Mohon tunggu...
Dini Kusumawardhani
Dini Kusumawardhani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

an architecture graduate who currently working as a writer and journalist for architecture publication.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

tokoh bangsa(t)

16 Juni 2011   15:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:27 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ayah saya, sebut saja Papa Hadi (PH), merupakan sosok orang yang tidak banyak bicara. Kata-kata yang keluar dari mulutnya pendek-pendek, simpel, straight to the point. PH jarang mengkritik, kalaupun terpaksa mengkritik, kerap kali sarkas. Misalnya, ketika saya baru mulai senang memakai rok pada tahun kedua kuliah, saya berkali-kali mematut kaca di cermin dan meyakinkan diri bahwa saya cantik. Ibu saya, sebut saja Mama Agustin (MA - bukan Marzuki Alie!) setuju dengan pendapat saya, tapi PH hanya berkata "masih kayak cowok", katanya sambil melongok dari bukunya, kemudian lanjut membaca lagi. Seperti tidak terjadi apa-apa. Hari-hari tuanya -karena sudah pensiun dari tugas negara- diisi dengan menenggelamkan dirinya dalam buku-buku, ditemani asap rokok yang bergelung-gelung. Beliau menghabiskan 2/3 waktunya dalam sehari untuk membaca. Kalau menonton televisi, tepatnya menonton berita, matanya lekat menatap layar kaca, mendengarkan detail setiap kata yang keluar dari mulut reporter, presenter dan narasumber. Kalau ada kata-kata klise dari mulut para narasumber, yang kebanyakan pejabat, misalnya "... ya kita belum bisa membuktikan bahwa Ibu Angie terlibat dalam kasus wisma atlet, kita tunggu saja ybs pulang dari Belanda ...", mata PH tajam menatap si pejabat dengan alis naik sedikit, tanpa bicara. Itu artinya PH skeptis dengan omongan si pejabat. Lain halnya kalau acara menonton berita itu dilakukan bersama dengan MA. Tentu bukan dengan Marzuki Alie maksudnya, tapi dengan ibu saya. Apalagi jika yang diberitakan adalah sosok yang cukup dia kenal, misalnya tentang kasus yang melibatkan mantan Ketua KPK, berinisial AA, yang merupakan rekan seangkatannya di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya pada zaman dahulu kala. PH jadi nyenyessekali. Masih sarkas, tapi at least tidak diam seperti ketika beliau menonton sendiri, atau dengan kami, anak-anaknya. Mungkin dipikirnya, kami ini tidak mengerti politik. Memang tidak. Saya dan kakak-kakak saya sudah terbiasa mendengar diskusi PH dan MA di meja makan tentang berita yang terjadi di negeri sejak kami masih kecil. Terutama ketika makan malam, dan setelah menonton berita. Apapun yang diberitakan di televisi, dibahas di meja makan. Saya dan Nugi, kakak laki-laki saya, sering tendang-tendangan kaki di bawah meja karena merasa tersesat di tengah obrolan orang dewasa ini. Lalu saling melihat dan memberi kode tatapan mata yang mungkin kalau diartikan seperti ini, "apaan sih yeee tiap malem bahas politik sama Suharto, penting banget nampaknya". Jelaslah, untuk apa kami para bocah ini penting untuk mendengar politik dan Suharto disebut terus?! Tapi, semakin hari, diskusi malam ini makin jarang terjadi. Semenjak beranjak dewasa (halah), kegiatan saya dan kakak-kakak saya sudah tidak bisa diprediksi, kadang pulang malam, atau sudah merasa kenyang sehingga merasa tidak perlu makan malam. MA, bukan Marzuki Alie, pun kerap pulang mengajar selepas maghrib dan tradisi makan malam bersama ini sudah bisa dihitung jari dalam sebulan. Malam ini, saya dan MA makan malam berdua di meja, sambil menonton berita. PH turun ke bawah dan melihat saya, lalu mengambil posisi kursi di antara saya dan MA. Lalu matanya lekat menatap televisi. Berita saat itu adalah tentang krisis kejujuran yang tengah melanda negeri terkait masalah UN dan para tokoh bangsa yang mengadakan malam apresiasi terhadap wali murid SD yang membongkar praktik contek massal di salah satu SD di Surabaya. Mata PH tajam menatap layar, tanpa bicara. Tumben, biasanya kalau ada MA satu meja dengan beliau, beliau pasti berkicau. Lalu, berita beralih ke kasus mantan bendahara salah satu partai besar negeri ini yang diduga terkait kasus korupsi wisma atlet, dan salah satu narasumber yang merupakan tokoh partai tersebut diwawancarai terkait kasus tersebut, mendadak saya melihat PH sudah mau angkat bicara, masih tetap sarkas danstraight to the point, beliau berkata : "tokoh bangsa, tokoh bangsa, tokoh bangsat!!!", lalu beliau kembali tenggelam dalam asap rokoknya yang bergelung-gelung, seperti tidak terjadi apa-apa. PH oh PH!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun