Mohon tunggu...
Adolf Izaak
Adolf Izaak Mohon Tunggu... Karyawan swasta -

Orang kantoran tinggal di jakarta yang suka moto, traveling, di negeri tercinta Indonesia. bercita-cita ingin menjadi travel writer, travel photographer, khusus Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pantai Waisisil Saparua, Keindahan Sunrise dan Sejarah Maluku yang Terlupakan

31 Maret 2017   14:57 Diperbarui: 1 April 2017   19:00 2557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Pribadi. Keindahan sunrise yang menghadirkan suka cita, menghibur diri dari kegalauan.

“Disini pak sunrisenya bagus. Besok pagi kita ke sini,”, kata Rudy Pelupesi driver ojek yang saya sewa selama 2 hari di Pulau Saparua. Yang Rudy tunjuk adalah sebuah pantai yang....hhhmmmm....biasa aja kalau tidak ingin dibilang tidak bagus. Memang laut di sekitarnya siang itu terlihat biru. Ombak tenang. Sepanjang pantai terlihat pasir putih. Pasir pantai ngga halus. Rumput yang sudah cukup tinggi, pohon kelapa, terlihat menjadi bagian tidak terpisahkan di pantai ini.

Terlihat sepi tidak ada aktivitas di pantai. Biasanya di pantai paling tidak ada nelayan yang baru datang atau akan berangkat melaut. Nelayan sedang merapikan jala-nya. Tampaknya jauh dari pemukiman para nelayan. Sama sekali tidak terlihat anak-anak bermain pinggir pantai. Mungkin karena bukan hari libur. Sama sekali tidak ada warung menjual makanan layaknya pantai wisata. “Ooo disini memang jarang di datangi pak. Sabtu Minggu juga begitu. Satu dua orang ada untuk mancing. Kalau mau nikmati pantai itu di negeri Nolot yang kita datangi tadi”, kata Rudy saat aku tanya kenapa begitu sepi ya.

Pantai Waisisil namannya. Salah satu dari sekian banyak garis pantai di Pulau Saparua. Ternyata bukan pantai wisata. Jika Rudy bilang sunrisenya cakep, wah jadi lebih antusias. Sebagai sunrise n sunset lover kemana pun aku traveling selalu mencari  spot-spot dimana bisa menikmati pesona matahari terbit ataupun terbenam. Salah satu target solo traveling di Ambon dan Saparua adalah berburu dua momen ini. Bagus dech pantai yang terlihat biasa ternyata bisa menikmati sunrise. Kalau melihat GPS pantai ini menghadap ke arah timur. Siap bangun pagi? Yeeeeaaa....siapa takut.....

Saat motor melaju pelan tiba-tiba mata memandang ke arah sesuatu...Wait....tunggu.....seru-ku ke Rudy. Rudy kaget dengan spontan ku. Ia segera menghentikan motor-nya. Tiba-tiba aku tertarik dengan sebuah “monumen” kecil.  Meskipun terlihat kurang terawat dan berada di antara rumput yang sudah tinggi tadi, cukup menarik perhatian.

Kampung Perjuangan Pattimura

Apa itu Rud...? “ooo itu tanda kalau disini dulu pernah terjadi pertempuran. Belanda di kalahkan Pattimura”, kata Rudy berusaha menjelaskan ringkas. Selanjutnya, hehehe....Ruddy kurang paham. Padahal dia orang Saparua. Asalnya dari Ambon. Kebetulan dapat istri dari sini. Ya sudah kalau tidak bisa menjelaskan lagi.

Foto 03  Koleksi pribadi. “prasasti” ungkapan heriok kapitan Pattimura

Aku dekati monumen itu. Oo...ada tulisan : DISINILAH TEMPAT BETA DAN KAWAN-KAWAN BERJUANG MELAWAN KOLONIAL BELANDA. WAISISIL 20 MEI 1817.KAPITAN PATTIMURA. Sebuah ungkapan patriotik dari Kapitan Pattimura, yang layak menyandang gelar pahlawan dari Maluku. Entah apakah memang benar ia mengucapkan begitu berdasarkan saksi mata yang menderngar langsung.

Dari yang tertulis tadi aku menangkap makna dua hal. dua hal. Pertama, Pantai ini sangat bersejarah. Pernah terjadi pertempuran hebat Kapitan Pattimura melawan Belanda. Kedua, agar yang membaca tidak melupakan peristiwa heroik terjadi di pantai Waisisil.

Sejak pelajaran sejarah di SD sudah mengenal salah satu pahlawan nasional dari bumi Ambon, yaitu Kapitan Pattimura. Hafal juga wajahnya dari gambar lukisan yang ada. Meski ternyata di suatu forum sempat menjadi perdebatan apakah benar Kapitan Pattimura persis seperti yang ada di lukisan tadi. Karena waktu itu belum ada foto. Versi Belanda lah kebanyakan lukisan beliau yang sering kita lihat sekarang. Entah apakah penggambarannya obyektif atau sarat dengan rekayasa sesuai kepentingan Belanda. Apalagi Kapitan Pattimura adalah musuh yang tidak mau kompromi.

Menyadari sebelum nyebrang dari pulau Ambon ke Saparua yang membutuhkan perjalanan laut sekitar 2 jam, aku menginjak kampung halaman sang pahlawan. Selain teringat petinju yang pernah meraih gelar juara dunia, Ellyas Pical, berasal dari sini.

Jujur aku ngga nyadar jika di pantai Waisisil pernah terjadi peristiwa heroik. Saat melihat monumen yang nyaris tidak terawat, sama sekali tidak mampu mengingat pelajaran sejarah yang pernah aku terima khususnya di Saparua. Ah....bisa di pastikan aku tidak pernah mendengar nama pantai Waisisil di sebut dalam pelajaran sejarah. Setelah kembali ke Jakarta segera aku browsing untuk mencari tahu keberadaan pantai Waisisil. Hhhmmm...memang ada namun informasinya terbatas.

Agak kurang konsen saat memperhatikan monumen tadi.  Masih teringat beberapa jam lalu perjumpaan dengan Mike, bule dari Norwegia, yang sengaja ber-solo traveling seperti aku ini, khusus ke Pulau Saparua hanya ingin melihat benteng baginya sudah familiar, Duurstede. Padahal Mike di negaranya menekuni bidang IT. Namun ternyata memiliki ketertarikan sejarah khususnya di pulau Ambon. Luar biasa bagi ku masih ada bule macam Mike yang nyebrang benua karena begitu kuat tertariknya dengan bumi Ambon. Bahkan Bali pun  belum ia datangi. Bule langka nich.

Sejarah Patriotis

Sejarah yang terjadi di Pantai Waisisil sayangnya cukup sering hanya sepintas lalu di singgung dalam beberapa catatan. Wajarnya peristiwa kemenangan rakyat Saparua melawan Belanda menjadi sejarah penting, sewajarnya menjadi peristiwa Pantai Waisisil menjadi peringatan dari generasi ke generasi.

Berawal dari penyerbuan rakya Saparua ke benteng Duurstede yang di pimpin Kapitan Pattimura. Saat itu benteng Duurstede memiliki nilai vital sebagai benteng pertahanan dan pusat pemerintah VOC di Saparua. Penyerbuan berhasil. Tentara dan penguasa VOC berhasil di kalahkan. Benteng jatuh ke tangan rakya Saparua tanggal 15 Mei 1817. Jelas sekali sebagai pusat pemerintahan kekalahan ini menjadi pukulan telak Belanda. Maka kekalahan harus di balas. Benteng Duurstede harus di rebut kembali.

Untuk merebut kembali, pemerintah Kolonial Belanda di Ambon mengirim mayor Beetjes beserta pasukannya. Kekuatannya kurang lebih 300 tentara. Menggunakan 10 kapal besar dan kecil dengan beberapa pucuk meriam.


 Sebagai tentara yang pernah menjadi bagian dari angkatan perang Inggris berpangkat Sersan Mayor, Kapitan Pattimura segera mengantisipasi tindakan pembalasan Belanda. Dari markasnya di Haria ia menyusun strategi dengan menempatkan pasukannya di sepanjang yang di perkirakan menjadi tempat mendarat armada Belanda. Salah satunya pantai Waisisil.

Benar saja. Meski bukan menjadi target awal pendaratan, karena terhalang ombak besar menuju sasaran yang sebenarnya, Mayor Beetjes memutuskan mendaratkan pasukannya di Pantai Waisisil. Pikirnya dari pantai ini ke benteng Duurstede berjarak kurang lebih 5 kilometer. Tidak jauh untuk perjalanan pasukannya menuju benteng.

Dari lepas pantai terlihat aman. Meski kondisinya ber-rawa, banyak semak belukar, sama sekali tidak terliihat ada pergerakan pasukan Pattimura. Padahal tanpa sang komandan, pasukan Pattimura dalam persembunyian siap menyambut pasukan Mayor Beetjes. Maka bisa di duga, begitu pasukan mendarat langsung di sambut pertempuran hebat. Hasil akhirnya pasukan Beetjes kalah. Mayor Beetjes termasuk yang tewas.

Kekalahan telak di sambut gembira rakyat Saparua. Tidak hanya rakyat Saparua, gaung kemenangan telak di pantai Waisisil disambut gembira rakyat yang berada di Pulau Seram Barat dan Selatan, tetangga-nya pulau Saparua. “Tuan Kompania Wolanda sudah mati....!!!”, begitu salah satu ungkapan gembira. Bagi pasukan Pattimura memberi dampak mengangkat moril dan semakin percaya diri. Belanda yang sewenang-wenang, tentara Belanda yang katanya punya senjata lebih unggul, ternyata dapat di kalahkan.

Di sisi lain, kekalahan di Pantai Waisisil menjadi tragedi yang menimbulkan kepanikan pemerintah Belanda di Ambon. Ngga habis pikir pasukan Beetjes bisa kalah telak. Di akui atau tidak ada kesalahan strategi di pihak Belanda. Tidak memperhitungkan, cenderung meremehkan kekuatan rakyat Saparua di bawah pimpinan Kapitan Pattimura. Gaung kekalahan akhirnya sampai juga ke telinga para penguasa Belanda di Batavia.

Sampai disini ending kisah patriotis perjuangan di Pantai Waisisil. Tidak bisa dianggap remeh dari nilai sejarah. Sejak kekalahan Belandadi pantai Waisisil ini, timbul kepanikan di kalangan militer Belanda di Ambon bahkan sampai di Jakarta. Selanjutnya, rentetan tindakan pembalasan Belanda dengan berbagai strategi untuk merebut kembali Saparua. Belanda banyak belajar dari kekalahan Mayor Beetjes tadi.. Dengan susah payah akhirnnya beberapa bulan kemudian Belanda berhasil menguasai kembali Saparua. Melalui politik memecah belah, memanfaatkan salah satu kelompok yang berkhianat, Kapitan Pattimura bersama kawan-kawan berhasil di tangkap dan di bawa ke Ambon.

Pesona Sunrise

Jika ada pembaca baru memahami sejarah patriotis di pantai Waisisil, maka saya pun harus malu. Kisah sejarah tadi baru saya cari setelah kembali ke Jakarta. Saat itu....perhatian dan konsen saya lebih banyak mengejar pesona sunrise di pantai Waisisil.

Maka subuh dinihari sebelum pukul 5 WIT, Rudy sudah menjemput saya di hotel untuk mengantar ke sini. masih gelap. Beruntung saat itu langit cerah tidak berawan. Sudah terbayang akan mendapat sunrise nan cantik.

Di  beberapa tempat yang pernah saya datangi selalu berusaha berburu sunrise atau sunset. Bagi saya ini adalah momen yang indah. Saya butuh keindahan itu supaya dapat menghadirkan tidak hanya rasa senang, tapi juga kebahagiaan.

Solo traveling ke Ambon dan Saparua bagi saya adalah trip “galau”. Nah lho....apa tuch maksudnya? Kalau boleh di bilang merupakan “broken heart trip” versi saya pribadi. Terbang jauh dari jakarta yang sebenarnya karena frustasi baru berpisah dengan seseorang yang mengisi hidup saya sekian tahun. Tidak sanggup terus-terus-an larut dalam kesedihan di Jakarta, maka saya harus segera move on. Salah satu cara agar bisa cepat proses move on adalah ke Ambon dan Saparua selama beberapa hari.

Kenapa memilih Ambon dan Saparua? Pernah terucap angan-angan melihat Ambon yang penuh pesona. Angan-angan yang nyaris terlupakan tadi muncul kembali saat galau. Hanya butuh persiapan beberapa hari. Kebetulan masih ada uang dan sisa cuti akhirnya sukses melarikan diri kesini.

Sayangnya karena sedang galau tadi, saya kurang bisa menyerap kisah sejarah di pantai Waisisil. Saya juga kurang perhatian jika dulunya pantai Waisisil pernah menjadi pelabuhan. Sebaliknya, menjadi terlena dengan menghibur diri saat menikmati momen yang ku tunggu. Di antar Ruddy menyusur pantai Waisisil yang kira-kira 4 kilometer. Sempat mampir juga di kampung nelayan kecil di daerah Paperu yang masih termasuk pantai Waisisil.

Benar...Saat mentari pagi muncul, kesedihan batin dapat terobati dengan pesona indah yang di pancarkan sang mentari.  THANKS GOD...


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun