Mohon tunggu...
Adnan Abdullah
Adnan Abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Seorang pembaca dan penulis aktif

Membaca, memikir dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bagaimana Membedakan Kritik dan Ujaran Kebencian

11 Februari 2021   11:21 Diperbarui: 11 Februari 2021   12:55 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Biro Setpres

Presiden Joko Widodo dalam sambutannya di acara peluncuran Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI meminta masyarakat untuk lebih aktif dalam memberi masukan dan kritik pada pemerintah. Hal ini, kata presiden adalah bagian dari proses untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik. 

Menurut beliau lagi, masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik dan masukan untuk mencegah potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan. 

Permintaan kritik dan masukan dari Presiden adalah hal yang wajar dan semestinya memang begitu. Bukan hanya presiden, tapi semua pejabat, gubernur, bupati, walikota, menteri, hingga pejabat eselon 1 sampai 4 serta semua aparatur pemerintah mestinya seperti itu. Pemerintah adalah pelayan rakyat, jadi semestinya terbuka untuk menerima kritik dan masukan dari rakyat. 

Pemerintah manapun, mulai dari masa Orde Lama, Orde Baru hingga Era Reformasi saat ini tidak ada yang sempurna, semuanya memiliki kekurangan yang harus dikoreksi dan diperbaiki. 

Permintaan kritik dan masukan dari presiden tersebut adalah hal yang lumrah, namun justru disalah pahami oleh sebagian orang yang justru mengaitkan permintaan kritik tersebut dengan tindakan aparat penegak hukum terhadap orang-orang yang melanggar hukum.   

Permintaan kritik dan masukan dari presiden tersebut dilakukan dalam momen yang terkait dengan Ombudsman RI, lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, jadi tidak ada kaitannya dengan ujaran kebencian yang ditindak oleh aparat penegak hukum.   

Sejak tumbangnya rezim otoriter Orde Baru, lalu berganti ke era reformasi, masyarakat bebas mengkritik pemerintah, bahkan sering kebablasan dengan caci-maki, hoax, provokasi, dan ujaran kebencian. 

Selama pemerintahan Presiden Jokowi, tidak ada satu pun tokoh pengkritik pemerintah yang ditangkap semata-mata karena mengkritik pemerintah. Kalau pun ada tokoh yang ditangkap pemerintah bukan karena mengkritik tapi karena kasus pidana pencemaran nama baik, menyebarkan hoax, provokasi, dan ujaran kebencian. Mengkritik dan menyebarkan ujaran kebencian adalah dua hal yang sangat berbeda dan tidak berkaitan.

Permintaan kritik dan masukan dari presiden itu mestinya ditanggapi positif sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk memperbaiki pelayanan publik. 

Harus diakui, budaya birokrasi kita masih kental dengan feodalisme. Para birokrat umumnya hanya menyampaikan hal-hal yang baik-baik saja kepada atasannya, para birokrat biasanya akan berpikir 1.000 kali untuk mengkritik atasannya karena risikonya jabatannya bisa dicopot atau karirnya mandeg, hal itu mengakibatkan kita sulit berharap adanya kritik dari dalam birokrasi, oleh karenanya kritik dari luar birokrasi atau dari masyarakat justru sangat dibutuhkan.  

Para pejabat pemerintah juga tidak sempurna dan banyak kekurangannya, sehingga butuh kritik yang konstruktif dan oposan yang berkualitas, bukan sekedar nyinyiran dari orang-orang yang sakit hati karena misalnya diberhentikan, diganti, atau tidak memperoleh jabatan sesuai yang diharapkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun