Mohon tunggu...
Aditya Yudistira
Aditya Yudistira Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Andalas

Sapere Aude!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hitam-Kuning Korupsi

25 Oktober 2020   21:38 Diperbarui: 28 Oktober 2020   09:18 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penamparan Patih Yogyakarta, Danurejo IV yang Korup oleh Pangeran Diponegoro, Medio Abad ke-19 | dok. KITLV

Korupsi masih menjadi suatu pekerjaan rumah yang utama bagi penguasa Indonesia. Mengingat iklim di Indonesia yang belum sepenuhnya lepas dari feodalisme. Maka memang selayaknya korupsi harus di selesaikan dari atas. Upaya dalam menyelesaikan tugas utama ini sudah amat panjang.

Seperti yang diungkapkan oleh Peter Carey dan Suhardiyoto Haryadi dalam buku Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia: Dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi (2016) setidaknya dimulai pada penguasa Hindia Belanda H. W. Daendels maupun pemimpin Perang Jawa Pangeran Diponegoro (1825-1830). Beragam hukuman juga telah dilakukan dari hukuman mati, hukuman sosial, hingga mematikan hukuman (pengurangan hukuman hingga tidak mendapat hukuman).  Namun hal ini bukan berarti sebanding dengan hasil yang diharapkan, yaitu memberantas korupsi hingga akarnya.

Salah satu upaya lainnya yang dilakukan oleh pemerintah dalam memberantas korupsi adalah pembuatan lembaga-lembaga atau program khusus yang menangani kasus korupsi. Dengan kata lain menggunakan pendekatan secara yuridis.

Hal ini dipelopori oleh program Operasi Militer (1957) dan berkembang seperti yang diutarakan oleh Fadrik Aziz Firdausi dalam Historia.id, Jatuh Bangun Lembaga Pemberantasan Korupsi (2017) dari masa ke masa seperti: Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (1959), Panitia Retooling Aparatur Negara (1959), Operasi Budhi (1963), Komando Tertinggi Retooling Aparatur (1964), Tim Pemberantasan Korupsi (1967), Komisi Empat (1970), Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (1999), Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2000), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (2002).

Banyaknya lembaga atau program khusus yang dibuat juga tidak ampuh bahkan terkesan 'main-main' dan 'tidak bernyali' ketika menghadapi para koruptor. Ditambah lagi memori kolektif awal reformasi, lembaga penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian tidak berjalan efektif yang menyebabkan ketidakpercayaan publik mencuat seiring terbukanya keran demokrasi.

Namun stigma-stigma tersebut tidak melekat pada suatu lembaga yang bernama Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK). Sebaliknya, KPK justru menjadi leading institution terhadap pemberantasan korupsi. Sebab produktivitas KPK dan prestasi dalam skala nasional maupun internasional melahirkan sinar kepercayaan kepada masyarakat.

Kebanjiran prestasi KPK diawali pada tahun 2005 sekaligus menjadi kebangkitan antikorupsi di Indonesia. Terlihat KPK tidak main-main dengan korupsi. 

Mulai dari gubernur, bupati, wali kota, Ketua DPRD, Direksi BUMN, hingga jenderal polisi pun ditindak untuk mempertanggungjawabkan praktik-praktik koruptif yang diduga ataupun telah terbukti melakukannya (Laporan Tahunan KPK, 2005:10). 

Selain itu harta/kekayaan sejumlah Rp. 22.292.900.000,- (Dua puluh dua milyar dua ratus sembilan puluh dua juta sembilan ratus ribu rupiah) telah mendapat keputusan hukum tetap untuk dikembalikan ke Negara dalam bentuk denda dan uang pengganti serta perampasan harta/kekayaan untuk negara (Laporan tahunan KPK, 2005:51).

Prestasi KPK masih terus berkembang dan tentunya banyak mendapat hambatan dari pejabat publik lainnya yang khawatir kedok atau tindakan koruptifnya terungkap. Meminjam istilah Saldi Isra bahwa upaya 'membonsai dan membunuh' KPK datang dari jalur legislasi. Pada tahun 2016 hampir 20 kali UU KPK diujikan ke Mahkamah Konstitusi dan beruntung semua upaya tersebut gagal (Isra, 2016:66).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun