Mohon tunggu...
Hartanta Adi Nugroho
Hartanta Adi Nugroho Mohon Tunggu... Insinyur - Jakartans

Pencinta seni, budaya, alam, perdamaian, dan harmoni

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Just My 2 Cents: Taxi dan Ojek di Jakarta

22 Maret 2016   16:47 Diperbarui: 22 Maret 2016   17:17 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebutuhan untuk berpindah tempat, atau transportasi merupakan salah satu kebutuhan utama kita sebagai pekerja.

Sebagai salah satu warga kota Jakarta, mengingat buruknya transportasi publik di sini, saya biasa bepergian dengan menggunakan kendaraan pribadi (mobil). Ada kalanya juga ketika pergi tidak menggunakan mobil, saya akan menggunakan taxi atau ojek. Transportasi lain seperti bus atau kereta, sudah bukan merupakan pilihan lagi mengingat ketidakjelasan waktunya.

Taxi Konvensional

Paling sering menggunakan taxi adalah saat ke bandara atau pulang dari bepergian yang sebelumnya bareng teman pada saat berangkat. Lebih dari 90% perjalanan taxi saya di Jakarta menggunakan Bluebird. Jika Bluebird tidak ada, pilihan kedua adalah menggunakan Gamya. Pernah mencoba menggunakan taxi yang lain biasanya kalau terpaksa karena tempat saya pergi wajib fleet perusahaan taxi tertentu atau sudah kehabisan kesabaran menunggu Bluebird dan Gamya di bandara.

Beberapa kali pernah menggunakan White Horse Executive Taxi jika pulang dari bandara, namun sudah kapok setelah mengalami kejadian buruk yakni HP tertinggal di taxi, meskipun baru 5 menit turun dari taxi, berhasil menghubungi call center dan meminta taxi kembali, tapi taxi tidak mau kembali karena sudah masuk tol dan dia cari HP saya di jok belakang sudah tidak ada, katanya tadi ada penumpang baru jalan 1km langsung turun. Sedangkan untuk taxi lain, lebih karena tidak standardnya kualitas mereka, antara lain kebersihan mobil, pengetahuan pengemudi tentang rute, cara mengemudi yang tidak nyaman, dan perasaan aman ketika naik armada tersebut.

Taxi Berbasis Aplikasi

Untuk Taxi berbasis aplikasi, meskipun saya memiliki aplikasi UBER terinstall di HP, saya belum pernah menggunakannya karena saya lebih sering menggunakan taxi konvensional. Pernah naik UBER 3x, tapi semua itu yang pesan teman dan saya kebetulan hanya nebeng. Mobilnya berbeda-beda, yang pertama naik adalah Toyota Innova, yang kedua adalah Toyota Avanza, dan yang ketiga adalah Suzuki Ertiga. Kondisi Innova yang pertama kali saya naiki benar-benar bagus, wangi, bersih dan standard. Ketika naik Avanza yang kedua kalinya mobilnya banyak aksesoris dan lampu-lampu yang tidak standard dengan audio yang sepertinya juga sudah dimodifikasi. Ertiga yang ketiga relatif standard namun kondisi mobil tidak cukup prima, beberapa kali mati di jalan entah karena pengemudinya masih baru atau mobilnya sudah kurang baik. Tipe pengemudi juga berbeda-beda. Ada yang ramah tapi ada juga yang lebih cuek. 

Perbedaan yang sangat mencolok dibandingkan taxi konvensional adalah soal tarif, biasanya dari tempat tinggal saya ke Soekarno Hatta dengan Bluebird menghabiskan minimal Rp150.000 di luar tarif tol, sedangkan dengan UBER cukup dengan Rp90.000. Dalam satu perjalanan saya bisa menghemat 60 ribu rupiah atau 40% dari total cost saya biasanya. Tentu ini selisih yang cukup besar bagi kelas menengah di Jakarta. Perbedaan yang kedua adalah soal cara pembayaran, dengan UBER pembayaran langsung ke kartu kredit sehingga meminimalisir pengemudi nakal yang kadang sering membulatkan tarif dengan alasan tidak ada kembalian. Sering taksi konvensional membulatkan tarif misal 92 ribu menjadi 100 ribu karena tidak ada kembalian.

Ojek dan Gojek

Bagaimana dengan ojek? Penggunaan ojek lebih banyak digunakan untuk jarak dekat, rata-rata naik ojek lebih ketika malas berjalan dan pas ada tukang ojek yang lewat atau mangkal di dekat kita berjalan. Jarak terjauh naik ojek yang pernah saya alami mungkin hanya sekitar 10km. Dengan tukang ojek, kita harus tawar-menawar soal tarif karena tidak ada tarif pastinya per km. Selain itu kadang soal keamanan dimana banyak tukang ojek tidak menyediakan helm untuk penumpang, dan kenyamanan dimana tidak sedikit tukang ojek yang bermasalah dengan bau badan hehe.

Jika UBER saya belum pernah order langsung, lain halnya dengan GOJEK. Saya cukup sering menggunakan GOJEK, meskipun lebih banyak bukan untuk sarana transportasi, tapi lebih untuk membeli makanan dan mengirim barang. Dengan tarif 10 ribu untuk membelikan makanan, rasanya cukup fair dibanding harus bermacet-macet ria dan parkir yang sejam nya saja sudah 5ribu. Demikian pula untuk pengiriman barang, kadang untuk keperluan kantor harus segera mengirim surat atau barang ke klien, dibanding harus menunggu ekspedisi yang datang ke kantor sehari 1x dan barang baru diterima besok, di kantor cukup sering menggunakan layanan GOJEK untuk mengantarkan barang tersebut. Sering pula anak-anak kantor menggunakan layanan GOJEK untuk memesan makanan atau cemilan di kantor.

Konflik Konvensional vs Aplikasi

Hari ini di Jakarta, kita melihat demo yang berujung anarki soal permintaan sopir taxi konvensional untuk menutup taxi berbasis aplikasi. Konflik serupa pernah terjadi juga antara ojek konvensional yang melakukan sweeping terhadap ojek aplikasi. Hal ini terjadi karena para sopir taxi konvensional merasa pendapatannya menurun sejak banyak konsumen yang beralih ke taxi berbasis aplikasi.

Seiring dengan berkembangnya teknologi, perubahan business landscape pasti terjadi juga. Perubahan teknologi akan merubah peta kompetisi bisnis dan perilaku konsumen. Untuk ojek online, konsumen mendapat kepastian harga yang berdasarkan jarak, kecepatan transaksi dengan aplikasi, dan kemudahan mendapatkan ojek yang langsung datang ke kita bukan kita yang ke tukang ojek. Selain itu GOJEK juga menambahkan berbagai layanan di luar core business nya yang dapat memudahkan kita yang tinggal di kota besar seperti pengiriman barang, pembelian barang, pembersihan rumah, pijat, kecantikan dan lain-lain.

Peta kompetisi bisnis juga akan berubah dimana sebelumnya kompetitor dari taxi konvensional adalah perusahaan taxi lainnya. Dimana mereka bisa berkompetisi di margin, efisiensi biaya operasional, dan pelayanan. Persaingan dengan taxi berbasis aplikasi merubah segalanya karena taxi berbasis aplikasi tidak memiliki fleetnya sendiri, pengemudi juga bukan pegawai perusahaan, sehingga banyak biaya operasional yang bisa ditekan seperti biaya pembelian unit, asuransi, training dan pengembangan karyawan. Belum diketahui juga soal status perpajakan taxi berbasis aplikasi ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun