Berkembangnya teknologi informasi di kalangan globalisasi dunia sudah tidak dapat terhentikan. Masyarakat di dunia berbondong-bondong untuk menyesuaikan kepintaran transformasi teknologi itu dengan menciptakan sesuatu yang melebihi kelihaian manusia. Berkembangnya teknologi menuntut manusia untuk berinovasi, dengan tujuan mempermudah kehidupannya yang dirancang dengan alat untuk menggantikan atau menyerupai kemampuan manusia. Hal ini kerap kali disebut sebagai kecerdasan buatan atau teknologi AI (Artificial Intelligence).
Kecerdasan buatan telah mengalami perkembangan masif dari tahun ke tahun. Penciptaan dan penggunaannya banyak membantu kehidupan manusia dalam beraktivitas. Teknologi Artificial Intelligence ini paling banyak digunakan khususnya di bidang pendidikan; semenjak memasuki kurikulum merdeka belajar, peran guru semakin berkurang dalam pembelajaran siswa, sehingga siswa dituntut untuk kreatif dan inovatif dengan memanfaatkan fitur logika dan pengembangan diri.
Kecerdasan buatan menjadi aspek primer dalam perkembangan teknologi pendidikan, hal ini melihat dari implikasi secara eksplisit terhadap kehidupan kedepannya; khususnya dunia kerja manusia di masa depan. Kehadiran teknologi AI dengan fitur, fungsi, dan tampilan yang baru berdampak pada banyak aspek kehidupan manusia tidak terkecuali bidang pendidikan (Luger dan Stubbled, 1993).
Pendidikan di era transformasi digital tak sedikit yang sudah menerapkan teknologi kecerdasan buatan. Penerapan kurikulum merdeka belajar membuat pelajar atau mahasiswa yang dapat melaksanakan pembelajaran mandiri di rumah dan sekolah melalui pendamping yang memfasilitasi dengan baik untuk navigasi laju kehidupan yang lebih akurat dengan teknologi AI (Artificial Intelligence). Eksplorasi menyeluruh, analisis kritis, kreatifitas, dan inovatif merupakan tujuan dan harapan dari kurikulum merdeka belajar yang diterapkan oleh Kemendikbud RI. Chat GPT merupakan salah satu software yang memiliki kemampuan untuk menjadi guru virtual bagi pelajar.
Guru virtual yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial ini memiliki banyak kegunaan. Terkadang, pelajar yang mengalami kebuntuan atau ‘stuck’ dalam mengerjakan tugas, atau tidak memahami materi, cukup ketikkan saja kata kunci yang ingin dicari di laman Chat GPT. Maka, secara otomatis fitur itu akan menemukan jawaban-jawaban yang diinginkan, yang dianggap juga dapat membantu selayaknya guru pengganti.
Perkembangan teknologi AI pada Chat GPT sebenarnya sudah cukup baik, mengingat banyaknya pelajar yang terbantu karena software tersebut. Akan tetapi, jika digunakan secara terus menerus dapat membuat siswa tersebut menjadi kurang analisis dan malas berpikir kritis.
Tujuan-tujuan yang diharapkan oleh Kemendikbud RI saat menciptakan program merdeka belajar terancam tidak terwujud apabila pelajar lebih mengandalkan Chat GPT daripada logika dan pemikirannya sendiri. Bahkan pencipta aplikasi Facebook, Elon Musk, memberikan peringatan “Camkan ini – AI akan jauh lebih berbahaya daripada nuklir.” dalam acara SXSW, tentang potensi bahaya kecerdasan buatan.
Fitur teknologi AI, Chat GPT ini sudah menjadi “guru pengganti” bagi para siswa dan mahasiswa. Banyaknya informasi yang didapatkan dari software tersebut mempermudah kehidupan manusia, tidak hanya siswa saja. Namun, alangkah lebih baiknya apabila software Chat GPT tersebut dapat digunakan dengan sewajarnya. Arti dari sewajarnya dalam hal ini adalah cukup dijadikan sebagai referensi dan pembantu dalam proses pendidikan. Tidak dianjurkan dan dibenarkan apabila mengandalkan fitur Chat GPT sebagai software yang bisa mengerjakan tugas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H