Mohon tunggu...
Adi Prayoga
Adi Prayoga Mohon Tunggu... Buruh - belajar

adhang-adhang tetesing embun

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Akasia, sudah mati?

31 Oktober 2019   02:20 Diperbarui: 1 November 2019   00:25 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Ah dasar akasia bodoh

Dari satu candik ala ke candik ala biasanya tanpa harus berfikir panjang saya akan menyalakan korek api dan mulai membakar kertas dengan tembakau digulungannya.sepi iya bahkan kosong, hampir pada setiap adzan memenuhi telinga di sore hari yang pastinya sendiri dan pasti lelah setelah seharian mengikuti waktu dan memaksakan fikiran untuk menjadi normal seperti takaran manusia lain.

Sebenarnya apalah arti dari sore sehingga banyak terlintas semua hal yang belum dan apa yang sudah dilakukan, apakah sinar mataharinya hangat sehingga kumbang ingin mencari nektar lagi?apakah juga karena kamu belum datang mengunjungi tempat kosong kepunyaan saya

Bulan ini musim kemarau sepertinya akan berkepanjangan, keluh pasti terlontar namun bahagianya melihat semua bunga akan mekar, Pohon-pohon juga menampakkan cantik kelopaknya. Pohon akasia gunung disini sempat berkata diantara angin sore yang ternyata tidak sehangat kelihatannya, kalau saya tidak keliru dia menanyakan kenapa saya sendirian kesana, apa karna saya tidak mau membagi bunganya yang mekar kepada orang lain, sedang dulu raras juga pasti akan senang berlama-lama dibawah rantingnya pada saat musim kemarau seperti sekarang.

Mungkin karna semua semakin pintar atau malah karna saya yang hanya berhenti dan menjadi bodoh bahkan untuk menyapa saat bertemu saya tidak bisa.

pohon akasia yang ramah pun saya tidak bisa ajak bicara. Saya kelu tapi bungannya seperti menunjukkan jalan bahwa dia juga selalu kehilangan kelopaknya saat dia mendapatkan cinta nya dan muncul benih baru yang akan menghilangkan kelopak cantik dari ranting nya.

Kalian pasti tidak tau bahwa raras adalah manusia yang pertama kali dapat memindahkan kiblat ke jendela yang membawa sinar matahari untuk dibagi kepada saya. Dia sepertinya sekarang sudah mati, mungkin hanya dia satu bunga yang mekar dan menjadi benih baru.

Dia akasia yang mekar di perengan gunung, bahkan perhatian tidak dia butuhkan. Halus rantingnya pasti sekarang sedang menari karna tertiup angin. Saya juga satu dari orang  bisu yang bisa dia dengarkan.

Bagaimana mungkin sekarang saya menatap kiblat yang saya geser bersama dengan raras sendirian, apakah raras tidak mau kembali memenuhi kursi diseblah jendela untuk sekedar berbagi, sepertinya dia sudah mati.

Raras adalah akasia yang lama tumbuhnya,saat saya tau bahwa di adalah suluk, saya ingin dia tidak terbagi bahkan tidak kepada dzat.

Keras sekali kayunya biasanya hanya akan jadi arang jika dibakar dan kemudian disiram air.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun