"Sabar ya, masih banyak kok yang lebih sulit daripada yang kamu alamin.."
"Ya ampun, masalah kamu belum ada apa-apanya dibanding masalahku!"
"Pokoknya, apapun yang terjadi, gak boleh sedih."
"Aku gak boleh nangis, aku anak kuat!"
Pastinya diantara kita semua pernah berbicara kata-kata tersebut kepada diri kita sendiri dan orang lain yang sedang curhat. Saya pun dulu juga sering berbicara seperti itu. Disamping memang masalah kita lebih besar daripada masalah mereka, tentu kita ingin menenangkan  dan menyemangati mereka bahwa, "gue aja bisa kok, jadi lo tenang aja". Ya, usaha kita untuk menenangkan dengan kata-kata seperti itu, ternyata tanpa disadari sangat berbahaya.
Toxic Positivity, itulah namanya. Istilah toxic positivity merujuk pada konsep yang mengatakan bahwa berpikir positif merupakan cara tepat untuk menjalani hidup. Dengan pola pikir sedemikian rupa, artinya kita hanya berfokus pada hal-hal positif dan menolak menerima apa pun yang dapat memicu emosi negatif. Meski terdengar menyenangkan, namun konsep berpikir positif tak sebaik yang digambarkan.
Saya pun baru mengetahui adanya hal ini saat saya lulus SMA. Ternyata selama ini saya terjebak dalam toxic positivity. Entah untuk diri saya sendiri, ataupun untuk orang lain yang mempercayakan diri saya menjadi tempat curhat. Saya menolak sesuatu yang negatif di dalam kehidupan saya, saya memaksa diri saya untuk selalu berpikir positif dan menyebarkan positive vibe.Â
Ternyata saya salah, hal yang saya lakukan bisa saja menjadi bumerang untuk kehidupan saya di masa depan. Saya belajar, bahwa setiap emosi memiliki pesan. Jika saya terus memendam dan melawan, maka saya akan mengalami tekanan, emosi negative saya akan menumpuk, dan berakibat menganggu psikis saya. Untungnya, saya memperdalami dan belajar mengenai kesehatan mental.Â
Saya mulai belajar untuk merasakan apa yang saya rasakan tanpa menolaknya, saya mulai belajar mencintai diri saya, dan menganggap bahwa semua perasaan saya valid.