Mohon tunggu...
Syahroni Batik
Syahroni Batik Mohon Tunggu... Penulis - Sedang Belajar Agribisnis

Selain menulis artikel ilmiah, Tertarik juga menulis artikel-artikel ringan di media massa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Tangguh dari Protektifnya Ibu

23 November 2020   01:03 Diperbarui: 23 November 2020   01:18 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Provided by: Zurijeta/Shutterstock.com

Ibu bagi saya adalah sosok yang gampang berubah-ubah karakternya. Sejak zaman Sekolah Dasar (SD), ibu adalah sosok yang sangat protektif (bersifat melindungi), terutama ketika anaknya melakukan hal-hal yang menurutnya berbahaya, padahal hal itu biasa saja. Kadang-kadang juga, ibu bisa menjadi menakutkan ketika memarahi anaknya, itu karena karakter ibu yang protektif tadi. 

Saat di SD, saya bersama teman-teman seringkali main ke pantai, iya, karena desa tempat saya tinggal sejak lahir sampai lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) berada di pesisir pantai. Jadi, selepas sekolah, kami biasa bermain dipantai, berenang, mencari kerang-kerang laut, atau bahkan sampai memancing. 

Itu kami lakukan dari pulang sekolah sampai menjelang magrib (Ibu mana yang tidak marah dengan yang demikian). Tentu saja, ibu yang akrab saya panggil mama sangat khawatir, kalau-kalau anaknya sampai kelelep di laut (baca: tenggelam), ya tentu saja, itu bisa terjadi pada anak SD yang tubuhnya mungil dan kurus seperti saya (hahaha..).

Akan tetapi, dari protektifnya ibu yang demikian, kita kemudian bisa belajar kedisiplinan, belajar hal-hal mengenai aturan (contohnya aturannya ibu), dan tentunya merasakan punishment. Tentunya sebagai orangtua, ibu menginginkan yang terbaik untuk anaknya, ia tidak menginginkan hal-hal yang buruk pada anaknya. 

Kadang-kadang ibu sering memberi hukuman yang menurut saya cukup menyakitkan (xixixi..), contoh yang paling ekstrim adalah hukuman memukuli anak pakai sepotong kayu, iya itu yang terjadi pada saya. Tapi menariknya, ketika punishment itu dilakukan oleh ayah, ibu malah tidak tega melihat anaknya dihukum oleh sang ayah. Menurut saya, ini bentuk sikap sangat menyayanginya ibu, sikap lemah-lembutnya sebagai seorang wanita yang pada dasarnya tidak menyukai kekerasan dan kekasaran.

Ketangguhan ibu, bisa juga dilihat ketika beliau mengandung anaknya selama 9 bulan 10 hari. Dalam keadaan hamil, ibu bahkan juga harus bekerja sambil menahan beban yang ada diperutnya yang kemudian melemahkannya. Setelah melahirkan, kondisi fisik seorang ibu bahkan belum langsung pulih, beliau harus menyusui lagi anaknya, kemudian mendidiknya.

About education

Mama tidak pernah duduk dibangku perguruan tinggi, tapi sangat mengiginkan anak-anaknya untuk sekolah setinggi mungkin. Beliau (baca: mama) berpesan, "sekolah setinggi-tingginya, tapi jangan lupa belajar agama, jangan tinggalkan sholat, sering-seringlah mengaji, karena itu adalah kunci kebahagiaan". 

Makanya dimasa kecil, saat SD, kami sangat diharuskan untuk minimal sholat magrib, selepas sholat magrib, kami melanjutkan dengan belajar mengaji di masjid, dan baru pulang kerumah selepas sholat isya. Ini adalah rutinitas yang saat menurut saya sangat berat (hahaha..), bagaimana tidak, pada sore hari saat masih asyik-asyiknya main, tiba-tiba langsung dicari oleh ibu atau bapak dan langsung diperintahkan pulang kerumah untuk prepare sholat magrib (menjalankan rutinitas tadi). Pelanggaran untuk rutinitas tersebut, maka hukumannya cukup menyakitkan, mulai dari dicubit dibagian paha, dipukul pakai sepotong kayu, nggak diberi jajan sekolah dan pastinya diomelin.

Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya

Mama dikeluarga saya adalah pengendali rumah (salah satu pengendali selain pengendali udara, air, api dan tanah wkwkwk..). Oleh karenanya, saya sangat berusaha untuk tidak melanggar aturan rutinitas diatas yang dibuat mama, karena akibatnya bisa mengerikan, apalagi kalau papa juga ambil alih. Hal-hal seperti bolos sekolah, dihukum disekolah, tidak naik kelas, tidak sholat magrib, telat bangun pagi, dan bolos mengaji adalah sangat sulit untuk dilakukan. 

Pada akhirnya, alhamdulilah, saya bisa menyelesaikan pendidikan formal dengan cukup baik mulai dari TK, SD, MTs (setara SMP), MA (setara SMA), S1, insya Allah S2 dan mudah-mudahan juga S3 nantinya (baca: amin). Ketangguhan menempuh pendidikan sambil belajar agama insya Allah sudah tertanam dalam hati dan pikiran saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun