Mohon tunggu...
Humaniora

Fungsi Wayang Kulit dalam Penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa

28 Maret 2016   21:37 Diperbarui: 4 April 2017   18:12 7671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

2.3 Fungsi Wayang Kulit sebagai Media Pendidikan dalam Penyebaran Agama Islam

            Wayang kulit sebagai media pendidikan dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa memiliki cakupan yang sangat luas, baik itu yang menyangkut nilai-nilai kesusilaan/kesopanan, kepahlawanan, kepemimpinan, bahkan juga yang menyangkut nilai-nilai Ketuhanan. Wayang juga dapat difungsikan sebagai kontrol sosial terhadap masyarakat dengan memberikan sisipan nilai-nilai kebajikan dalam cerita maupun orasi yang disampaikan oleh dalang. Di masa perkembangan dan penyebaran agama Islam, wayang difungsikan sebagai media edukasi untuk menyampaikan tata aturan maupun ajaran agama Islam kepada para masyarakat. Hal-hal yang disampaikan juga tak lepas dari ajaran ketauhidan, syariat, dan akidah yang tentunya juga disesuaikan dengan ajaran agama Islam dan kondisi sosial masyarakat saat itu.

            Dalam hal pendidikan, dhalang juga sering menyampaikan nilai-nilai edukasi kepemimpinan Islam melalui cerita-cerita Mahabharata maupun Ramayana yang telah digubah dan disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Salah satu contohnya adalah nilai-nilai edukasi kepemimpinan yang dikemas dalam lakon Hasta Brata Kawedhar. Hasta berarti delapan, brata berarti ajaran, dan kawedhar berarti diungkap/dijabarkan, sehingga Hasta Brata Kawedhar bermakna penjabaran dari delapan ajaran kepemimpinan atau dapat pula diartikan delapan sikap dasar (Herusatoto, 1984: 87). Wahyu Hasta Brata Kawedhar pada awalnya adalah wahyu yang diturumkan kepada Ramawijaya ketika berhasil menjadi raja di Ayodya sebagai pegangan dan acuan bagi para pemimpin untuk menjalankan roda pemerintahan kerajaan, kemudian oleh Ramawijaya Wahyu Hasta Brata Kawedhar diturunkan kepada Gunawan Wibisana, adik Rahwana yang mangkat/bertahta di Alengka.

            Di dalam lakon Wahyu Hasta Brata Kawedhar, para wali mencoba untuk menyisipkan ajaran agama yang disisipkan melalui cerita klasik zaman Hindu Budha yang tentunya telah dikenal dengan baik oleh masyarakat saat itu. Akan tetapi, dalam penyampaiannya para wali juga ikut menambahkan ajaran-ajaran Islam ataupun juga mengaitkannya dengan ayat-ayat Al-Qur’an ataupun juga dengan merujuk kepada As-Sunnah. Hal tersebut dapat dilihat dari cerita aslinya yang mana seorang raja harus meniru kebijaksanaan para dewa seperti Dewa Surya sebagai dewa matahari yang selalu menerangi dunia dan memberi  kehangatan, demikian pula raja. Seorang raja harus mampu untuk memberi pengayoman kepada masyarakat dalam hal keamanan, supaya keadaan masyarakat tetap aman dan jauh dari kekerasan dan kerusuhan yang meresahkan masyarakat.

             Di dalam Islam, ajaran tersebut juga dijelaskan dengan menjadikan pribadi Nabi Muhammad sebagai suri tauladan, sehingga Dewa Surya juga diperumpamakan dengan Nabi Muhammad ketika Nabi Muhammad menjadi pemimpin di Kota Madinah. Saat itu, Nabi Muhammad turut melindungi kaum Yahudi dan Nasrani yang tinggal di Madinah tanpa membedakanhak-hak yang patut diperolehnya dengan umat Islam. Nabi Muhammad juga turut menjaga perdamaian dan toleransi antar umat beragama dengan mengeluarkan perjanjian  Piagam Madinah sebagai perjanjian tertulis pertama di dunia. Dengan demikian, para wali menganalogikan Nabi Muhammad dengan Dewa Surya yang mampu menyinari dan menjaga kehangatan, kedamaian dan toleransi dalam masyarakat.

            Lakon wayang Hasta Brata Kawedharmemang sangat cocok jika dipentaskan di lingkup keraton yang saat itu sistem pemerintahan di Pulau Jawa memang menggunakan sistem monarki, yang mana raja berkuasa mutlak atas wilayah yang dipimpinnya. Lakon yang juga memberikan pencerahan dan pendidikan politik serta dasar-dasar pemerintahan ini memang sengaja digubah dan dibawakan oleh para wali sebagai media untuk mendidik para bangsawan dan masyarakat serta untuk mengenalkan ajaran Islam agar masyarakat tertarik dan mau untuk memeluk agama Islam.

            Ajaran ini semacam ini agaknya dapat diterima dengan baik oleh masyarakat dan para bangsawan kerajaan. Hal ini terbukti dengan lahirnya kerajaan besar Mataram yang menjadikan Islam sebagai acuan arah pembangunan kerajaan, meskipun pada waktu itu juga masih banyak pemeluk agama Hindu, Budha, dan juga para penganut aliran kepercayaan. Ajaran Islam juga telah merasuk ke dalam jati diri masyarakat Jawa, meskipun juga telah mengalami adaptasi dengan zaman dan lingkungan sosial masyarakat. Ajaran Islam juga telah mengilhami lahirnya berbagai macam karya sastra dan menjadikan ajaran agama Islam sebagai rujukan para pujangga dalam memberikan petuah.

            Ada pula karya sastra yang menjadi rujukan bagi dhalang yang akan mementaskan wayang. Karya sastra pedhalangan yang telah digubah dan disesuaikan isinya dengan ajaran Islam dapat terlihat dari babon pedhalangan Serat Purwakandha, Pustaka Raja Purwa, dsb. Demikian pula dengan petuah yang diberikan Sri Paku Buwana IV dalam Serat Wulangreh :

“Pada gulangening kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra, ing kaprawiran den kaesti, pesunen sariranira, cegah dhahar lawan guling.”

Yang artinya :

“Latihlah dirimu agar menjadi manusia yang cerdas dalam nurani (awas dan waspada), jangan hanya menuruti hawa nafsu perut (makan) dan nafsu tidur (syahwat), tetapi usahakan berwatak perwira dengan jalan mencegah (mengatur) pola makan dan nafsu seksual (Kresna, 2012: 48).”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun