Dan kini, estafet buku harian pun beralih. Tak ada lagi yang digembok rapat. Tak ada lagi yang namanya rahasia pribadi. Eranya sudah beda. Generasi sudah berganti.Â
Ketika Ignatius Rosoinaya Penyami alias Om Saykoji mempopulerkan lagu Online pada 11 tahun yang lalu, bisa jadi itu adalah ramalan kegemaran generasi X, generasi Y, generasi Z dan sebagian generasi Baby Boomers dan generasi Alpha di masa kini.Â
Siang malam ku selalu
Menatap layar terpaku
Untuk online online
Online online
Tidur telat bangun pagi pagi
Nyalain komputer online lagi
Bukan mau ngetik kerjaan
E-mail tugas diserahkanÂ
Beraneka ragam media sosial, mulai dari Twitter, Facebook, Instagram, YouTube, hingga WhatsApp, telah menjadi menyita kehidupan generasi ini. Didukung teknologi.Â
Demi eksistensi dan kebutuhan sosial. Entah untuk kebaikan atau keburukan, semua jadi satu. Tumpah ruah memenuhi lembar demi lembar. Halaman demi halaman. Dari yang remeh temeh, sampai rahasia pribadi. Semua diumbar. Terbuka dan tanpa gembok.Â
Apakah generasi sekarang menerapkan secara tersirat lirik-lirik pada lagu kisah harian jadul itu. Bisa iya bisa tidak. Namun coba perhatikan kata-kata dalam bait terakhirnya.
Sewaktu ada di puncak gunung kesuksesan, ketika segala sesuatu dalam hidup serasa begitu nikmat, tak lengkap bila tak mengeksposnya di media sosial agar dilihat, di-like dan dikomen pengguna lain.Â
Namun di saat yang bersamaan, bila hidup berada dalam kegelapan dan kesulitan dan tak ada lagi sinar harapan, itu pula dicurahkan semuanya dalam lembar demi lembar di media sosialnya. Entah untuk menyuarakan kesedihan ataukah meminta simpati dari orang lain.
Dan tanpa sadar, meski tak lagi dikunci rapat, dari media sosial kita dapat belajar soal arti hidup dan kehidupan. Hmm...
Di atas puncak pegunungan
Di antara hijau dedaunan
Di situ telah kutemukan
Arti hidup dan kehidupan