Mohon tunggu...
Agung Dwi Laksono
Agung Dwi Laksono Mohon Tunggu... peneliti -

Seorang lelaki penjelajah yang kebanyakan gaya. Masih terus belajar menjadi humanis. Mengamati tanpa menghakimi. Mengalir saja...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wakatobi; Surga Laut yang Seharusnya Menginspirasi

16 Mei 2016   07:25 Diperbarui: 17 Mei 2016   07:53 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lanscape view dari Pulau Tomia; Dokumentasi Peneliti

Untuk Jampersal, implementasi kebijakannya di kabupaten ini kami berani mengatakan bahwa dalam hal mekanisme pembayaran klaim dan persyaratan jaminan, Kabupaten Wakatobi merupakan yang terbaik di Indonesia! Setidaknya kami membandingkan dengan 14 kabupaten/kota yang kami datangi di tujuh propinsi di wilayah Republik ini. Bagaimana tidak? Kabupaten kepulauan ini begitu berani menetapkan (sesuai Juknis) bahwa persalinan yang bisa dilakukan klaim adalah persalinan yang hanya dilakukan di fasilitas kesehatan oleh tenaga kesehatan. Sebuah keberanian yang layak mendapatkan apresiasi di tengah minimnya sarana dan fasilitas kesehatan yang jangkauan wilayahnya cukup luas.

Untuk pembayaran klaim Jampersal pun, Kabupaten Wakatobi memberikan seratus persen klaim langsung kepada pemberi layanan (bidan), tanpa ada potongan atau pajak apapun. Hal ini tidak terjadi di beberapa kabupaten/kota yang kami kunjungi, terutama bagi bidan pemerintah (bidan yang melayani di Puskesmas, Pustu, Poskesdes, dan Polindes). Biasanya di beberapa wilayah klaim yang tanpa potongan apapun bisa terjadi hanya pada ‘bidan swasta’ yang memiliki perjanjian kerja sama dengan Dinas Kesehatan.

Mekanisme keuangan yang berlaku di Kabupaten Wakatobi memang berbeda dengan kabupaten/kota lainnya yang kami temui. Di kabupaten ini aliran keuangan Jampersal tidak perlu mampir dulu ke Kas Daerah. Jadi dari Dinas Kesehatan langsung kepada bidan pemberi layanan melalui pengelola Jampersal di Puskesmas.

Kesuksesan dalam manajemen pengelolaan klaim bukan berarti implementasi kebijakan Jampersal dalam hal pelayanan menjadi lebih mudah di wilayah ini. Adat budaya untuk melahirkan di rumah, masih banyaknya jumlah dukun bayi, serta sulitnya medan serta sebaran penduduknya yang begitu luas menjadikan tantangan tersendiri bagi petugas kesehatan dalam memberi pelayanan.

Budaya setempat yang lebih menyukai melahirkan di rumah cukup merepotkan untuk mewujudkan cita-cita persalinan di fasilitas kesehatan. Pada akhirnya memaksa petugas untuk jemput bola! Bila ada ibu hamil yang mau melahirkan, maka akan dijemput oleh mobil ambulan untuk dibawa ke Puskesmas. Tidak berhenti hanya sampai di situ, momennya pun harus tepat! Minimal harus menunggu pembukaan 7 atau bahkan pembukaan lengkap, atau kalau tidak masyarakat (ibu bersalin dan keluarganya) akan nggrundel karena menunggu terlalu lama di Puskesmas.

Jumlah dukun bayi dan trust (kepercayaan) masyarakat yang begitu tinggi pada dukun tersebut juga turut menjadi tantangan tersendiri bagi petugas kesehatan. Kepercayaan yang sedemikian tinggi pada dukun bayi benar-benar mewarnai kehidupan masyarakat di wilayah ini. Masyarakat lebih rela membayar dukun bayi daripada pelayanan gratis di Puskesmas.

Jangan membayangkan tarif dukun bayi yang sekedarnya seperti layaknya dukun bayi di wilayah lain. Di wilayah ini sedemikian tingginya trust masyarakat kepada dukun menempatkan dukun dalam posisi yang sangat prestis. Untuk wilayah Pulau Binongko saja tarif dukun bayi sekitar Rp. 400.000,-, sedang di wilayah Pulau Tomia tarifnya mencapai angka Rp. 900.000,-. Bagaimana dengan tarif dukun bayi di ibukota kabupaten? Sangat fantastis! Mencapai tiga kali lipat tarif pelayanan Bidan yang ditanggung oleh Jampersal. Rp. 1.500.000,-.

 

KETERSEDIAAN PELAYANAN KESEHATAN

Seperti layaknya kabupaten kepulauan lainnya, ketersediaan pelayanan kesehatan masih cukup menjadi masalah di wilayah ini. Untuk wilayah Puskesmas Tomia yang kami datangi, dengan ampuan wilayah yang mencapai 6 desa, tenaga bidan yang tersedia hanya 3 orang, yang otomatis setiap bidan harus mampu mencover dua desa.

Di sini, satu bidan untuk satu desa itu tidak cukup pak! Apalagi ini kita hanya diberi tiga bidan untuk enam desa...” demikian keluh salah satu tokoh masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun