Mohon tunggu...
Aditya Firman Ihsan
Aditya Firman Ihsan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

deus, homines, veritas

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengenai Kajian dan Kebenaran

1 Agustus 2014   21:11 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:40 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kesalahan-kesalahan yang telah mengakar di suatu masyarakat sangat sulit dihapuskan oleh kebenaran yang datang kemudian. - Anonim - Di tengah arus informasi yang semakin deras, pertarungan antar pemikiran tiada henti berlangsung semakin bebas tanpa batas. Ilmu pengetahuan semakin kabur dan tak teridentifikasi. Tak dapat dibedakan lagi mana fakta mana opini, mungkin. Ketika keadaan yang kacau akan makna kebenaran ini mulai merasuk tanpa disadari, manusia akan selalu memilih jalan termudah, percaya apa yang bisa dipercaya. Tapi apa lah arti dari sebuah kepercayaan, bila pada akhirnya itu hanya akan semakin merenggut dan mengikis habis eksistensi kebenaran di setiap makna semesta? Sebuah fenomena yang rumit tengah terjadi di tengah abad yang serba absurd. Batas antara kepercayaan dan pengetahuan mungkin semakin menipis menuju tak terlihat. Jika semua itu terjadi, dimana kita akan berpegang? Manusia telah diberi sebuah akal sehat yang bekerja dengan rasionalitas untuk mengiris habis setiap informasi dalam sebuah pemaknaan berarti yang terstruktur. Tak perlu dipungkiri, peradaban mulai bangkit pada sekitar 2500 tahun yang lalu ketika manusia terbebas dari kepercayaan, tradisi, dan mistisme menuju kebebasan berpikir rasional dalam sebuah semangat mencari kebenaran sejati. Ada sebuah proses yang sudah terjadi sejak saat itu, sejak filsafat mulai lahir dan mengawali perjalanan panjang perkembangan ilmu pengetahuan. Proses yang selalu berkembang baik dalam hal metode maupun dasarnya hingga saat ini. Dalam berbagai nama, di kalangan intelektual, proses ini lebih dikenal dengan kata kajian. Ya, kajian, sebuah kata yang mungkin tak asing lagi bagi kaum intelektual, terutama di sebuah institut pendidikan yang cukup aneh bernama ITB. Kajian (mungkin) telah menjadi bagian yang cukup erat bagi kalangan mahasiswa ITB., karena ia bahkan dimasukkan sebagai salah satu “budaya” di KM-ITB yang selalu ditanamkan ke setiap mahasiswa baru selama kaderisasi awal. Jika memang kajian adalah suatu hal yang cukup berbudaya di rumah ganesha ini, lalu kenapa masih banyak hal-hal yang jelas-jelas menimbulkan pertanyaan nyata namun tidak ada yang bisa menjawabnya dengan pasti? Terkadang realita memang memiliki perbedaan yang sangat dasar dan nyata dengan yang ideal. Seperti halnya seperti yang saya jelaskan pada tulisan saya yang lain, pemaknaan kata “budaya” sudah cukup mengalami pergeseran naif. Apakah ia adalah sesuatu yang sudah tercapai atau sesuatu yang ingin dicapai? Pendeskripsian 11 budaya KM-ITB tahun ini yang sangat idealis-retoris sangat perlu dipertanyakan ulang. Apa 4 budaya yang sudah ada sebelumnnya, budaya kaderisasi, budaya berhimpun, budaya kajian dan budaya berkeprofesian, memang telah berganti atau sengaja diharapkan untuk berganti. Khusus untuk budaya kajian sendiri memang perlu mendapat kontemplasi, apa masih berlaku di kalangan mahasiswa masa kini yang sangat berorientasi pada hal-hal ilusif dan terjebak lautan informasi yang menghanyutkan? Ini yang sebenarnya perlu kita berikan perhatian khusus mengingat banyak fenomena yang selalu menimbulkan pertanyaan di tempat bernama KM-ITB ini. Pertanyaan yang serupa mungkin telah sering dilontarkan oleh berbagai mahasiswa yang cukup peduli dan sadar akan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, apalah arti sebuah pertanyaan bila tidak ada jawabannya? Sebelum