Mohon tunggu...
R Adin Fadzkurrahman S.IP
R Adin Fadzkurrahman S.IP Mohon Tunggu... Ilmuwan - Kendal, Jawa Tengah

Seyogyanya saja

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kasus Setnov dalam Perspektif Pancasila dan UUD 1945

23 November 2017   17:16 Diperbarui: 24 November 2017   05:30 13830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orang harus mengikuti apa yang sesuai dengan hukum dan menjauhi apa yang tidak sesuai dengan hukum. Secara jelas ketentuan ini terdapat dalam surat yang menyatakan:"Dan bertolong-tolonglah untuk kebaikan dan ketaqwaan, dan jangan bertolong-tolongan untuk dosa dan permusuhan" (Qur'an Surat 5:2) (Miriam Budiardjo, 2010:241). 

Sebagai rakyat yang hidup didalam sebuah negara yang berlandaskan hukum adalah diwajbkan untuk mentaati hukum yang berlaku didalam negara Indonesia dalam konteksnya, sedangkan hukum yang dimaksud ialah hukum yang berlandaskan UUD 1945 yang berdasarkan Pancasila, sebagaimana dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1)  mengenai WARGA NEGARA DAN KEPENDUDUKAN yang menyatakan "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."

Warga negara memiliki kedudukan yang sama dimata hukum tanpa terkecuali, yang jika di artikulasikan ialah warga negara adalah memiliki kewajiban sebagai warga negara untuk mentaati hukum yang ada dan memiliki hak untuk memperjuangkan haknya dimata hukum untuk memperoleh keadilan sebagai warga negara yang dalam hal ini konteksnya adalah hukum, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) tentang HAM. Kedudukan seluruh organis manusia didalam negara Indonesia entah itu Pejabat, Bangsawan, Pemuka agama dan juga rakyat biasa tentu tidak aka nada pembeda dimata hukum yang dianut bangsa ini, dalam konteks permasalahan yang terjadi di Indonesia khususnya kasus korupsi yang banyak menjadi sorotan publik nasional dan Internasional hukum adalah sangat urgen untuk ditegakkan. 

Akan tetapi dilain pihak banyak para oknum-oknum pejabat yang seakan-akan menunjukkan superioritasnya dimata hukum dan cenderung menyepelekannya yang jika diartikulasikan banyak pejabat yang menjadi terduga kasus korupsi memiliki imunitas atau kekebalan terhadap penegakan hukum. 

Dan yang terbaru ialah kasus korupsi mega proyek E-KTP  yang menjerat banyak nama pejabat baik di tingkat pusat maupun daerah. Akan tetapi yang menjadi sorotan ialah kasus dugaan korupsi proyek E-KTP yang menjerat ketua umum Dewan Perwakilan Rakyat, yakni Setya Novanto yang dinilai oleh masyarakat terlalu banyak melakukan drama untuk menghindar dari hukum.

Perilaku seperti ini adalah merupakan contoh buruk dari pejabat bangsa ini yang tidak mentaati proses berjalannya hukum dinegara ini,, mulai dari tidak menghadiri pengadilan yang dilaksanakan sampai yang terburuk ialah melakukan pembangkangan terhadap proses hukum yang semestinya harus dilaksanakan demi menjamin kesamaan hak dan kewajiban sebagai rakyat dimata hukum dan ketika seorang pejabat yang tersangkut masalah korupsi. 

Pembangkangan terhadap proses hukum yang ada didalam negara yang dimaksud adalah tidak menghadiri proses hukum yang sedang berjalan yang rasanya sudah lengkalah dan layak disebut sebagai pembangkangan terhadap hukum dan ketika melakukan pembangkangan terhadap hukum maka bolehlah kita (Bangsa) ini menyebutnya sebagai "Pengkhianat Negara dan Bangsa" dan mau tidak mau harus dicabut hak-haknya sebagai warga negara.

Perilaku Ketua DPR-RI yang sedemikian rupa tentu memberikan pengaruh terhadap stigma masyarakat terhadap hukum dinegara ini yang dapat ditarik kesimpulan bahwa pejabat tinggi memiliki imunitas terhadap hukum dan seenaknya menyepelekan proses penegakan hukum.

Dalam perspektif Pancasila perilaku Setya Novanto adalah telah benar-benar menciderai nilai-nilai pancasila yang idealnya melekat didalam diri bangsa ini khususnya pejabat negara sebagai suatu mesin yang menyelenggarakan pemerintahan negara ini. Pancasila bukan hanya sebuah ideologi yang dihasilkan dari sebuah kesepakatan semata akan tetapi pancasila juga sebagai falsafah negara yang mengatur, merumuskan kebijakan, membuat perundang-undangan dan produk hukum lainnya. 

Meminjam pendapat Abdurrahman Wahid (1991:163)  yang dikutip oleh  Cholisin (2012: 2) " menyatakan Pancasila sebagai falsafah negara berstatus sebagai kerangka berpikir yang harus diikuti dalam menyusun undang-undang dan produk hukum yang lain, dalam merumuskan kebijakan pemerintah dan dalam mengatur hubungan formal antar lembaga-lembaga dan perorangan yang hidup dalam kawasan negara ini." Dari pendapat Abdurrahman Wahid maka dapat dijabarkan bahwa segala sesuatu tentang perundang-undangan dan produk hukum lainnya adalah berasal dari pancasila sebagai falsafah negara ini, yang kebenarannya tentu sudah disusun secara sistematis.

Lalu ketika perilaku seorang pejabat tinggi publik tidak taat terhadap proses penegakan hukum didalam negara ini, tentu dapat disimpulkan bahwa terdapat keraguan-raguan dan ketidak percayaan seorang Setya Novanto terhadap terhadap hukum dinegara ini juga tak terkecuali kebenaran daripada Pancasila sebagai sebuah Ideologi bangsa ini. Bahkan jika dipandang dari sudut pandang sila kedua yakni "Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang berketuhanan Yang Maha  Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun