Mohon tunggu...
Aditya Putra Pratama Santosa
Aditya Putra Pratama Santosa Mohon Tunggu... -

Mahasiswa S1 ILMU SEJARAH UNAIR

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Arsitektur Jengki: Cerminan Identitas Bangsa

16 Desember 2018   20:34 Diperbarui: 16 Desember 2018   20:37 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pada era modern kini sering dijumpai berdirinya rumah dengan konsep minimalis. Hal ini disebabkan tuntutan permintaan akan rumah hunian semakin meningkat dari tahun ke tahun, terlebih di daerah metropolitan. Langgam rumah hunian minimalis yang terkesan cepat jadi ini menjadikan nilai estetika dari bangunan itu sendiri tidak muncul. Estetika dalam dunia arsitektur bisa dipandang dari unsur-unsur warna, tekstur, garis dan bidang. 

Pakar arsitektur, Budihardjo mengatakan, "Langgam arsitektur adalah seniguna, karena dia menyelesaikan persoalan fungsional serta berbagai hal masalah kemasyarakatan".  Indonesia sebenarnya sudah memiliki langgam arsitektur nasional dengan dibuktikan munculnya arsitektur Jengki yang sempat trend pada tahun 70-an di kota-kota besar Indonesia. 

Arsitektur Jengki ini menjadi langgam arsitektur modern khas Indonesia pada masa itu. Dilatarbelakangi oleh ahli bangunan pribumi pada sekitar tahun 60-an yang bergejolak dan memunculkan keinginan untuk membebaskan diri dari segala hal yang berbau kolonialisme. Termasuk menghilangkan gaya arsitektur Belanda di Indonesia. 

Langgam Jengki ini terilhami oleh film koboi khas Amerika yang terselip adegan disebut draw atau duel satu lawan satu dengan mencabut pistol dan menembak lawan dengan cepat. Posisi dari koboi ketika menarik pistol dengan gaya khas kaki miring inilah yang menjadi ilham munculnya langgam arsitektur Jengki.

Nilai estetika yang terkandung dalam langgam arsitektur Jengki adalah adanya bentuk dinding yang bersegi lima dengan makna lima sila dari pancasila sebagai ideologi negara, tidak memiliki ornamen yang menonjolkan sifat nerimo atau kesederhanaan bangsa Indonesia, adanya unsur streamlining (pelancipan) pada setiap sudut bangunan bermakna spirit perubahan bahwa bangsa Indonesia mampu membuat langgam arsitektur khas sendiri dan tidak kalah prestisius dengan buatan arsitek Belanda, tidak adanya pagar bermakna tidak adanya sekat antar tetangga juga menimbulkan sifat keharmonisan dan komposisi bidang yang tidak simetris serta penggunaan bahan yang bervariasi bermakna mengekspresikan gaya hidup pola kebudayaan adaptif pada zamannya.

Karya arsitektur pada akhirnya menjadi seni guna yang memiliki sarat nilai simbol semangat nasionalisme. Dengan artian rumah dengan gaya Jengki ini merupakan simbol perlawanan bangsa Indonesia melawan kolonialisme dengan media arsitektur. Disamping itu juga dapat menjadi identitas nasional bangsa Indonesia. Namun sangat disayangkan rumah bergaya Jengki sudah mendekati lonceng kepunahan, disebabkan doktrin modernisme arsitektur yang menganggap segalanya harus efektif dan minimalis, bertolak belakang dengan gaya Jengki yang menuntut pembangunan yang sedikit lebih lama dan memiliki nilai estetik. Kedepannya gaya ini harus tetap dilestarikan agar identitas bangsa Indonesia dalam media arsitektur tidak punah. 

Ditetapkannya rumah bergaya Jengki sebagai cagar budaya juga bisa menjadi salah satu pencegahan kepunahan gaya arsitekur ini mengingat bangunan cagar budaya adalah bangunan yang berupa gedung, jembatan ataupun monumen dengan catatan memenuhi kriteria sebagai bangunan yang wajib dilindungi dan dilestarikan, diantaranya mempunyai sifat kelangkaan, yaitu hanya ada satu dari bangunan sejenisnya atau merupakan contoh fisik terakhir yang masih ada dari satu jenis bangunan; 

memiliki nilai kesejarahan, yaitu memiliki nilai sejarah bangunan sejenisnya atau menjadi lokasi terjadinya suatu peristiwa penting bersejarah; 

mempunyai keistimewaan tersendiri, yaitu mempunyai keunikan tersendiri pada masa didirikannya, dengan kata lain tidak mengikuti trend pada masa itu; memiliki nilai estetika, yaitu dianggap mewakili gaya arsitektur tertentu; 

sifat kejamakan, yaitu bangunan yang tidak memiliki keistimewaan atau dalam artian bersifat seragam dan umum dalam gaya arsitektur tertentu namun wajib dilestarikan sebagai wakil dari satu jenis bangunan yang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun