Mohon tunggu...
Adi Triyanto
Adi Triyanto Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sebuah Perusahaan swasta Di Tambun- Bekasi-Jawa Barat

Lahir Di Sleman Yogyakarta Bekerja dan tinggal Di Bekasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Musibah: Haruskah Ada Dikotomi?

17 Mei 2021   07:02 Diperbarui: 17 Mei 2021   07:15 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Musibah. Kata ini menjadi begitu makin akrab di telinga. Seakrab telinga kita mendengar lagu Ebit G Ade, 'Berita kepada Kawan' yang menjadi back soundnya. Setiap hari , hampir tidak ada yang terlewat tanpa adanya kabar musibah yang datang menimpa ummat manusia . Baik berupa banjir, tanah longsor, gunung meletus , gempa bumi hingga pandemi covid 19.

Musibah adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh jiwa. Kejadian apa saja yang menimpa manusia yang tidak dikendaki. Atau bisa juga berbentuk kemalangan. Dalam skala kecil bisa sakit, usahanya rugi, kehilangan barang . Atau yang berskala besar seperti bencana alam ataupun wabah penyakit.

Ada sebuah ungkapan , Semua musibah ringan asal tidak menimpa agama ". Ungkapan ini mempertegas adanya pengelompokkan musibah.  Musibah tidak tunggal. Ada dikotomi, atau pengelompokan menjadi dua kelompok besar  yaitu  musibah agama ada juga musibah dunia.

Musibah agama, adalah musibah terbesar yang menimpa ummat manusia . Karena  bisa menghancurkan moral dan akidah ummat manusia . Yang akibatnya bisa  celaka dunia dan akherat. Deritanya  harus ditanggung tidak hanya di dunia ini tetapi juga nanti di kehidupan setelah mati. Kehidupan yang bersifat abadi. Kalau di kehidupan dunia yang sebentar ini saja sudah terasa berat apalagi kalau harus merasakan lagi di akherat. Itulah derita di atas derita.

Namun kenyataanya di masyarakat , justru sebaliknya orang lebih tidak peduli terhadap musibah agama yang sedang menimpa. Ketika ada banyak orang melakukan tindakan maksiat seperti perzinaan orang tidak peduli. Ada orang membuka auratnya  dibiarkan saja. Ada orang mabuk mabukan minuman keras yang bisa merusak diri dan membahayakan orang lain tidak dicegah. Ada pejabat atau pemimpin yang tidak amanah dan melakukan korupsi yang mengakibatkan penderitaan orang banyak, tidak ditindak.

Sedangkan musibah dunia, seberat apapun  masih dikatakan ringan. karena selama-lamanya menderita di dunia paling sepanjang umur manusia di dunia saja. Derita kehilangan semua harta akibat banjir besar tak akan lama. Sedihnya kehilangan anggpta keluarga akibat gempa bumi juga tidak akan dibawa mati.   Begitu kematian datang , berakhir juga musibah yang dirasakan.

Realitanya , meski hanya seumur di dunia, musibah dunia lebih membuat orang menjadi takut. Ketika terjadi banjir besar, meski hanya berlangsung beberapa hari sudah membuat orang  sengsara. Susah pergi kemana kana. Harus tinggal di barak pengungsian.  Dengan kondisi tempat berteduh serba terbatas dan suplay makanan yang sekedarnya saja.

Apalagi musibah yang sekarang sedang melanda berupa pandemi covid 19, telah membuat orang menderita. Dan merasakan dampaknya yang luar biasa. Kegiatan ekonomi masyarakat sempat lumpuh karean adanya larangan adanya kerumuanan . Yang mendatangkan  dampak lanjutan berupa susahnya ekonomi banyak rumah tangga . Hingga berdampak ke  di bidang kehidupan lainnya seperti aktifitas  keagaamaan..

Memisahkan antar musibah dunia dan musibah agama sebenarnya bukan pemikiran yang tepat. Kedua musibah sebenarnya masih punya korelasi . Mereka tidak berdiri sendiri. Ada keterkaitan antara keduanya. Musibah dunia merupakan dampak lanjutan dari adanya musibah agama yang sudah lebih dulu menimpa.

Musibah agama bisa dijadikan pertanda atau gejala awal akan adanya suatu ketidakberesan dalam tingkah laku manusia. Tingkah laku yang tidak wajar dari kodratnya sebagai manusia.  Ketika musibah agama muncul namun  dibiarkan terus menerus maka akan muncul musibah dunia. 

Dalam kasus pandemi covid 19 sekarang ini pun bisa dikatakan musibah agama sebagai penyulutnya. Yaitu ketika manusia tidak memiliki akhlak terhadap lingkungan dan dunia hewan. Manusia yang dengan berbekal kemampuan teknologi yang didorong sifat rakus atau serakahnya berusaha  mengotak atik DNA hewanatau virus  untuk pengembangan senjata biologi untuk mengalahkan lawan atau pesaingnya. Yang akhirnya memunculkan varian virus baru yang memiliki sifat lebih ganas dan lebih mematikan dari sebelumnya. Bahkan mamapu bermutasi secara cepat yang tak terpikirkan sebelumnya ketika melakukan ujicoba di laboratorium.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun