Mohon tunggu...
Adinda Putri Kirana Lutfi
Adinda Putri Kirana Lutfi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hanya seorang mahasiswi di semester enam

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Diskursus Feminisme: Hak Perempuan dalam Omnibus Law Cipta Kerja

22 April 2021   10:30 Diperbarui: 22 April 2021   11:37 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo source: kompas.com, apc.org, newsstatesman.com, aljazeera.com diolah oleh penulis

Penghapusan hak perempuan di tempat kerja ini hanya akan meneruskan pelanggaran hak para pengusaha terhadap tenaga kerja perempuan yang kerap melakukan PHK terhadap tenaga kerja yang hamil dan melahirkan, seperti yang sering terjadi di berbagai kasus di Indonesia. Pada akhirnya, praktik ini juga akan membatasi akses perempuan hamil terhadap pekerjaan.

Terlebih lagi tenaga kerja perempuan yang diupah per jam merupakan kelompok yang paling terdampak. Dimana pemberian upah tersebut hanya diberlakukan ketika tenaga kerja tersebut sedang melakukan aktivitas produksi, maka dari itu mereka akan kehilangan akses terhadap hak cuti haid, melahirkan, keguguran, dan kesempatan menyusui ataupun memerah ASI ditempat kerja karena dianggap sedang tidak produktif.

Padahal, memang sudah seharusnya menjadi kewajiban pengusaha untuk memberikan perlakuan non diskriminasi pada tenaga kerja perempuan yang mengalami haid maupun kehamilan, baik dari adanya pemberian cuti berbayar, larangan pemecatan, pemberian layanan ibu dan perawatan anak yang memungkinkan tenaga kerja perempuan kembali bekerja dengan layak dan nyaman, maupun penyediaan fasilitas K3 yang memadai di tempat kerja.

Melihat hal tersebut, perempuan seperti telah terjerumus dalam situasi kerja tidak manusiawi karena target dan jam kerja yang panjang, upah yang seringkali jauh dari standar hidup layak, kontrak kerja yang tidak jelas, atau bahkan tidak diakui sebagai pekerja. Ketimpangan relasi tersebut menyebabkan perempuan sangat rentan mengalami kekerasan fisik maupun seksual seperti perkosaan dan pelecehan seksual ketika sedang bekerja. Hak perempuan di eksploitasi tanpa batas, dengan adanya peraturan tersebut maka perempuan tidak terbebaskan dan semakin jauh dari akses pemberdayaan.

Perjuangan para aktivis feminis terdahulu masih harus terus berlanjut demi terpenuhinya hak-hak perempuan, terutama dalam lingkungan pekerjaan. Perjuangan tersebut dilakukan agar tercapainnya cita-cita bahwa perempuan dan laki-laki dapat bekerja bersama-sama mengekspresikan potensi diri mereka secara maksimal, tidak superior, dan tidak inferior. Dimana keduanya dapat menikmati hak yang memang seharusnya mereka dapatkan.

"Feminism isn't about making women strong. Women are already strong. It's about changing the way the world perceives that strength" - G.D Anderson

Bibliography

  • Tong, R. (2009). Feminist Thought: A More Comprehensive. Boulder, Colo: Westview Press.
  • Nino, L. (2006). Women: Feminism, Sexuality, and Equality in the Work Place. E-leader, 1-9.
  • Ida Hidayatul Aliyah, S. K. (2018). Feminisme Indonesia dalam Lintasan Sejarah. Jurnal Pembangunan Sosial Volume 1 Nomor 2, 140-153.
  • Izziyana, O. S. (2020). Konsep Omnibus Law dan Permasalahan RUU Cipta Kerja. Jurnal Umpo Vol 5 No 1, 22-29.
  • Nuryati. (2015). Feminisme dalam Kepemimpinan. Jurnal Istinbath No 16, 161-179.
  • Rizky. P. P. Karo Karo, A. F. (2020). Konsepsi Omnibus Law terhadap Perlindungan Tenaga Kerja Wanita di Indonesia. Jurnal Dharmawangsa Volume 14, Nomor 4, 723-729.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun