Mohon tunggu...
Humaniora

Fungsi Wayang Kulit dalam Penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa

28 Maret 2016   21:37 Diperbarui: 4 April 2017   18:12 7671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

2.2 Fungsi Wayang Kulit sebagai Media Mengenalkan Syariat Agama dalam Penyebaran Agama Islam

            Sebagai suatu media dalam menyebarkan ajaran agama, keberadaan wayang kulit sebagai alat untuk menyampaikan ajaran agama tidak akan lepas dari adanya pengaruh agama Islam sebagai ajaran pokok yang akan disampaikan kepada masyarakat. Pengaruh dari adanya ajaran agama Islam dalam wayang secara tidak langsung dapat kita temui dari aspek-aspek pertunjukan wayang itu sendiri maupun dari aspek-aspek pendukungnya seperti, bentuk wayang kulit yang kini sudah digubah dan disesuaikan, isi cerita wayang yang telah digubah sesuai dengan ajaran Islam, serta yang tak kalah penting yaitu aspek pendukung pertunjukan wayang yaitu lagu/gendhing yang ditembangkan oleh sindhenyang tentunya juga telah mendapat pengaruh dari ajaran agama Islam.

            Penyesuaian-penyesuaian dalam berbagai hal di atas tak luput dari perhatian para wali terhadap aspek-aspek penting dalam ajaran Islam yang termasuk sebagai aturan agama atau yang lebih kita kenal dengan sebutan syariat agama. Hal ini juga termasuk cara yang paling mudah dalam menyampaikan ajaran agama melalui kesenian rakyat yang telah digubah dan disesuaikan sesuai dengan ajaran agama sehingga secara tidak langsung, ajaran agama akan dapat diterima masyarakat dengan baik dan tanpa adanya suatu gesekan atau pertentangan di dalam masyarakat. Salah satu perubahan mendasar yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga adalah merubah bentuk wayang agar sesuai dengan syariat agama Islam. Sunan Kalijaga mengubah wayang dari lukisan yang menghadap (methok) menjadi miring dan memanjangkan tangan wayang serta digapit dengan penguat tanduk kerbau (Haq, 2011:188) agar tidak menyamai bentuk manusia yang sesungguhnya.

            Dalam Serat Wedhatama syariat disejajarkan dengan sembah raga, yaitu suatu pedoman atau ketentuan yang telah ditetapkan atau hukum halal dan haram tentang segala sesuatu dalam perjuangan hidup konkrit yang sifatnya dogmatis (mengikat/mengharuskan). Sembah ragaini merupakan ajaran atau sembah bagi pemula (Soeparno & Soesilo, 2007: 36). Ajaran syariat/sembah rogo ini memang sangat diperlukan bagi para masyarakat pemula yang akan masuk maupun yang telah memeluk agama Islam. Hal-hal mendasar semacam ini telah difikirkan dengan matang oleh para wali, sehingga dalam wayang pun juga disisipkan ajaran-ajaran dasar tentang syariat agama Islam yang mana konteks bahasannya juga telah disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat saat itu.

            Konsep dasar syariat dalam agama Islam dikemas dengan bagus oleh Sunan Kalijaga dalam tembangnya yang terkenal yaitu Ilir-Ilir. Tembang Ilir-Ilir mengisyaratkan tentang syariat agama yaitu Rukun Islam yang disimbolkan dengan buah belimbing (buah belimbing memiliki 5 sisi yang melambangkan 5 Rukun Islam). Ketika kita sampai pada syair tembang yang berbunyi “lunyu-lunyu penekno kanggo basuh dodo tiro”, hal ini bermakna Rukun Islam yang lima itu harus tetap digapai dan dipegang teguh meskipun susah untuk digapai. Meskipun banyak halangan serta rintangan yang menghadang kita untuk melaksanakan semua Rukun Islam tersebut, namun kita harus tetap tabah dan berusaha karena semua usaha dhohir maupun bathin yang kita lakukan akan mendapat balasan dari Allah SWT, dan semua usaha yang kita lakukan, kebaikannya nanti juga akan kembali kepada diri kita sendiri (sopo kang nandur bakal ngundhuh).

            Tembang Ilir-Ilir  telah banyak dikupas dan dikaji terkait dengan makna filosofisnya serta aturan-aturan ataupun nilai-nilai syariat dalam Agama Islam. Namun, konsep syariat dalam wayang tidak sekedar tercermin dari lantunan tembang Ilir-Ilir yang menekankan hubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi konsep syariat juga mencakup tingkah laku ataupun ibadah manusia secara dhohir/nampak, semisal mencari ilmu.

            Dalam pertunjukan wayang, perjalanan seseorang dalam mencari ilmu yang juga dapat dikategorikan sebagai ibadah yang berhubungan dengan sesama manusia ataupun dengan Tuhan, tercermin dari lakon Bima Suci. Lakon/cerita pewayangan ini menceritakan Bratasena/Bima yang mencari ilmu sejati kepada Bagawan Drona. Bagawan Drona mencari kesempatan untuk mencelakai dan membunuh Bratasena dengan memerintahkannya untuk mencari ilmu yang sejati dengan mengambil kayu gung susuhing angin di hutan yang terkenal angker. Namun hutan tersebut sebenarnya tak pernah ada, kemudian Dewa Indra dan Bayu turun ke dunia untuk memberikan wejangan kepada Bima bahwa mencari kayu gung susuhing angin bermakna belajar untuk mencari sarang dari nafsu pribadi kita sendiri dan kita harus mampu mengendalikan nafsu yang bergejolak bagaikan angin ribut yang selalu memorak-porandakan setiap tempat yang dilaluinya.

            Dari sedikit penggalan cerita tersebut, dapat kita simpulkan bahwa dalam menyebarkan Islam para wali tidak hanya menuntut umat Islam untuk sekedar menjalankan syariat agama tanpa diimbangi dengan mencari ilmu/ngangsu kawruh. Para wali juga menekankan pentingnya menuntut ilmu yang juga termasuk bagian dari syariat dalam agama Islam, karena agama yang berjalan tanpa diiringi dengan ilmu maka segala yang dilakukan oleh pemeluknya akan menjadi sia-sia. Oleh karenanya,  menuntut ilmu juga sangat diperlukan baik itu yang menyangkut ilmu agama maupun ilmu pengetahuan lain yang berhubungan dengan kesejahteraan dan kemakmuran umat manusia.

            Secara tidak langsung, masyarakat yang menonton pertunjukan wayang maka akan tersugesti dan terdorong pribadinya untuk melakukan hal-hal baik seperti yang telah dilakukan oleh tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam pertunjukan wayang. Dalam lakon Bima Suci, juga dijelaskan mengenai seseorang yang telah mampu menjalankan syariat dengan baik, maka ia akan dapat ber-ittihad/manunggalbersatu dengan Tuhan dan ia juga dapat kalenggahan (Herusatoto, 1984: 76) dalam artian manusia telah dapat merasakan kesatuan dirinya dengan Dzat Tuhan Yang Maha Tunggal.

            Melalui penjelasan sang dhalang mengenai syariat dan seluk beluknya hingga tingkatan tertinggi hubungan antara manusia dengan Tuhannya, maka masyarakat akan lebih mudah memahami ajaran agama Islam dengan lebih baik, apalagi jika dalam penyampaiannya dibalut dengan ajaran yang berbau tassawuf. Maka hal-hal tersebut akan mempermudah penyebaran agama Islam di kalangan masyarakat karena masyarakat Pulau Jawa saat itu masih banyak yang beragama Hindu dan Buddha sehingga sebagian besar dari mereka masih menyukai hal-hal yang berbau mistik yang dalam agama Islam dikenal sebagai ajaran tassawuf.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun