Mohon tunggu...
Aditya Irawan
Aditya Irawan Mohon Tunggu... -

I see and I observe

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Wajah Bopeng Bangka Belitung

15 Mei 2015   14:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:01 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar kata Bangka Belitung? Mungkin banyak dari Anda akan menyebut Laskar Pelangi, Pantai Tanjung Tinggi dengan batuan besarnya, atau Batu Satam yang cukup tersohor itu. Yang lain barangkali akan mengaitkan provinsi yang lepas dari Sumatera Selatan sejak 2001 ini dengan beberapa tokoh, mulai DN Aidit, Yusril Ihza Mahendra, Andrea Hirata, atau Basuki Tjahaja Purnama. Semua asosiasi tersebut cukup melekat pada Bangka Belitung atau kerap disingkat menjadi Babel itu. Namun rasanya ada satu lagi yang mesti disebut kala kita bicara tentang Bangka Belitung: timah.

[caption id="attachment_383726" align="aligncenter" width="560" caption="Pantai Tanjung Tinggi, Belitung (bangka-belitung.com)"][/caption]

Ya, Bangka Belitung adalah ‘lumbung’ timah nasional kita sejak zaman penjajahan Belanda. Logam berwarna hitam legam ini memiliki perang penting dalam dunia industri, di antaranya sebagai bahan pelapis baja, alumunium foil, penyambung logam dengan solder, pelapis kaleng, bahan produksi kaca, sampai dengan komponen industri otomotif.

Sebagai daerah penghasil timah yang berlimpah, semestinya ini berdampak positif pada Bangka Belitung secara sosial-ekonomi. Namun teori dan kenyataan seringkali tak sejalan. Memang, terdapat sisi terang dengan adanya penambangan logam ini, di antaranya menciptakan lapangan pekerjaan baru, sumber pendapatan daerah, serta menggerakkan sektor ekonomi di sekitar daerah pertambangan. Namun sisi gelap dari timah juga telah menghantui Babel sejak dahulu kala. Dan malangnya, masyarakat Babel sendiri yang harus menanggung akibatnya.

Tidak perlu lama untuk melihat dampak negatif dari penambangan timah di Bangka Belitung. Bila Anda berkesempatan untuk berkunjung ke Babel via pesawat, tengoklah keluar jendela selama beberapa menit sebelum pesawat mendarat. Bayangan mengenai pantai permai dengan batuan besar yang tergambar dari film Laskar Pelangi lenyap seketika, digantikan oleh pemandangan tanah yang bopeng bekas penggalian timah. Itulah wajah pertama Bangka Belitung dalam menyambut para tamunya.

[caption id="attachment_383727" align="aligncenter" width="540" caption="Kawasan Hutan Bangka Selatan bekas penambangan (antaranews.com)"]

14316757671053169537
14316757671053169537
[/caption]

Bagaimana tidak? Inilah hasil dari berpuluh tahun aktivitas pertambangan di berbagai penjuru Bangka Belitung. Ironisnya, banyak di antara penambangan timah ini adalah ilegal alias tidak mengantongi izin resmi. Sudah menjadi rahasia umum, maraknya penambangan ilegal ini awalnya justru dimanfaatkan oleh PT Tambang Timah sebagai penambang resmi terbesar, untuk membantu pasokan produksi timah. Namun belakangan, penambangan ilegal ini makin tak terkendali. Diperkirakan ribuan penambang ilegal telah beroperasi di berbagai wilayah Bangka Belitung.

Yang namanya ilegal, tentu saja ia mengabaikan prinsip-prinsip yang mesti dijalani dalam melakukan kegiatan menambang timah. Akibatnya bisa ditebak, kelestarian alam sekitarlah yang menjadi korban. Selain itu karena beroperasi tidak resmi, tidak ada pajak yang masuk ke kas pemerintah. Maka, ekspor timah ilegal merajalela.

[caption id="attachment_383728" align="aligncenter" width="560" caption="Operasi Penambangan Timah di Laut Bangka Belitung (http://www.ubb.ac.id/)"]

1431675988596392746
1431675988596392746
[/caption]

Fenomena penambangan timah ilegal ini memang laksana pisau bermata dua. Satu sisi dapat memberdayakan masyarakat secara ekonomi, sisi lain harga yang harus dibayar oleh alam dan masyarakat Babel sangatlah mahal. Tanah berlubang bekas penambangan ilegal, atau sering disebut Tambang Rakyat ini sangat berbahaya karena menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan dalam jangka panjang. Yang paling vital adalah menurunnya kualitas dan kuantitas air di wilayah bekas penambangan karena telah tercampur dengan berbagai logam berat. Tidaklah mengherankan jika banyak warga Babel sampai harus membeli air bersih untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya.

Malang bagi masyarakat Bangka Belitung, kondisi seperti ini telah berlangsung sekian lama tanpa ada tindakan nyata dari pihak otoritas. Rezim demi rezim pemerintah telah berganti, namun agaknya wajah bopeng Bangka Belitung yang satu ini seperti luput dari perhatian. Sampai akhirnya, sebuah angin segar terhembus baru-baru ini.

Menteri Perdagangan Kabinet Kerja, Rachmat Gobel berencana untuk menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang akan memperketat ekspor timah. Ini sebuah langkah strategis yang beritikad serius untuk membenahi, atau setidaknya menghentikan wajah bopeng Bangka Belitung. Dengan adanya Peremendag ini, diharapkan akan berdampak langsung terhadap kegiatan penambangan timah yang tentunya akan mengalami ‘seleksi alam’ secara lebih ketat.

[caption id="attachment_383729" align="aligncenter" width="576" caption="Menteri Perdaganagan, Rachmat Gobel (detikfoto)"]

1431676214574212173
1431676214574212173
[/caption]

Alangkah sayangnya, keindahan dan kelestarian alam Bangka Belitung tergerus oleh penambangan timah tak terkendali dan ilegal yang tidak hanya merusak lingkungan namun juga lolos dari kewajibannya membayar pajak. Betapa tidak bijak, segelintir orang meraup keuntungan, jutaan lainnya hanya merasakan dampak buruknya. Besar harapan masyarakat Babel dan daerah penghasil timah lainnya di Indonesia agar Permendag yang membatasi keran ekspor ini akan menjadi oasis baru.

Tentunya ini tak mudah, bakal ada pihak yang pro dan kontra. Namun kita perlu sedikit merenung, bercermin sejenak bahwa kita telah begitu serakah mengeruk isi bumi ini tanpa ampun. Kita, dan anak cucu kitalah yang akan membayarnya dengan kerusakan alam berupa tanah, air, hutan, maupun biota laut yang tidak mungkin dipulihkan dalam waktu dekat. Kita mesti melihat jauh ke depan, melampaui kepentingan sesaat, karena bumi inilah satu-satunya rumah yang kita punya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun