Mohon tunggu...
Aditya Nuryuslam
Aditya Nuryuslam Mohon Tunggu... Auditor - Menikmati dan Mensyukuri Ciptaan Ilahi

Menjaga asa untuk senantiasa semangat berikhtiar mengadu nasib di belantara Megapolitan Ibukota Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jauhkanlah Kami dari Godaan Hampers yang ...... (Memabukkan)

23 April 2022   23:29 Diperbarui: 28 Desember 2022   11:34 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : lifestyle kompas

Tidak dipungkiri lagi, dunia saat ini sedang tercengkeram oleh budaya konsumerisme hingga sedemikian akut dan kuatnya. Pengaruh budaya konsumerisme ini bahkan telah meresap di setiap sendi kehidupan masyarakat di segala lapisan tak terkecuali. Mulai dari ajang pamer kekayaan di medsos dengan dalih untuk menunjukkan sebuah kesuksesan yang terkadang itu hanyalah gambaran semu agar "diakui" oleh masyarakat bahwa dia adalah orang yang sukses dan berada.

Budaya konsumerisme memang dikemas sedikian rupa dalam beragam wajah dan karakter, sehingga bisa masuk dan diterima di segala lapisan sendi kehidupan, salah satunya adalah "membudayakan" saling bertukar parcel, kado hingga yang ngetren saat ini adalah mengirimkan hampers atau bingkisan untuk peringatan moment tertentu. Founding fathers pemrakarsa budaya konsumerisme ini memang sangat lihai dalam melihat situasi yang tentu saja akan menguntungkannya.

Secara psikologis, masyarakat pastilah happy dan bahagia jika menerima kado, bingkisan atau hampers dari orang-orang di circle nya, di sisi lain sang provokator budaya konsumerisme juga paham bahwa manusia punya kelemahan lain yaitu akan merasa berhutang budi, ingin mengembalikan kebaikan orang lain dengan memberikan bingkisan, kado atau hampers yang kalau bisa lebih baik dari yang dia terima. Kondisi inilah yang menyebabkan masyarakat "dipaksa" untuk melakukan barter kado, bingkisan dan hampers yang kalau mau kita jujur bilang, itu pembelanjaan yang tidak perlu atau wasting consume.

Dari pengalaman yang kami alami dalam 2 tahun terakhir ini bahwa kami menerima beberapa hampers yang menurut kami itu tidak perlu diberikan kepada kami, selain barangnya bukanlah barang yang kami butuhkan saat ini, juga akhirnya barang tersebut menjadi tumpukan barang tidak berharga yang menumpuk di gudang (sangat disayangkan), atau kami menerima hampers berupa makanan akhirnya tidak kami konsumsi karena jumlahnya jadi berlebihan dan ujung ujungnya tidak dapat dimakan secara maksimal karena keburu basi.

Yang menjadi kegundahan kami (sebagai orang timur) adalah ketika kita menerima, pastilah kita akan membalas dan itu sudah seperti menjadi kewajiban. Hal ini akan menjadi serba salah ketika kita memutuskan tidak membalas mengirimkan hampers kepada mereka yang telah memberikan hampers kepada kita, sedikit banyak pasti akan timbul pergunjingan dan di socio culture kita,  menjadi bahan pergunjingan itu adalah beban sosial yang berat bagi sebagian masyarakat kita. 

Yang berikutnya adalah ketika kita "memaksakan diri" untuk mengirimkan balasan hampers dengan "setengah ikhlas" akan ada dua kemungkinan juga, yang pertama adalah diterima hampers kita dengan catatan belum tentu sesuai kebutuhannya dan yang kedua  adalah diterima namun tetap saja jadi bahan pergunjingan ketika nilai hampers yang kita kirimkan "dianggap" tidak sebanding dengan hampers yang dia kirimkan kepada kita. Bagi saya ini adalah vicius circle of hampes yang tidak akan ada putusnya.

Fenomena lain yang sempat kami amati adalah, pengiriman hampers ini adalah sebuah modus, misalnya si A memiliki barang atau makanan yang berlebih kemudian dia mengirimkan ke koleganya dengan harapan mendapatkan kiriman balik hampers yang nilainya lebih tinggi. 

Ada beberapa cara untuk menghentikan budaya "jual beli" hampers dan memutus rantai vicius circle of hampers serta memutus pola konsumerisme yang dipaksakan melalui busaya hampers ini adalah sebagai berikut :

  1. Mengumumkan baik secara formal atau informal kepada kerabat, kolega dan stakeholders, bahwa kita tidak menerima hampers untuk peringatan apapun itu;
  2. Membudayakan agar budget hampers di realokasikan guna memberikan sembako kepada masyarakat yang kurang mampu, hal ini akan lebih mengena sasaran dan pastinya bermanfaat bagi mereka yang wajib dibantu;
  3. Mensosialisasikan bahwa budaya hampers itu closely related dengan wasting money, upaya sogok dan melanggengkan budaya upeti; 
  4. Menyadarkan kepada masyarakat luas bahwa budaya kirim hampers itu tidak ada manfaatnya, apalagi diberikan kepada kolega, rekan kerja, stakeholders yang tentu saja mereka telah berkecukupan;
  5. Jika mendapat hampers dan tidak kuasa untuk harus membalas dengan mengirimkan hampers kepada si pengirim, berikan hampers yang nilainya standard saja, sehingga memberikan signal kepada si pemberi hampers untuk tidak mengirimkan hampers lagi ke kita. 

 Demikianlah pendapat saya tentang booming budaya kirim hampers yang merupakan salah satu ekses budaya konsumerisme yang saat ini tengah merebak di masyarakat, silahkan berbeda pendapat karena hal itu adalah sah sah saja di negara yang mengagungkan demokrasi seperti di negara ini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun