Mohon tunggu...
Adlan Pradana
Adlan Pradana Mohon Tunggu... Dosen - Guru Sekolah Kejuruan

Guru Sekolah Kejuruan UGM, Pengamat Pendidikan dan Ketenagakerjaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menilik Kembali Pancasila Kita

1 Juni 2020   15:09 Diperbarui: 1 Juni 2020   15:07 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari ini untuk keempat kalinya sejak tahun 2016, tanggal 1 Juni tercetak merah di kalender, Hal ini menandakan bahwa tanggal tersebut adalah hari libur nasional, yaitu Hari Lahir Pancasila. Walau peristiwanya terjadi pada tahun 1945, namun pengesahan secara resmi bahwa 1 Juni adalah Hari Lahir Pancasila baru diputuskan pada tahun 2016 melalui melalui Keputusan Presiden (Kepres) No 24/2016. Pengesahan ini terjadi setelah diperjuangkan dengan keras oleh Presiden ke-5 Ibu Megawati Soekarnoputri [1]. Agaknya beliau ingin agar warisan orangtuanya (Bung Karno) mendapat perhatian yang sama dengan warisan penggantinya (Pak Harto). Sebagaimana diketahui, selama pemerintahan Pak Harto, beberapa peristiwa dengan aktor utama yang kebetulan adalah Pak Harto sendiri seperti Hari Kesaktian Pancasila (1 Oktober), Serangan Umum (1 Maret) dan Supersemar (11 Maret) mendapat perhatian khusus. Entah mengapa Bu Mega tidak menetapkan Hari Kelahiran Pancasila sewaktu menjabat sebagai Presiden. Bisa jadi beliau lupa karena ada hal-hal lain yang lebih penting.

Secara bahasa Pancasila berasal dari Bahasa Sansekerta berarti lima (panca) prinsip (sila) [2]. Karena berasal dari Bahasa Sansekerta, maka kata Pancasila tidak digunakan secara eksklusif oleh Indonesia saja, namun juga digunakan oleh India. Kata ini (Panchsheel) digunakan sebagai nama prinsip perjanjian damai antara India dengan Cina. Untuk mengenang perjanjian damai ini, di ibukota India (New Delhi), terdapat jalan dengan nama Panchsheel Marg.

Pancasila sendiri secara sejarah adalah produk sidang pertama BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang membahas Dasar Negara Indonesia pada 29 Mei -- 1 Juni 1945. Secara kronologis yang terjadi adalah tanggal 29 Mei 1945 M. Yamin berpidato tentang lima dasar negara tanpa memberi nama; (1) Peri Kebangsaan, (2) Peri Kemanusiaan, (3) Peri ke-Tuhanan, (4) Peri Kerakyatan, (5) Kesejahteraan Rakyat. Kemudian secara tertulis, beliau lagi dasar negara yang berbeda, juga tanpa nama; (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kebangsaan Persatuan Indonesia, (3) Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada 31 Mei 1945, Dr. Soepomo menyampaikan 5 rumusan dasar negaranya, juga tanpa nama; (1) Persatuan, (2) Kekeluargaan, (3) Keseimbangan lahir dan batin, (4) Musyawarah, (5) Keadilan rakyat. Baru pada 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan 3 usulan dasar negara; yang berjumlah 5, 3 dan 1, dengan nama berturut-turut Pancasila, Trisila dan Ekasila. Pancasila: (1) Kebangsaan Indonesia (nasionalisme), (2) Internasionalisme (peri-kemanusiaan), (3) Mufakat (demokrasi), (4) Kesejahteraan sosial, (5) Ketuhanan yang berkebudayaan. Trisila: (1) Sosio-nasionalisme, (2) Sosio-demokratis, (3) ke-Tuhanan. Ekasila: Gotong-Royong. Dari rangkaian persitiwa ini dapat dilihat bahwa sungguhpun yang mencetuskan nama Pancasila adalah Bung Karno, namun yang isinya paling mendekati dengan bentuknya yang sekarang adalah versi tertulis M. Yamin [3]. Versi Pancasila dan Trisila dari Bung Karno sama-sama menempatkan Ketuhanan di nomor terakhir. Agaknya inilah yang menjadi alasan seorang penceramah terkemuka pernah menyatakan bahwa Versi Pancasila Bung Karno menempatkan Tuhan di (maaf) pantat [4].

Pada perjalanannya sila pertama Pancasila versi tertulis M Yamin ini sempat diimbuhi 7 kata "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya", sebelum akhirnya dihapus kembali setelah didesak perwakilan Golongan Kristen. Kelegawaan dan kebesaran hati Golongan Agama (Islam) dalam menerima penghapusan 7 kata ini sangat krusial demi persatuan Indonesia. Terbukti 2 tahun setelahnya, Golongan Nasional dan Golongan Agama di British India, tidak menemui kata sepakat dalam penyusunan dsar negaranya, sehingga berujung terpecahnya British India menjadi  2 negara terpisah, India dan Pakistan [5].

Dalam perjalanannya Pancasila pernah menghadapi tantangan dari 2 arah; dari arah kiri (PKI) [6] dan dari arah kanan (DI/TII, HTI) [7]. Tantangan dari kiri ditangkal dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan Komunisme, Marxisme dan Leninisme [8]. Sementara itu tantangan dari kanan ditangkal dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) 2/2017 [9]. Jika diperhatikan kembali, Tap MPRS XXV/MPRS/1966 adalah tentang pelarangan paham, sedangkan Perppu 2/2017 adalah pelarangan organisasi. Konsekuensi dari 2 peraturan ini adalah, dari arah kiri Paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme sudah tidak lagi memungkinkan untuk hidup. Paham paling kiri yang masih memungkinkan untuk hidup adalah Sosialisme. Sedangkan dari arah kanan karena yang hanya organisasinya, teokrasi ala HTI masih memiliki kemungkinan menggunakan nama baru.

Jika dilihat dari hasil pemilu terakhir, baik tantangan dari kanan maupun dari kiri ini agaknya sangat kecil. Yang  paling mengusung sentimen rakyat kecil/wong cilik seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pun masih tergolong partai tengah. Sementara itu partai yang paling kananpun seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Bulan Bintang (PBB) tidak mengusung paham teokrasi. PKS misalnya, alih-alih mengkampanyekan penerapan syariat Islam, hanya mengkampanyekan isu yang sangat-sangat pragmatis macam penghapusan pajak sepeda motor dan Surat Izin Mengemudi (SIM) seumur hidup [10]. PBB malah tidak mengkampanyekan apa-apa kecuali ketokohan Prof. Yusril Ihza Mahendra (YIM).

Namun demikian, bagaimanapun Pancasila adalah suatu ideologi terbuka. Paham yang paling kiripun (sosialisme) masih tetap bisa diakomodir oleh Pancasila melalui sila kelimanya. Contoh penerapannya adalah kepemilikan faktor-faktor produksi oleh negara melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Adanya berbagai bantuan sosial juga merupakan bukti penerapan sosialisme di bawah naungan Pancasila. Sebaliknya, paham yang paling kanan sekalipun dalam batas-batas tertentu masih bisa terakomodir oleh sila pertama Pancasila. Contohnya adalah adanya Bank Syariah, Kementerian Agama (Kemenag) dan perangkat di bawahnya; Pengadilan Agama (PA) dan Kantor Urusan Agama (KUA). Bahkan penerapan Hukum Pidana Islam seperti di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) juga bisa dilaksanakan di bawah naungan Pancasila. Dari 2 contoh di atas, asalkan dalam batasan-batasan tertentu yang masih dalam koridor dan dilakukan secara damai, penerapan Pancasila masih bisa bergeser ke kiri dan kanan secara fleksibel.

Lebih jauh lagi, jika digali lebih dalam, tuntutan dasar dari arah kiri adalah keadilan sosial yang lebih adil, sedangkan tuntutan dasar dari arah kanan adalah; (1) penerapan Hukum Pidana Islam dan (2) suksesi secara Islam. Tuntutan-tuntutan ini baik dari kiri maupun kanan sesungguhnya dapat diakomodir tanpa mengubah Dasar Negara Pancasila, melainkan cukup dengan mengubah peraturan turunannya; Undang-Undang Dasar (UUD), Undang-Undang (UU) dan seterusnya.

Sebagai kesimpulan, istilah Pancasila memang lahir pada 1 Juni 1945 dan dicetuskan oleh Bung Karno, namun untuk isinya kita patut berutang budi pada M. Yamin. Pancasila sebagai ideologi yang terbuka dalam batasan-batasan tertentu mampu mengakomodir beragam paham, terbukti dengan partai peserta pemilu dengan ideologi yang bermacam-macam. Pancasila juga terbukti dapat mengikuti perkembangan dan perubahan zaman, terbukti dengan kenyataan bahwa walapun zamannya berbeda, Orde Lama (Orla), Orde Baru (Orba) dan Orde Reformasi sama-sama menggunakan Pancasila sebagai falsafah negara. Ruang untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur, sejahtera terbuka lebar tanpa urgensi untuk mengubah Pancasila. Sejarah membuktikan bahwa mengubah dasar negara Pancasila (PKI dan DI/TII) hanya mengakibatkan gejolak yang pada akhirnya malah menghalangi masyarakat mencapai kesejahteraannya.

  1. https://jdih.jakarta.go.id/uploads/default/produkhukum/Keppres_Nomor_24_Tahun_2016.pdf

  2. http://staffnew.uny.ac.id/upload/131655984/pendidikan/Pancasila+02.pdf

  3. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
    Lihat Sosbud Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun