Orang kantoran tinggal di jakarta yang suka moto, traveling, di negeri tercinta Indonesia. bercita-cita ingin menjadi travel writer, travel photographer, khusus Indonesia
“Di sini Pak, sunrise-nya bagus. Besok pagi kita ke sini,” kata Rudy Pelupesi, driver ojek yang saya sewa selama 2 hari di Pulau Saparua. Yang Rudy tunjuk adalah sebuah pantai yang....hhhmmmm....biasa aja kalau tidak ingin dibilang tidak bagus. Memang laut di sekitarnya siang itu terlihat biru. Ombak tenang. Sepanjang pantai terlihat pasir putih. Pasir pantai ngga halus. Rumput yang sudah cukup tinggi, pohon kelapa, terlihat menjadi bagian tidak terpisahkan di pantai ini.
Terlihat sepi tidak ada aktivitas di pantai. Biasanya di pantai paling tidak ada nelayan yang baru datang atau akan berangkat melaut. Nelayan sedang merapikan jalanya. Tampaknya jauh dari permukiman para nelayan. Sama sekali tidak terlihat anak-anak bermain pinggir pantai. Mungkin karena bukan hari libur. Sama sekali tidak ada warung menjual makanan layaknya pantai wisata. “Ooo di sini memang jarang didatangi Pak. Sabtu Minggu juga begitu. Satu dua orang ada untuk mancing. Kalau mau nikmati pantai itu di Negeri Nolot yang kita datangi tadi,” kata Rudy saat aku tanya kenapa begitu sepi ya.Pantai Waisisil namannya. Salah satu dari sekian banyak garis pantai di Pulau Saparua. Ternyata bukan pantai wisata. Jika Rudy bilang sunrise-nya cakep, wah jadi lebih antusias. Sebagai sunrise n sunset lover ke mana pun aku traveling selalu mencari spot-spot di mana bisa menikmati pesona matahari terbit ataupun terbenam. Salah satu target solo traveling di Ambon dan Saparua adalah berburu dua momen ini. Bagus dech pantai yang terlihat biasa ternyata bisa menikmati sunrise. Kalau melihat GPS pantai ini menghadap ke arah timur. Siap bangun pagi? Yeeeeaaa....siapa takut.....
Saat motor melaju pelan tiba-tiba mata memandang ke arah sesuatu...Wait....tunggu.....seru-ku ke Rudy. Rudy kaget dengan spontan ku. Ia segera menghentikan motornya. Tiba-tiba aku tertarik dengan sebuah “monumen” kecil. Meskipun terlihat kurang terawat dan berada di antara rumput yang sudah tinggi tadi, cukup menarik perhatian.
Foto 03 Koleksi pribadi. “prasasti” ungkapan heriok kapitan Pattimura
Aku dekati monumen itu. Oo...ada tulisan: DISINILAH TEMPAT BETA DAN KAWAN-KAWAN BERJUANG MELAWAN KOLONIAL BELANDA. WAISISIL 20 MEI 1817. KAPITAN PATTIMURA. Sebuah ungkapan patriotik dari Kapitan Pattimura, yang layak menyandang gelar pahlawan dari Maluku. Entah apakah memang benar ia mengucapkan begitu berdasarkan saksi mata yang mendengar langsung.
Menyadari sebelum nyebrang dari pulau Ambon ke Saparua yang membutuhkan perjalanan laut sekitar 2 jam, aku menginjak kampung halaman Sang Pahlawan. Selain teringat petinju yang pernah meraih gelar juara dunia, Ellyas Pical, berasal dari sini.
Jujur aku ngga nyadar jika di Pantai Waisisil pernah terjadi peristiwa heroik. Saat melihat monumen yang nyaris tidak terawat, sama sekali tidak mampu mengingat pelajaran sejarah yang pernah aku terima khususnya di Saparua. Ah....bisa dipastikan aku tidak pernah mendengar nama pantai Waisisil disebut dalam pelajaran sejarah. Setelah kembali ke Jakarta segera aku browsing untuk mencari tahu keberadaan Pantai Waisisil. Hhhmmm...memang ada namun informasinya terbatas.
Agak kurang konsen saat memperhatikan monumen tadi. Masih teringat beberapa jam lalu perjumpaan dengan Mike, bule dari Norwegia, yang sengaja ber-solo traveling seperti aku ini, khusus ke Pulau Saparua hanya ingin melihat benteng baginya sudah familiar, Duurstede. Padahal Mike di negaranya menekuni bidang IT. Namun ternyata memiliki ketertarikan sejarah khususnya di Pulau Ambon. Luar biasa bagi ku masih ada bule macam Mike yang nyebrang benua karena begitu kuat tertariknya dengan bumi Ambon. Bahkan Bali pun belum ia datangi. Bule langka nich.
Sejarah Patriotis
Sejarah yang terjadi di Pantai Waisisil sayangnya cukup sering hanya sepintas lalu di singgung dalam beberapa catatan. Wajarnya peristiwa kemenangan rakyat Saparua melawan Belanda menjadi sejarah penting, sewajarnya menjadi peristiwa Pantai Waisisil menjadi peringatan dari generasi ke generasi.
Berawal dari penyerbuan rakyat Saparua ke Benteng Duurstede yang dipimpin oleh Kapitan Pattimura. Saat itu benteng Duurstede memiliki nilai vital sebagai benteng pertahanan dan pusat pemerintah VOC di Saparua. Penyerbuan berhasil. Tentara dan penguasa VOC berhasil dikalahkan. Benteng jatuh ke tangan rakyat Saparua tanggal 15 Mei 1817. Jelas sekali sebagai pusat pemerintahan kekalahan ini menjadi pukulan telak Belanda. Maka kekalahan harus dibalas. Benteng Duurstede harus direbut kembali.