Program pengiriman anak yang dianggap "nakal" ke barak militer, yang digagas oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, telah memicu perdebatan sengit.
Di satu sisi, program ini dipuji sebagai upaya inovatif untuk menanamkan disiplin dan menyelamatkan generasi muda dari degradasi moral.
Di sisi lain, banyak yang mengkritiknya sebagai pendekatan yang tergesa-gesa, berpotensi melanggar hak anak, dan tidak menyelesaikan akar masalah kenakalan remaja.
Sebagai praktisi media, saya melihat program ini memiliki niat baik, tetapi pendekatannya keliru dan berisiko lebih besar daripada manfaatnya.
Tujuan utama program ini, membentuk karakter dan kedisiplinan patut diapresiasi. Di tengah maraknya tawuran, balapan liar, dan perilaku bermasalah lainnya, langkah untuk mengintervensi kenakalan remaja memang diperlukan.
Pendekatan berbasis barak militer dapat memberikan pengalaman baru bagi anak-anak yang sulit diatur, terutama mereka yang berasal dari lingkungan keluarga yang kurang mendukung.
Keterlibatan TNI, Polri, dan psikolog, serta persetujuan orang tua, menunjukkan upaya untuk menjaga program ini tetap terarah dan tidak semata-mata bersifat militeristik.
Klaim bahwa beberapa siswa menunjukkan perubahan positif, seperti lebih disiplin dan menghentikan kebiasaan buruk, juga menjadi poin yang mendukung efektivitas jangka pendek.
Kelemahan yang Mengkhawatirkan
Namun, kelemahan program ini jauh lebih signifikan. Pertama, pendekatan militeristik tidak sesuai untuk mengatasi kenakalan remaja yang sering kali berakar dari masalah psikologis, pola asuh, atau lingkungan sosial.
Seperti yang dikatakan psikolog Aully Grashinta, tekanan disiplin ketat justru berisiko menurunkan harga diri atau memicu agresivitas.