Mohon tunggu...
Yosika Pramangara Admadeli
Yosika Pramangara Admadeli Mohon Tunggu... Relawan - Learn and Sharing Psychological Topic

Fresh Graduate from Diponegoro University . “The great aim of education is not knowledge but action.” — Herbert Spencer

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dimensi yang Hilang dari Perang Melawan Covid-19

4 Agustus 2020   10:21 Diperbarui: 4 Agustus 2020   10:34 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Tahun 2018 penelitian yang dilakukan oleh Yogi membuktikan bahwa optimisme dapat menurunkan tingkat kecemasan pada individu. Untuk dapat dikatakan sebagai individu yang optimis, seseorang tidak hanya harus memiliki prediksi tentang hal baik akan terjadi (berpikir positif) melainkan juga memiliki perencanaan untuk keluar dari keadaan yang tidak diinginkan. Oleh karena itu dapat dirumuskan dua ranah optimisme yang bisa dilakukan, yaitu optimisme pada diri dan optimisme pada keadaan yang sedang terjadi.

Optimisme pada diri yang dimaksud adalah percaya bahwa diri kita mampu mencegah virus tersebut supaya tidak menginfeksi tubuh sendiri. Kita sudah banyak menerima informasi kesehatan melalui televisi, media sosial, koran, atau platform khusus kesehatan lainnya yang sangat jelas memberikan petunjuk apa saja yang dapat kita lakukan. Harusnya informasi seperti inilah yang lebih kita berikan perhatian lebih supaya kita lebih peduli untuk menjaga kesehatan. Oleh karena itu menumbuhkan sikap optimisme dalam diri sangatlah penting dengan cara berpikir bahwa diri kita mampu menjaga ketahanan tubuh dengan cara melakukan langkah-langkah yang dapat meningkatkan imunitas serta memperkecil kemungkinan terpapar Covid-19.

Optimisme yang berikutnya adalah optimisme pada keadaan. Optimisme merupakan upaya mencari sisi positif dari kondisi wabah ini dan perencanaan strategi melawan Covid-19. Tentunya bagian ini sangat sulit bagi kebanyakan orang, karena perlu kekayaan refleksi dan kearifan untuk mencari sisi positif dari suatu kondisi yang tidak menyenangkan.

Sebagai salah satu upaya membantu menumbuhkan optimisme jenis ini, masyarakat perlu tahu bahwa menurut Dr. Howard Markel telah menangani virus SARS, virus yang serumpun dengan Covid-19, dan dia mengungkapkan bahwa wabah ini akan segera selesai dengan didukung adanya perubahan cuaca serta kelembaban karena memasuki musim panas. Menurut Markel, wabah Covid-19 ini akan selesai pada bulan Juni atau Juli 2020. Sehingga dapat disimpulkan bahwa wabah ini bukanlah wabah yang berlangsung seumur hidup, wabah ini akan segera selesai. Oleh karenanya marilah tidak cemas secara berlebihan, namun sambil menunggu waktu berakhirnya wabah ini kita bisa melaksanakan protokol Covid-19.

Faktanya saat ini masih banyak warga yang merasa takut secara berlebihan, sehingga dapat disimpulkan bahwa banyak masyarakat yang belum memiliki sikap optimis menghadapi masalah ini. Perasaan cemas berlebihan yang diakibatkan ketidakhadiran optimisme tersebut kemudian mendorong kita menjadi reaktif dan menyalahkan siapa atau apa saja yang dianggap memperburuk keadaan. Budaya menyalahkan ini terus dilakukan tanpa menilik kembali ke dalam diri, apakah kita sendiri sudah benar dalam menyikapi suatu peristiwa.

 

Perlunya Ganti Budaya di Tengah Wabah

Wabah ini telah mendatangkan banyak kerugian bagi berbagai pihak, sehingga salah apabila justru dipergunakan sebagai ajang untuk saling menyalahkan atau membenarkan. Bukan pula sebagai ajang untuk menyudutkan atau menunjukkan pembelaan, tapi seharusnya wabah ini justru mendorong kita untuk bergotong royong menyelesaikannya bersama. Sebagaimana nilai gotong royong di Indonesia menjadi nilai yang terus menerus ditekankan. Tidak selalu harus dengan memberikan donasi yang besar, tetapi dapat dimulai dengan mendukung upaya pemerintah dalam melakukan penanganan.

Pemerintah sebagai organisasi “pelayan” masyarakat saat ini membutuhkan dukungan dari warganya juga, terutama dari para pengguna media sosial supaya dapat turut menggaungkan budaya empati, bukan budaya menghujat. Empati ini tidak susah, cukup dengan percaya bahwa pemerintah telah melakukan upaya terbaiknya untuk menangani wabah ini dan percaya pula bahwa wabah ini akan segera selesai. Dengan adanya kepercayaan, maka dengan sendirinya kita akan tergerak memberi dukungan pada pemerintah.

Dukungan sebagai bentuk empati sudah seharusnya dimanifestasikan melalui perilaku. Perilaku kita lah yang kemudian menjadi salah satu indikator suatu kebudayaan. Seperti saat ini, influencer yang sudah bermunculan telah memicu masyarakat disekitarnya untuk ikut menjadi influencer juga. Fenomena ini adalah positif untuk menumbuhkan budaya empati di tengah masyarakat Indonesia. Budaya inilah yang perlu diteruskan hingga bisa mengganti budaya menghujat.

Dengan penuh kesadaran, mari kita biarkan negara menjalankan tugasnya, yaitu mengurusi masalah pandemi ini. Jangan biarkan diri dan hujatan kita bertransformasi jadi “virus” baru yang membuat negara semakin carut marut. Teringat akan pepatah Jawa “Rukun agawe santosa, Crah agawe bubrah” yang artinya kerukunan akan membawa kedamaian ketentraman dan konflik menimbulkan kehancuran. Oleh karena itu, saya rasa sudah seharusnya pepatah tersebut mengilhami segala tindakan kita di saat seperti ini. (***)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun