Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Warung "Suka-Suka" dan 4 Sisi Keunikannya

12 September 2020   15:04 Diperbarui: 13 September 2020   06:01 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi warung suka-suka (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Ibarat ronda siskamling atau hotel yang kerjanya shift, beda waktu beda pelayan. Namun terkadang juga, si ibu menunggu (wanita berusia 60-an tahun yang menjadi pemiliknya)

"Anak saya yang cewek sudah nggak jagain warung. Pulang ke Medan akhir bulan lalu ke tempat suaminya. Kemarin terbang dengan pesawat", jawabnya kala saya tanyakan mana si mbak berambut pendek berkulit putih yang biasanya ngelayanin pembeli.

Dilayani sama Si Bunda, sebut saja demikian, tentu jadi ramai, sebab Si Bunda banyak banyak bicara bila diajak ngobrol. Hal yang dibahas pun banyak, mulai dari soal kisah khas seputaran anak, cucu, menantu dan keluarga, sampai harga cabe dan bawang di pasar yang harganya selalu turun naik. Bagi saya hal tersebut menarik karena saya jadi dapat informasi harga komoditas hasil bumi dari pelaku usaha rumahan langsung dan pastinya info yang saya dapat lebih cepat dari baca di koran, hehehe...

Selain perihal obrolan, warung suka-suka pun memiliki lauk yang bervariasi namun nampak serupa (berubah dikit-dikit), semisal hari ini ayam goreng tanpa bumbu, besok ayam goreng pedas. Lusa balik lagi ayam goreng biasa. Demikian juga sajian hasil laut, semisal hari ini cumi, besok ikan tongkol goreng, lusa udang dan ikan teri. Gitu -gitu saja selama seminggu. Begitu pula dengan sayur, sebelas dua belas. Kalau tidak santan, ya bumbu rica-rica. Begitulah makanan khas NTB, memang cenderung pedas, banyak rasa dan untungnya cocok dengan lidah saya. 

Karena warung ini satu-satunya yang paling dekat dengan kantor, akhirnya jadi pilihan darurat saya dan rekan karyawan lain. Dibilang darurat karena masih ada warung lain di seputaran kota dengan menu lebih variatif. Cuma ya itu kendalanya, malas keluar kantor apalagi kalau kerjaan lagi banyak. Akhirnya warung Si Bunda menjadi tempat kami berlindung dari godaan lapar. 

Warung Si Bunda yang berjarak tak lebih 15 langkah kaki dari parkiran depan, ibarat lapak kuliner P3K (Pertolongan Pertama Pada Kelaparan atau Kehausan). 

Warung tipe tersebut termasuk warung suka-suka, yang dikelola langsung oleh pemiliknya. Dagangannya lebih spesifik menyasar kuliner, produk makanan, dan minuman.

Sayangnya, sudah 4 hari ini warung Si Bunda tutup. Tak ada tanda-tanda akan dibuka. Dampaknya sudah 4 hari juga saya dan beberapa teman kelimpungan kala didera keroncongan. Ternyata warung darurat kami benar -benar sedang "darurat".

"Kalo mau ngopi bisa. Kalau makan, ndak ada yang masak. Anakku semua ke Mataram, belum balik, tak bisa kerja sendiri. Maaf ya Om", tutur Si Bunda tadi pagi kala aku sambangi buat ngopi. 

Hmm...jadi ini penyebabnya. Wajar ya, selain faktor umur, rasanya repot juga bila ngelakuin sendiri. Jangankan orangtua usia segitu, yang muda juga belum tentu bisa melakukan semuanya tanpa bantuan anggota keluarga.

Tiba-tiba terlintas pikiran, untuk mengambil foto dan menulis perihal warung suka-suka berbalut usaha keluarga yang hampir selalu ada di sekitar kita, yang mana usahanya tak lagi kentara kaki, namun kentara menu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun