Mohon tunggu...
Adi Triyanto
Adi Triyanto Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sebuah Perusahaan swasta Di Tambun- Bekasi-Jawa Barat

Lahir Di Sleman Yogyakarta Bekerja dan tinggal Di Bekasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pandemi Covid dan Re-interpretasi Aturan Ibadah Keagamaan

1 Mei 2021   06:06 Diperbarui: 1 Mei 2021   06:23 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tafsir ( interpretasi ) manusia terhadap Kebenaran kitab suci Alquran belum final dan tidak bersifat tunggal , karena kebenaran sebenarnya adalah proses mencari yang tak pernah berhenti. Yang bermuara kepada yang Maha benar, Tuhan  sang Pencipta Segalanya.

Pandemi Covid-19 belum juga menunjukkan tanda tanda kapan akan berakhir . Manusia sudah berupaya dengan berbagai macam cara dan usaha untuk mengatasinya. Namun sampai sekarang tingkat penyebaran masih cukup tinggi, sehingga prokes masih harus dijalankan secara ketat. Semua bidang kehidupan pun harus terkena imbasnya, tak terkecuali  aturan  ritual ibadah keagamaan.

Dalam syarat ibadah sholat diatur, shaf dalam sholat jamaah di masjid  aturannya harus lurus dan rapat. Kalau tidak rapat nanti diisi syaitan. Tapi begitu pandemi covid, shaf orang sholat di atur berjarak. Mengikuti standar jaga jarak protokol kesehatan pencegahan penyebaran covid. Bagi laki laki maka diperintahkan untuk sholat berjamaah di masjid . Di masa pandemi covid justru diutamakan untuk sholat di rumah. Karena kapasitas tempat ibadah hanya boleh diisi setengah  dari seharusnya.

Pandemi seperti menunjukkan dua sisi sebuah ritual keagamaan.

Mana yang bersifat horisontal dan mana yang vertikal. Yang berubah adalah semua yang bersifat horisontal ,yaitu yang memberi manfaat untuk sesama. Sementara yang bersifat vertikal ( hubungan dengan  Tuhan )  , tidak berubah sama sekali. Itu pula inti gerakan re-interpretasi ritual keagamaan yang sebenarnya.

Kondisi yang diakibatkan pandemi covid 19, ternyata menjadi semacam gerakan re-interpretasi aturan ibadah keagamaan. Sebenarnya gerakan atau usaha untuk mere-interpretasi aturan ritual ibadah keagamaan ini sudah berlangsung sejak lama, tetapi pandemi covid seolah menjadi pemantik gerakan massal yang menjangkau tidak hanya lingkup di satu lingkungan masjid di suatu kampung namun menjangkau  ke seluruh  belahan  bumi.

Ketika, ada gerakan re-interpretasi ibadah keagamaan, dalam kondisi normal pasti akan memunculkan berbagai penolakan atau resistensi dari banyak  kalangan. Tidak  hanya yang berasal dari kelompok yang taat beragama , yang tidak taat pun terkadang justru memberikan reaksi atau  perlawanan dengan suara yang lebih vokal dan lebih keras . 

Praktek keagamaan , sebagaimana dikatakan oleh Ilmuwan Inggris , Stephen Hawking merupakan suatu praktek yang bersumber kepada otoritas. Pada awalnya bisa dikatakan  merupakan otoritas tunggal, yang diwakili oleh seorang Nabi. Yang pada perkembangannya diteruskan oleh para generasi para sahabat, ulama , hingga sampai kepada para ummatnya. Itulah yang terjadi selama ini. 

Hal ini tentu berakibat kepada lahirnya suatu bentuk tafsir kebenaran kitab suci  yang tunggal. karena berasal dari pemegang otoritas yang diwakili seorang tokoh tertentu. Tokoh yang memiliki kemampuan ilmu agama yang mumpuni. Sehingga apa yang disampaikan menjadi tafsir atau terjemahan terhadap suatu dalil yang paling benar. Yang bila terus dirunut akan bersumber kepada dua sumber hukum agama yaitu Alquran dan juga hadist Nabi.  Dan semua yang tidak bersumber kepada Nabi lewat Alquran dan Hadist dikatakan sebagai bukan kebenaran. Dianggap melakukan yang tidak diajarkan dan mengurangi yang sudah ada dan bisa dikatakan melanggar aturan  agama. 

Tafsir kebenaran kitab suci yang  tunggal ini, didukung oleh tokoh  yang dianggap mempunyai kemampuan lebih , sehingga apa yang disampaikan selalu bernilai "benar ". Tidak ada yang berani menyampaikan sesuatu yang berbeda terhadap  kebenaran sang tokoh . Kalaupun ada yang mencoba memberanikan diri, tetap saja tidak dianggap bila ilmu agamanya masih sedikit. Masih jauh dari predikat mumpuni. Ditambah 'bonus ' ketundukan untuk mengikuti anjuran atau fatwa tokoh tertentu  memiliki nilai " keshalehan". 

Selain itu, keterbatasn akal, hal lain yang mempengaruhi  kurangnya  gerakan untuk mere-interpretasi ajaran/ritual keagamaan  adalah kondisi saat  itu belum melahirkan suatu kesulitan pilihan . Tidak sekompleks jaman sekarang . Sehingga gerakan pembaharun bisa dikatakan belum diperlukan. Yang ada sudah cukup mewakili. Dan bisa memuaskan kondisi bathin masyarakat saat itu .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun