Mohon tunggu...
Dini Kusumawardhani
Dini Kusumawardhani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

an architecture graduate who currently working as a writer and journalist for architecture publication.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

tertanda, saya yang merindu

18 Juni 2011   15:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:23 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
semua berponsel ria di dalam TransMusi - 18 Juni 2011

Nama : Email : Pin B* :

Saya sedang menikmati semangkuk sup hangat di salah satu restoran cepat saji bersama teman dekat saya, Mbak Na, di suatu sore yang sejuk -karena Palembang baru saja diguyur hujan- ketika salah seorang pramusaji mendatangi meja kami sambil menyodorkan kuisioner dan pulpen. Kuisioner itu layaknya kuisioner pada umumnya, meminta identitas pengunjung dan pendapatnya mengenai pelayanan di restoran tersebut. Kolom nama dan email sudah terisi, kecuali kolom dibawahnya, pin B*. Saya yang bukan-pengguna ponsel pinter yang memiliki sistem operasi eksklusif itu pun menghela nafas sambil melirik ke Mbak Na yang sesama bukan-pengguna.

"Mau diisi apa nih kolom satu mbak?" tanya saya "Iseng yuk" malah tidak menjawab, Mbak Na ngajak iseng. Saya penasaran. "Maksudnya apaan?" selidik saya. "Isi random" jawabnya sambil tergelak.

Saya tertawa tapi tidak menuruti ide random-nya. Saya mengisi kolom tersebut dengan tanda garis yang panjang sekali, extra-long-strip. So did Mbak Na ;D Pada jaman saya masih menuntut ilmu, eh, mencari ilmu (maaf, ilmu, kamu ga salah, tapi kenapa dituntut melulu ya?), ponsel yang sistem operasinya paling canggih di mata saya ya Nok*a, vendor ponsel asal Finlandia yang sistem operasinya Symbian. Sebenarnya, kalau ponsel itu sudah menyentuh jaringan GPRS, berselancar via ponsel sudah bisa dilakukan pada masa itu, tapi sayangnya tidak banyak yang peduli dan mengerti. Pada 2007, saya tertarik untuk membeli ponsel 3G yang mulaibooming. Bagi saya yang suka otak-atik komputer, ponsel dan elektronik sejenisnya, punya ponsel 3G pada masa itu sudah bisa membuat saya asik berselancar dengan mobile internet. Saya merasa keren karena kalau ditanya lagi ngapain kok liatin ponsel mulu, saya menjawab jumawa "lagi balesin testi temen di FS" atau "lagi bales email". Sejak saat itu banyak temen mulai deketin saya buat setting-in GPRS (bayangin bok, GPRS!) di ponsel mereka. Dunia begitu indah. Sekarang, jangan ditanya. Sejak internet mewabah bahkan ke pelosok paling pojok Indonesia dan jaringan 3G (bahkan 3,5G dan 4G) sudah menyentuh hampir semua ponsel, semua mendadak berubah. Ditambah lagi deretan ponsel pintar yang menawarkan akses ke dunia maya yang begitu mudah. Saya pun tak lepas dari jeratan dunia maya yang sudah menguasai dunia nyata tersebut. Saya bangga, mayoritas teman-teman saya sudah ga gaptek lagi, ga perlu saya setting-in GPRS di ponsel mereka lagi, karena layanan internet service sudah bisa di-setting langsung sejak beli di counter, tinggal bayar per bulan, semua beres. Di sisi lain saya sedih. Bukan, bukan karena saya yang tukang setting GPRS sudah di-PHK secara paksa oleh kejamnya kemajuan teknologi, tapi karena kualitas komunikasi saya dan teman-teman saya jadi menurun. DRASTIS! Misalnya, pada suatu siang, saya dan beberapa orang teman yang sudah lama tidak bertemu memiliki kesempatan untuk makan bersama. Pada saat menunggu pesanan, pada saat makan, selesai makan dan pada saat jalan pulang, hampir semua sibuk dengan ponsel mereka. Selang cuma beberapa menit dari bunyi "tut" sebelumnya, berbunyi lagi deretan "tut" yang mengikuti setelahnya, teman saya kembali sibuk dengan ponselnya. Begitu pula yang sering saya lihat di pusat perbelanjaan. Serombongan siswa berseragam putih biru berjalan bersama. Tapi hanya fisiknya yang bersama, mata dan pikiran sudah tenggelam di ponsel masing-masing. Berjalan pun sudah tak lurus, hampir menabrak kolom jadinya. Di dalam TransMusi, dalam satu deretan kursi semuanya memegang ponsel. Diam sebentar, lalu melirik ponsel lagi, diam lagi, dan seterusnya. Bukan cuma penumpangnya, kondekturnya pun bersikap begitu! Di dalam angkot, bus kota, sekolah, kampus, kursus, semua sama. Tak ada lagi senyum sapa sesama penumpang walau tak saling kenal. [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="semua berponsel ria di dalam TransMusi, termasuk kondekturnya"][/caption] Saya pernah merasa malu sekali ketika masih dalam masa Program Pertukaran Pemuda Indonesia Kanada (PPIK) oleh teman-teman saya orang Kanada gara-gara ponsel. Pada saat grup kami berkumpul untuk membahas sesuatu, tiba-tiba ponsel saya berbunyi, sms dari salah satu teman grup yang memberi kabar terlambat datang. Sial, pikir saya, saya lupa mengganti mode ponsel saya menjadi silent.Sudah bisa diprediksi, teman-teman saya orang Kanada langsung membombardir saya dengan berbagai teguran halus seperti, "i thought we were on a meeting, respect us please", sindiran sedang seperti "the Indonesians are in love with their smartphone" sampai sindiran tajam dan langsung seperti "can u shut ur phone up?". Saya, yang sebelumnya tidak pernah absen men-silent ponsel dalam kegiatan apapun, pada sekali itu saja LUPA men-silent-kan ponsel bisa sampai disindir sedemikian rupa. Bisa dibilang tidak respek. Sungguh lebih tajam dari silet! Apalagi jika saya memiliki kebiasaan sedikit-sedikit melihat ponsel, membalas tweet, membalas komen Facebook, kepo membaca timeline orang dan sebagainya. Bisa-bisa saya dicap sebagai orang yang tidak peduli lingkungan sekitar dan memiliki dunia sendiri. Bisa-bisa saya didepak dari program karena dianggap memilikiexclusive relationship dengan ponsel saya sendiri. Kualitas komunikasi pertemanan benar-benar sudah jungkir balik sekarang. Yang tidak akrab di dunia nyata, bisa menjadi sangat bersahabat dan super akrab sampe bisa saling panggil "iyaaa ciiiin, udah lama ga ketemu ciiiin", padahal baru ketemu sekali seumur-umur. Temen chatting yang asyik bertahun-tahun bisa jadi basi banget kalau ngobrol langsung. Walaupun tidak semuanya begitu. Makanya, jangan heran kalau saya sekarang malas berkumpul-kumpul kalau pada saat berkumpul itu teman-teman saya malah sibuk dengan ponselnya. Kalau mulut ini sudah tidak bisa direm, saking kecewanya, mungkin saya akan menjerit "saya kesini untuk mengobrol dengan kalian, untuk saling bertukar kabar karena sudah lama tak jumpa, bukan untuk melihat kalian sibuk dengan ponsel maha pintar kalian. Please respect me! Do u want me to be here or not? Kalau ponsel-ponsel itu lebih berharga daripada saya, lebih baik saya yang pergi". Lebay. Tapi itu belum terjadi, karena saya masih sabar. Karena saya pun kadang masih berlaku sama tak ubahnya mereka. Karena saya pun masih suka haha hihi sendiri membalastweet selagi bersama teman-teman saya. Saya rindu bercengkerama dengan teman-teman saya seperti dulu, bertemu langsung dan membahas semuanya dengan akrab. Menertawakan kebodohan-kebodohan dan membanggakan prestasi masa lalu sampai puas. Mendekatkan diri dengan bertukar cerita kehidupan sambil menikmati sup hangat di sebuah restoran cepat saji di suatu sore yang sejuk, misalnya. Tanpa diselingkuhi oleh ponsel-ponsel itu. Namun, kebanyakan sosok teman seperti itu cuma bisa saya temui di dunia maya sekarang. Karena kalaupun bisa saya temui di dunia nyata, belum sempat kabar tertukar, semua sudah kembali sibuk dengan ponsel masing-masing. Obrolan yang tadinya saya kira akan seru seperti dulu, beranjak basi, tak hangat lagi. Catatan

  • Terima kasih untuk para teman yang menghargai pertemanan dengan tidak berselingkuh dengan ponsel ketika sedang bertemu dan membahas sesuatu
  • Tulisan ini tidak membahas jenis vendor ponsel tertentu, mohon tidak cepat tersinggung bagi pengguna.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun