Di tengah gelombang modernitas dan tantangan ideologi keagamaan yang kian kompleks, konsep Fikih Orang Basudara yang diusung Guru Besar UIN AM Sangadji Prof. Hasbollah Toisuta menawarkan angin segar bagi wacana Islam kontekstual.
Berakar dari semangat persaudaraan (basudara) masyarakat Maluku, fikih ini bukan sekadar hukum syariat, tetapi juga cerminan bagaimana Islam dapat menari harmonis dengan kearifan lokal.
Dalam lanskap Maluku yang pernah dilanda konflik komunal 1999--2002, maka Fikih Orang Basudara adalah manifesto hidup bahwa agama dan budaya tak harus bertolak belakang, melainkan bisa menjadi jembatan menuju perdamaian.
Bayangkan sebuah Islam yang tak hanya berbicara tentang halal-haram, tetapi juga tentang pela dan gandong, ikatan kekerabatan yang membuat seorang Muslim di Maluku rela menjaga gereja saat Natal, atau seorang Kristen membantu keamanan masjid di hari Idulfitri.
Inilah esensi Fikih Orang Basudara, sebuah epistemologi fikih yang menempatkan harmoni sosial sebagai ibadah, tanpa mengorbankan prinsip syariat.
Dalam perspektif fiqh siyasah, konsep ini bahkan lebih relevan, karena menawarkan tata kelola masyarakat yang inklusif, mampu merangkul kemajemukan tanpa terasing dari akar Islam.
Namun, Fikih Orang Basudara juga menghadapi tantangan. Gerakan Salafi, dengan pendekatan puritan yang kerap memandang tradisi lokal sebagai bid'ah, menjadi ujian bagi kelenturan fikih ini.
Di sinilah letak keberanian Prof Hasbollah Toisuta, ia tak sekadar mempertahankan tradisi, tetapi merumuskannya sebagai ekspresi Islam yang otentik, yang disebutnya "Islam Mazhab Ambon."
Ini bukan sekadar romantisme budaya, melainkan strategi cerdas untuk menjaga identitas Maluku di tengah arus globalisasi yang sering kali mengikis lokalitas.
Menariknya, Fikih Basudara bukan hanya relevan untuk Maluku. Di era polarisasi yang kian tajam, di mana agama sering disalahgunakan sebagai alat perpecahan.
Pendekatan ini mengajarkan bahwa Islam bisa menjadi perekat sosial. Bayangkan jika semangat basudara diterapkan di wilayah lain di Indonesia, atau bahkan dunia, sebuah fikih yang tak hanya berpijak pada teks suci, tetapi juga pada denyut nadi masyarakatnya. Bukankah ini wujud dari rahmatan lil 'alamin yang sesungguhnya?