kita dapat menjawab apapun, terlebih dahulu marilah kita pahami permasalahannya. Mencari makna Sebelum melangkah jauh, kita coba kupas terlebih dahulu makna sesungguhnya dari kajian. Di dalam pedoman kebahasaan kita, KBBI, kajian memiliki arti yang cukup sederhana : ka·ji·an n hasil mengkaji. Melihat ini sebenarnya menyadarkan saya akan satu fenomena lagi, mengenai terkikisnya pengetahuan kebahasaan di kalangan intelektual yang seharusnya menjadi penjaga terdepan nilai-nilai bahasa, tapi marilah hal tersebut dibahas di tempat lain. Jika dirunut lagi, KBBI menuliskan arti dari kata kaji sendiri yang tertulis : ka·ji n 2 penyelidikan (tt sesuatu), sedangkan penyelidikan dapat kita maknai sebagai : pe·nye·li·dik·an n 1 usaha memperoleh informasi melalui pengumpulan data; 2proses, cara, perbuatan menyelidiki; pengusutan; pelacakan. Dari semua itu dapat disimpulkan bahwa kajian berarti hasil dari sebuah usaha atau proses untuk memperoleh informasi terhadap sesuatu melalui pengumpulan data. Informasi yang diperoleh ini lah yang merupakan sebuah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang disebut dengan hipotesis. Pada dasarnya, ketika manusia mengamati suatu objek, pasti akan timbul pertanyaan-pertanyaan, baik implisit ataupun eksplisit, yang kemudian diinterpretasikan secara sederhana melalui pengalaman dan informasi dasar yang dimiliki manusia tersebut dan menghasilkan apa yang disebut dengan kepercayaan (ke·per·ca·ya·an n 1 anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yg dipercayai itu benar atau nyata). Kepercayaan inilah yang secara ilmiah kita kenal dengan sebutan hipotesis, yang kebenarannya masih dalam batas lingkup pikiran dasar individual melalui proses sederhana tanpa perlu rasionalisasi, sehingga bersifat subjektif dan implisit. Kita mengetahui bahwa sesuatu untuk dapat menjadi sebuah informasi atau bahkan pengetahuan, diperlukan proses rasionalisasi atau pembuktian secara empiris untuk mematenkan kebenaran sesuatu tersebut. Pengetahuan akhir ini yang kemudian disebut dengan tesis, sebagai hipotesis yang telah terbukti kebenarannya. Itulah kenapa diperlukan sebuah proses yang sistematis-rasional-objektif untuk mendapat kejelasan mengenai kebenaran. Maka, kajian secara sederhana bisa dipahami sebagai proses transformasi kepercayaan menjadi sebuah pengetahuan, atau transformasi hipotesis menjadi sebuah tesis. Dengan lengkap, dapat kita definisikan

Kajian adalah proses rasionalisasi dan pembuktian empirik terhadap kepercayaan / ketidakpercayaan menjadi pemahaman / ilmu pengetahuan” (Panji Prabowo: 2008)

Sistemasi Kajian Tentunya proses tersebut tidak dapat dilakukan secara sederhana. Seperti halnya pikiran manusia, ini adalah suatu kegiatan kompleks yang melibatkan banyak variabel. Namun, bila kita telaah dengan seksama, terdapat suatu rangkaian pola sistematis dalam mencapai target dari suatu kajian. Seperti yang dijelaskan di awal, semua bermula dari observasi sederhana yang terjadi secara tidak langsung sebagai implikasi adanya indera yang dimiliki manusia. Berbagai bentuk data pun masuk secara mentah dan dalam suatu proses kompleks dalam pikiran, tercampur aduk dan membentuk interpretasi sederhana yang berdasar pada apa yang disebut dengan pengalaman. Hasil observasi ini, ditambah bumbu pengalaman dan informasi dasar dari memori, akan memproduksi suatu pandangan terhadap objek-objek khusus sebagai bentuk keluaran dari interpretasi awal. Pandangan ini yang kemudian secara eksplisit akan berupa kepercayaan ataupun pertanyaan, yang lebih lanjut akan menjadi sebuah hipotesis dasar permasalahan. Hipotesis ini yang kemudian akan memasuki tahap kajian melalui analisis dengan berbagai macam “pisau”nya untuk membongkar objek utama menjadi objek-objek yang lebih sederhana dan dapat tergambarkan dengan jelas. Berkaitan dengan pisau analisis ini, banyak metode yang dapat dipakai, mulai dari fishbone diagram, inversed analysis hingga game theory. Semua bergantung pada objek yang akan dibongkar dan kreativitas sang analis. Setelah tergambarkannya objek permasalahan dengan jelas dan sistematis, tiap komponen hasil pembongkaran ini yang kemudian disintesis lebih lanjut menjadi sebuah informasi. Proses sintesis ini berupa pencarmpuradukan antara objek permasalahan dengan data-data pendukung yang diinterpretasi menuju sebuah makna yang dapat evaluasi untuk menemukan solusi atau inferensi dari setiap objek permasalahan. Komponen akhir informasi dari setiap elemen objek ini yang kemudian dikonstruksi ulang menjadi sebuah kesimpulan akhir yang akan menjawab hipotesis awal sebelumnya. Gambaran besarnya akan sangat terlihat bahwa inti dari sebuah kajian adalah dekonstruksi dan rekonstruksi sebuah informasi dasar atau kepercayaan menuju informasi lainnya yang lebih sistematis dan valid dari segi kebenaran atau pengetahuan. Mungkin secara detail, sistemasi kajian tidak akan memberi kita informasi berguna untuk mengatasi permasalahan utama di sini. Karena memang, proses di atas tidak selalu terjadi sedemikian rupa pada realita. Faktor-faktor seperti dialektika saat interpretasi, hidden variable, keterbatasan data, fallacious arguments, dan lain sebagainya akan membuat proses di atas terjadi secara dinamis dan tidak menentu. Lagipula, mengingat betapa kompleksnya pikiran manusia, sistemasi proses kajian tersebut hanyalah pemodelan sederhana untuk membantu pemahaman mengenai esensi dasar kajian. Dari hal tersebut, dapat kita pilah satu demi satu komponen untuk dapat melihat gambaran kecil dari permasalahan yang ada bila memang ada. Dalam Analisis dan Sintesis Melihat tiap tahapanya, hipotesis bukanlah suatu masalah yang nyata karena ia memang jelas berkaitan dengan relativitas subjektif tiap individu saat mengobservasi suatu objek pada realita. Namun ketika beranjak menuju analisis, subjektivitas sang pengkaji sangat menentukan pisau yang ia gunakan dan bagaimana ia dapat memanfaatkan pisau tersebut dengan baik untuk mengiris rapi sebuah permasalahan agar dapat dipahami dengan balk. Pengalaman serta wawasan menjadi dasar utama subjektivitas ini. Hal ini yang mengakibatkan perbedaan nyata antara yang asal menganalisis hanya bersandar pada nalar polos, dengan yang menggunakan metode yang selektif dan tepat sesuai dengan kondisi dan objek permasalahan. Analisis sendiri melalui KBBI diartikan sebagai : ana·li·sis n 2 Man penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yg tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Untuk dapat mengurai dan mencari hubungan dengan baik, diperlukan wawasan atau pengetahuan yang luas mengenai metode-metode yang dapat digunakan untuk mempertajam pisau pengirisan masalah. Sayangnya, metodologi dalam analisis tidak banyak dipahami dan diketahui di kalangan intelektual muda, sehingga pada akhirnya dapat kita lihat ketajaman hasil pemikiran yang timbul secara mayoritas, yang dalam hal ini saya tetap mengambil ruang sampel KM-ITB, tidak memiliki kekuatan yang pantas untuk menjadi sebuah jawaban yang komplit dan menyeluruh mengenai suatu permasalahan. Jikalaupun ada, pemikiran-pemikiran tersebut hanya akan menjadi suatu bentuk angin lalu minoritas yang tidak akan masuk ke dalam alur berpikir mayoritas yang secara fundamental menginginkan kesederhanaan. Entah apa penyebabnya, apakah memang anak-anak ganesha mengalami penurunan dalam hal semangat mencari kebenaran, karena terlena oleh nikmatnya kapitalisme yang ditawarkan melalui prospek-prospek indah orientasi bidang yang sedang ditekuninya, atau ini adalah pertanda bahwa terjadi defisiensi dalam kemampuan berpikir anak Indonesia secara keseluruhan sebagai akibat dari sistem pendidikan yang tidak efektif? Dua-duanya dapat mungkin benar. Pada akhirnya, setiap faktor memiliki bagiannya masing-masing dalam memberi pengaruh terhadap suatu hal. Satu fenomena lagi mengenai analisis, entah apa yang salah dengan cara berpikir anak sekarang di tengah arus informasi yang semakin tidak jelas, banyak mahasiswa masih sangat dangkal dalam membongkar dan mengaitkan suatu permasalahan. Dari berbagai keanehan ini kemudian timbul istilah “cucoklogi” atau ilmu mencocok-cocokkan, yang sangat menjadi kebiasaan tanpa sadar anak ITB dalam menganalisis sesuatu. Proses “otak-atik gathuk” ini terkadang menjadi faktor runtuhnya identitas intelektual dalam diri mahasiswa yang seharusnya berpikir dengan dasar yang pasti dan kuat, serta diproses dengan metode logika yang relevan. Apalagi saya melihat masih ada yang menjadikan teori konspirasi yang jelas-jelas merupakan pseudo-sains bersama kawanan sebangsanya seperti tarot dan mitologi, sebagai dasar pemikiran. Apa mahasiswa sekarang begitu malas untuk mempelajari literatur-literatur yang lebih valid dan bermanfaat, sehingga yang konyol seperti itu pun masih dengan serius dilakukan, atau rasa humor mahasiswa masa kini memang semakin rendah? Banyak faktor mempengaruhi, tentunya dengan porsi masing-masing. Setelah analisis, terdapat suatu tahap lagi yang berperan cukup penting dalam hal penarikan informasi dari objek-objek permasalahan yang ada. Tahap ini, tahap sintesis, memiliki tiga pekerjaan utama yang berkaitan dengan proses dasar berpikir dalam alur sistemasinya, yaitu interpretasi, evaluasi, dan konstruksi. Interpretasi berkaitan dengan pemahaman akan makna, evaluasi berkaitan dengan penilaian terhadap argumen dan informasi, sedangkan konstruksi berkaitan dengan penarikan kesimpulan atau penysusunan informasi menjadi suatu simpulan akhir. Dalam interpretasi,  teori dan konsep masuk dan melebur bersama data untuk diolah dengan bumbu paradigma menjadi suatu pemahaman akan data yang bersangkutan. Apabila dilakukan sendiri, tidaklah akan menjadi hambatan besar untuk melakukan tahapan ini dalam suatu kajian penelitian. Namun dalam lingkup kelompok, interpretasi ini akan selalu menimbulkan perbedaan argumen berkaitan dengan perbedaan teori dan konsep dasar mengenai sesuatu, serta perspektif yang digunakan untuk melihat data. Contoh sederhana adalah definisi kata. Tanpa dasar yang disamakan, masalah definisi akan selalu menimbulkan pertengkaran panjang hanya sekedar untuk menyamakan paradigma. Oleh karena itulah KBBI sebagai pegangan standar perlu dibudayakan di kalangan intelektual yang tentu saja merupakan pelindung nilai-nilai bahasa  sebelum lenyap ditelan globalisasi. Perbedaan argumen dalam interpretasi ini pada akhirnya akan berakhir pada titik tengah yang merupakan hasil dari proses yang dikenal dengan sebutan dialektika. Bila dikaitkan dengan realita, proses ini merupakan proses panjang yang disebabkan oleh tembok ego dan kebanggaan yang dimiliki tiap pemilik argumen untuk mempertahankan argumen yang dimilikinya. Tentu saja, di tempat di mana kebanggaan diri dapat tumbuh subur seperti ITB, tembok itu mengeras semakin kuat dan menyulitkan timbulknya kata sepakat dalam proses dialek yang terjadi. Apalagi dengan banyaknya yang tidak memiliki kemampuan berargumen dengan baik, sehingga fallacious arguments atau argumen yang mengandung kekeliruan logika masih sering muncul dan mengganggu proses rasionalisasi ke arah yang tepat. Beberapa hal inilah yang menjadi sebab yang saya lihat kajian di KM-ITB jarang selesai tuntas hingga permasalahan terjawab. Proses evaluasi dan konstruksi tidak memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan interpretasi selain target dan keluarannya. Evaluasi menilai argumen dan informasi untuk melihat keterkaitan yang ada, menyeleksi ulang, dan menemukan pola yang ada di antara argumen dan informasi tersebut, sedangkan konstruksi membangun ulang rangkaian-rangkaian infomasi yang terpecah untukmenjadi satu informasi utuh. Kritis dan Kreatif Untuk dapat mengeluarkan hasil yang tepat, ketiga pekerjaan dalam tahap sintesis menuntut dua kemampuan berpikir pada manusia, yaitu berpikir kritis, dan berpikir kreatif. Tanpa perlu berbicara panjang mengenai definisi, dua kemampuan berpikir ini sangat berbeda dan harus saling melengkapi. Dalam klasifikasi Huitt’s (1992), disebutkan bahwa kritis itu bersifat linear dan berseri, rasional, terstruktur, dan berorientasi pada tujuan, sedangkan kreatif itu bersifat holistik dan pararel, intuitif, emosional, visual, dan lebih taktual. Jadi, kritis adalah ketika kita menggali lurus suatu permasalahan secara linear dengan tepat sasaran tanpa harus memedulikan berbagai informasi yang tidak relevan secara independen. Melihat gambaran besarnya, sikap kritis adalah sikap yang hampir sudah melekat di kalangan intelektual yang mana fokus diskusi selalu pada permasalahan tunggal dengan sudut pandang yang sedikit. Saya jadi ingat dengan apa yang pernah dikatakan seorang alumni ITB yang sekarang menjadi dosen di prancis, orang Indonesia itu hanya tidak mampu melihat dari berbagai sudut pandang, sehingga dalam melihat suatu permasalahan sangat linear. Berkaitan dengan itu, banyak juga permasalahan yang sebenarnya menuntut pemikiran holistik, tidak mampu diselesaikan dengan baik oleh intelektual Indonesia, terutama ITB. Dalam masalah berpikir kritis, saya yakin ITB sudah menjadi jagoan semua. Masalah-masalah terkupas habis satu per satu secara akurat. Namun sayangnya, apabila masalah-masalah tersebut hanya diselesaikan dan diperhatikan secara terpisah seakan merupakan komponen-komponen sendiri dalam suatu mesin mekanik, tentu saja gambaran besar apa yang terjadi tidak akan terlihat dan apa yang dilakukan seperti hanya menambal-sulam masalah-masalah yang ada tanpa berusaha memandang ke keseluruhan permasalahan sebagai suatu sistem organistik. Ini mungkin karena intelektualitas sekarang masih terpengaruh paradigma Newton-Cartesian yang memandang segala sesuatu sebagai suatu mesin raksasa dengan komponen-komponen yang berdiri sendiri satu sama lain. Padahal, semua sistem di semesta adalah sebuah sistem hidup, yang harus dipandang secara organistik-ekologis. (baca: Mahasiswa, Dakwah, dan Paradigma) Layaknya sebuah makhluk hidup, tiap komponen dalam sistem tidak bisa dipandang dalam satu fokus, namun ia harus dipandang sebagai bagian dari keseluruhan sistem. Untuk melakukan hal ini, dibutuhkan kemampuan berpikir holistik dan intuitif, yang berkaitan dengan berpikir kreatif. Mengenai berpikir kreatif sendiri, hal ini seperti perlu dijadikan perhatian khusus terutama di dalam sistem pendidikan Indonesia. Seperti yang pernah saya tuliskan sebelumnya, masukan mahasiswa baru di Institut Teknologi Bandung sendiri merupakan anak SMA dari berbagai daerah di Indonesia. Artinya bila mau dirunut ke belakang, sebenarnya setiap tahapan pendidikan saling mempengaruhi dalam membentuk karakter seorang anak sejak Taman Kanak-Kanak. Namun untuk ITB sendiri, karena yang masuk adalah yang terseleksi secara kecerdasan rasional, dan proses pendidikan di dalamnya pun terus memengaruhi cara berpikir, pada akhirnya kreativitas yang sudah melemah akibat tahapan pendidikan sebelumnya semakin tertekan dan dimatikan. Banyak permasalahan di KM-ITB yang sebenarnya bisa dilihat sebagai akibat dari kurangnya kreativitas mahasiswa dalam memandang masalah tersebut secara holistik-intuitif. Apa karena ITB adalah sebuah institut teknik sehingga memandang masalah pun bagaikan memandang mesin mekanik yang merupakan sebuah sistem mati ketimbang sistem hidup? Bahkan masalah kreativitas ini sangat menyayat hati saya ketika melihat hasil Program Kreativitas Mahasiswa tahun lalu yang hanya meloloskan 3 anak dari ITB untuk berlaga di PIMNAS. Mungkin banyak yang selalu terus mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi di ITB sebagai institut terbaik bangsa sehingga bisa tertinggal sejauh itu dengan perguruan tinggi lain. Bagaimana seseorang adalah bagaimana dia dididik, dan istilah “dididik” di institut ini lebih dikenal dengan “dikader”. Mengenai hal itu, kaderisasi di KM-ITB sendiri memiliki banyak pekerjaan rumah untuk evaluasi mengenai kualitas produk yang dihasilkan. Tentu saja fenomena ketika mahasiswa ITB selalu secara kaku menuntut parameter, menurunkan metode dari satu sudut pandang, terpaku pada hal-hal statis, tidak fleksibel, dan lain sebagainya menunjukkan dengan jelas bahwa kita dalam masalah berpikir kritis tidak usah ditanya, tapi untuk berpikir kreatif, mungkin memang sangat perlu dipertanyakan. Walau sebenarnya akar permasalahannya tidak sepenuhnya berada pada kaderisasi kemahasiswaan, namun pihak rekorat sendiri sebagai pelaku utama pendidik dan yang memiliki otoritas terhadap pengarahan pendidikan di ITB, masalah yang kita hadapi mengenai pendidikan dan kaderisasi ini adahah suatu  hal yang tidak sederhana karena melibatkan banyak faktor, terutama hal ini melibatkan manusia, makhluk yang penuh dengan ketidakpastian, sebagai objek sekaligus subjeknya. Berpikir kreatif adalah bagaimana kita mengimajinasikan dan memvisualisasikan sesuatu. Karena tidak semua hal dapat dideksripsikan dan bahasa sendiri pun memiliki keterbatasan, kemampuan melihat segala sesuatu secara intuitif menjadi suatu hal yang krusial dalam penyelesaian suatu masalah. Bahkan, apabila ada yang mengikuti perkembangan pemikiran filsafat masa kini, aliran post-modernisme mulai banyak bermunculan sebagai kritik keras pada modernisasi yang terlalu mendewakan rasionalitas. Banyak orang mulai sadar bahwa rasionalitas bukan lagi satu-satunya jalan mencari kebenaran. Paradigma baru seperti holistik-ekologis pun bermunculan untuk menjawabnya. Akar permasalahannya sebenarnya sama, masyarakat modern dunia sudah sangat kehilangan kemampuan berpikir intuitif sehingga segala sesuatu terlalu mengedepankan kejelasan rasional dalam deskripsinya. Ini juga yang kemudian menjadi penyakit bersama, yaitu merajalelanya dominasi saintifik yang mengatakan kebenaran saintifik adalah segalanya. Selain itu ketika kita memiliki kemampuan berimajinasi dengan baik, padangan kita dapat kita layangkan dengan luas atau bahkan jauh ke depan. Oleh karena itu, salah satu faktor kurangnya orang visioner adalah kurangnya orang yang mampu berpikir kreatif. Sebenarnya untuk berpikir kreatif sendiri butuh pembahasan tersendiri yang lebih lengkap, sehingga mungkin dapat dibahas pada tulisan yang lain. Sebuah perenungan panjang Pada akhirnya, di setiap titik dalam proses kajian pun terdapat penyakit-penyakit yang memerlukan perhatian khusus, selain kajiannya sendiri. Dimulai dari masalah cucoklogi, hingga masalah kreativitas. Tentu saja sebenarnya masih banyak lagi penyakit-penyakit kecil yang dapat kita perhatikan sendiri masing-masing. Tiap hal di atas dapat menjadi suatu kajian tersendiri dengan pembahasan yang tidak singkat, namun saya coba tuliskan dalam satu tulisan, walau mungkin terlihat terlalu menyebar kemana-mana, untuk memperlihatkan bahwa melihat suatu permasalahan memang harus dipandang secara menyeluruh dan integratif. Semua saling mempengaruhi dengan porsinya masing-masing. Untuk menyelesaikan permasalah kompleks dengan berbagai faktor seperti ini mungkin memang tidak mudah, tapi bukan berarti mustahil. Hal seperti ini pun tidak dapat dipikirkan oleh satu orang saja, namun butuh kolaborasi pemikiran yang lebih luas sehingga berbagai paradigma dan sudut pandang dapat masuk untuk semakin memperjelas suatu permasalahan secara holistik. Dalam hal mengkaji sendiri pun, semangat mencari kebenaran sudah sangat mengalami penurunan. Hanya kalangan minoritaslah yang dipandang sebagai ahli kajian. Bahkan, kata kajian sendiri sering dipandang sebagai suatu hal yang tidak biasa di kalangan mayoritas. Entah ada yang muak dengan dialektika yang terjadi, entah ada yang lelah berwacana, entah ada yang memang kuliah beroientasi pekerjaan sehingga ilmu dan fenomena sekitar sendiri pun tidak dianggap sebagai suatu hal yang penting, sekali lagi, semua menjadi faktor dengan proporsi masing-masing. Yang terkadang saya herankan, ketika ada seminar mengenai marxisme, atau extension course mengenai bahasa dan peradaban, atau semacamnya, hanya sedikit yang berminat untuk ikut, namun ketika ada seminar atau acara mengenai kewirausahaan, tak usah ditanya lagi bagaimana reaksinya. Apa mahasiswa sekarang benar-benar hanya memikirkan uang untuk hidup ke depannya? Kenapa diperlukan adanya kajian tentu sudah jelas tersirat dalam definisi. Betapa pentingnya kajian untuk memperoleh informasi atau jawaban yang valid dari pertanyaan atau pernyataan awal yang mendasari adanya kajian tersebut, membuat kita tidak akan terjebak pada kepercayaan naif yang berupa tradisi, budaya, ataupun interpretasi sederhana yang terlalu subjektif.  Terkadang apa yang seharusnya diformat ulang tetap dipertahankan dalam alasan yang selalu dapat dipertanyakan. Apakah semangat kita dalam mencari kebenaran dapat terus berkobar sebagai seorang intelektual yang memainkan perannya dengan baik? Mungkin tulisan ini tidak dapat menjawab banyak hal mengenai pertanyaan-pertanyaan yang terajukan di atas, tapi pemahaman mengenai suatu permasalahan secara terstruktur dan menyeluruh sama artinya dengan setengah menjawab permasalahan tersebut. Untuk mencari jawaban yang sesungguhnya, diperlukan usaha dan niat yang tulus dari pelaku-pelakunya sendiri untuk mengurai benang kusut pertanyaan-pertanyaan yang ditimpakan di dinamika KM-ITB dari tahun ke tahun. Seperti apa yang tertulis di Plaza Widya Nusantara, kampus ini adalah tempat bertanya, dan harus ada jawabnya. Banyak permasalahan menunggu untuk dikaji ulang. Yang terpenting adalah jangan takut mendobrak formalitas demi sebuah kebenaran, karena terkadang menjadi militan itu perlu untuk sebuah pemikiran revolusioner. Seperti apa yang dikatakan seorang filsuf pendidikan, Robert M. Hutchins, universitas hanya ada untuk menemukan dan menyampaikan kebenaran. Keluaran terakhir dari sebuah perguruan tinggi tentunya adalah intelektual yang memenuhi tujuan akhir pendidikan, namun mengingat esensi intelektualitas adalah lebih dari sekedar karakter, perlu kita renungi bersama akan apa yang dapat kita lakukan. Jangan sampai semua kemudahan yang ada mengaburkan mata kita dalam sebuah ilusi indah mengenai masa depan yang cerah namun melupakan realita sebenarnya dari sebuah kebenaran. Apakah kajian masih layak menjadi budaya di KM-ITB atau tidak, hanya kita yang dapat menentukan. “Lihatlah dua kali kalau ingin menemukan kebenaran, lihatlah sekali saja kalau ingin menemukan keindahan” – Henri Frederic Amiel, Filsuf - (PHX)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun