Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Amboi Banget, Zaman Dulu Cari Jodoh Lewat Koran

15 Juni 2020   21:42 Diperbarui: 16 Juni 2020   04:46 1462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun segitu loh. Transportasi banyakan via kapal laut dibanding pesawat. Rasanya tak puas hanya lewat surat via pos.

Demi tambatan hati, ombak dan gelombang pun tak dapat menghadang. Meski 4 hari sampai 7 hari di atas laut. Tekad bulat bertemu langsung si ehem ehem di iklan jodoh itu. Apalagi bila masuk kriteria sang pencari, walau gambaran detail sang incaran hanya terketik 3 baris di halaman iklan..#hehe

So sweet kakak, perjuangan cinta jaman dulu. Namun itulah sisi romansa dekade 80 dan 90 an. Ada seninya memburu calon pasangan dengan melibatkan media.

Jadi kepikiran, mengapa bisa sampai diiklankan. Padahal masalah susah dapat jodoh adalah masalah sensitif. Masuk ranah privasi orang per orang. 

Buktinya, berapa banyak dari Anda yang masih belum menikah dan sedikit emosi bin malas bila di tanyakan: mengapa masih sendiri saja? Atau lebaran bulan lalu, saling ucapin Idul Fitri via video call dan yang di seberang sana tanya: mana pasanganmu, tunjukkin donk.# Ngeri-ngeri sedapp memang pertanyaan model begitu...hehe

Well....menurut saya, mungkin ini 5 alasan adanya niat mengiklankan diri demi menemukan sang jodoh

1. Terbatasnya media sosial di era jadul

Di tahun 80 dan 90 an, salam -salaman lewat radio dan sahabat pena boleh jadi adalah media sosialnya kala itu. Yang berhubungan ma radio itu sifatnya dekat dan murah cuma terbatas. Maksudnya, bila naksir sama seseorang, yang menaksir itu bisa kirim salam juga lagu buat yang ditaksirnya. Rasanya gimana gituuuu...bila namanya disebut sama si penyiar radio. Komunitas pendengar (sesuai genre) itu adalah komunitas sosial yang terbentuk antara pendengar dan penyiar, dan radio sebagai medianya. 

Lain lagi sahabat pena. Agak mahal dikit karena meski keluar biaya (prangko, beli surat, curhat di surat, saling sapa via kata-kata), tapi tak terbatas. Maksudnya, komunitasnya bukan lokal tapi antar pulau antar propinsi. Tetap sahabatan, tetap berteman, tapi tak kenal dekat. PT Pos sebagai media, jembatan sosial yang menghubungkan pertemanan jarak jauh. 

Dari dua di atas itu, sudah pasti tak banyak pilihan anak muda tuk mencari tulang rusuk. Rata -rata mereka yang menikah di era itu, mengenal dekat pasangan dari : dulunya teman sekolah (kuliah), teman masa kecil, teman sekampung atau sekompleks, teman kantor, teman sesama aktifis pada komunitas yang sama atau mungkin dicomblangin.

Wajar ya, lantaran jaman itu belum ada facebook, instagram, friendster dan aplikasi pertemanan lain seperti di jaman sekarang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun