Mohon tunggu...
Adnan Abdullah
Adnan Abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Seorang pembaca dan penulis aktif

Membaca, memikir dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ini Cerita tentang Jakarta

22 Juni 2022   20:23 Diperbarui: 22 Juni 2022   21:16 1730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Warta Kota/Angga Bhagya Nugraha

Hari ini Kota Jakarta genap berusia 495 tahun. 

Usia Jakarta 495 tahun itu jika dihitung sejak Fatahillah merebut dan mengganti nama Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi Jayakarta pada tahun 1527. Jika dihitung sejak masih bernama Sunda Kelapa atau Kalapa, maka usia Jakarta saat ini sudah mencapai 1.625 tahun. 

Jakarta adalah kota yang spesial bagi saya. Jakarta bukan sekedar kota besar, namun juga ibukota negara yang menjadi obsesi saya sejak kecil hingga saya bisa berada di Jakarta sampai sekarang ini. 

Saya hanyalah seorang pendatang dari ujung timur Nusantara, yaitu Papua. Sejak kecil saya sudah memiliki keinginan yang besar untuk pergi ke Jakarta. 

Waktu itu saya mengenal Jakarta dengan segala gemerlapnya hanya dari layar televisi dan cerita orang tua dan teman-teman saya yang pernah ke Jakarta. 

Kemegahan gedung-gedung tinggi dan gemerlapnya Kota Jakarta membuat saya yang sejak kecil hingga remaja tinggal di kota kecil di Papua begitu terobsesi, bukan sekedar untuk berkunjung, namun untuk menetap di Jakarta. 

Obsesi saya itu, saya ekspresikan dengan melukis Bundaran Hotel Indonesia (HI) dan gedung-gedung di sekitarnya. Lukisan itu saya simpan, selalu saya pandangi dan menjadi sumber motivasi untuk mewujudkan impian ke Jakarta. 

Namun tidak tahu kenapa, sejak saya pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta sampai sekarang, walaupun sering melewatinya, saya tidak pernah berkeinginan mampir dan berfoto di Bundaran HI. 

Singkat cerita, keinginan saya untuk ke Jakarta itu terus saya simpan dalam hati hingga saya tamat SMA, saya pun memutuskan untuk memilih Universitas Indonesia (UI) ketika mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri, walaupun saya menyadari peluang saya untuk masuk UI sangat kecil, orang tua saya pun tidak setuju. 

Ketika akhirnya saya tidak lolos masuk UI dan harus menuruti keinginan orang tua melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Makassar, impian saya untuk ke Jakarta tidak padam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun