau menurut saya pribadi berdasarkan pengalaman, pengguna kamera analog dan film lebih memiliki intuisi yang lebih kuat dan lebih baik untuk menghasilkan foto menarik di banding pengguna digital.

Dari uraian panjang lebar tadi, secara proses belajar secara otodidak dapat di rumuskan dalam rumus yang sederhana agar mudah mengingatnyha. 50-25-25.Atau rumus lain1-1-2. Wuaaaa….apa-an tuch? Bingung ya…? Pasti. Baiklah, berikut penjelasannya.

50-25-25, artinya dari ketiga proses tadi, porsi praktek harus lebih banyak dari belajar teori dan proses melihat-lihat.

1-1-2, berasumsi jika belajar foto sebagai hobi dan bisanya Cuma weekend setiap bulan yang terdiri 4 weekend, weekend pertama belajar teori, weekend kedua gunakan melihat-lihat, dan 2 weekend selanjutnya untuk praktek.

Catatan penting yaitu kendala belajar fotografi otodidak adalah tidak disiplin dan malas. Karenanya butuh upaya memotivasi diri, menjaga agar tetap semangat.

Terakhir, selamat mencoba...selamat datang di dunia fotografi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun