Mohon tunggu...
Aditya Budi
Aditya Budi Mohon Tunggu... Freelancer - Aktif di Lembaga Filantropi Nasional

Penulis receh di beberapa media online dan pembaca sastra serabutan. Aktif dalam kegiatan filantropi dan pemberdayaan ekonomi. Concern terhadap isu-isu kemiskinan, pemberdayaan sosial dan ekonomi islam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Bangsa yang Gila Baca, Gus Dur

4 Desember 2020   08:52 Diperbarui: 4 Desember 2020   09:34 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kecerdasan Gus Dur dalam dunia literasi tidak lahir begitu saja. Saya pernah menyaksikan secara langsung, sebagaimana dituturkan langsung oleh adik Gus Dur,  K.H Sholahudin Wahid (Gus Sholah). Beliau pernah bercerita, suatu ketika Gus Dur tengah terbaring sakit sembari tidur di kasur, mendikte Gus Sholah untuk menulis sebuah artikel dan tulisan tersebut esok harinya pasti terbit di koran.

Kisah tersebut menggambarkan bagaimana kuatnya kecerdasan literasi seorang Gus Dur, bahkan dalam kondisi sakit sekalipun. Dengan santainya Gus Dur yang sedang dalam kondisi lemah mampu memproduksi sebuah artikel berkualitas yang dengan mudahnya pasti akan dimuat di media masa kala itu. 

Lahir sebagai seorang cucu dari seorang ulama besar nasional Hadratusyaikh K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri NU, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur merupakan sosok yang senantiasa menjadi sorotan sejak masa belianya. Gus Dur yang awalnya dinamai oleh ayahnya sebagai Abdurrahman Ad-Dakhil ini memang sedari muda sudah terkenal akan bacaannya yang sedemikan luas.

Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim yang merupakan pahlawan nasional, sekaligus Menteri Agama pertama Republik Indonesia ini setidaknya banyak berpengaruh terhadap kepribadian, karakter maupun tradisi intelektualisme dalam diri Gus Dur.  

Gus Dur yang ditinggal ayahnya sejak usia dua belas tahun seakan lahir membawa tanggung jawab nama besar trah NU yang harus ia besarkan. Ayahnya sejak kecil telah memperkenalkan Gus Dur dengan tradisi bacaan yang luas dan heterogen. Melalui perpustakaan pribadi di rumah ayahnya, yang berjibun penuh buku Gus Dur kecil asyik dan tenggelam dalam cakrawala pemikiran dunia. Tentu buku-buku tersebut tentunya lebih banyak yang berbahasa asing, seperti Inggris atau Perancis.

Berbagai macam buku dan majalah yang dibiarkan berserakan di rumah secara tidak langsung merupakan pendidikan dari ayahnya, agar Gus Dur dapat bersentuhan dengan bahan bacaan yang variatif dan kosmopolitan. 

Greg Barton salah seorang penulis kenamaan Biografi tentang Gus Dur (The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid), dimana karya tersebut cukup populer (international bestseller) -- bahkan hingga hari ini mengalami cetak berulang kali, telah menyuguhkan perspektif yang cukup otoritatif dan objektif perihal Gus Dur. 

Tentu tak menafikan sebuah kecerdasaan beraroma mistisisme -- yang dalam dunia tasawuf dikenal sebagai ilmu laduni -- yang sejatinya sosok Gus Dur diakui memang memiliki kecerdasan bawaan (given) dan ingatan yang tajam serta analisis yang mendalam

Pada saat menjadi santri di Jombang, ingatan yang cukup tajam membuat kitab-kitab syair dan tata Bahasa Arab dilahap dan dihafalnya tanpa memberikan banyak tantangan. Dalam bukunya, Greg Barton menceritakan bahwa ketika mulai tumbuh menjadi remaja Gus Dur mulai bersentuhan secara serius dengan dua macam dunia bacaan. Yaitu tentang pikiran sosialisme yang berkembang di Eropa dan novel-novel besar Inggris, Prancis serta Rusia. Tak heran jika dikemudian hari mantan presiden yang memiliki selera humor tinggi ini secara fasih setidaknya menguasai empat bahasa.

Kegilaannya pada dunia literasi ditopang dengan kecerdasannya memang menjadi sesuatu yang istimewa pada diri Gus Dur. Saat masih remaja dan hijrah ke Yogyakarta, Gus Dur dapat menemukan banyak buku-buku yang menarik mulai dari seperti filsafat dan ide-ide sosialisme. Termasuk rasa antusiasmenya terhadap karya-karya sastra Barat, semua jenis bacaan tersebut secara intens ia baca bertahun-tahun meski saat itu dirinya masih nyantri.

Di Yogyakarta kemampuan ragam bacaan dan pemikirannya berkembang pesat. Kegandrungannya pada toko-toko buku bekas di Kota Pelajar itu  membuat berkah pada diri Gus Dur hingga banyak buku ia lahap. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun