Mohon tunggu...
Pusawi Adijaya
Pusawi Adijaya Mohon Tunggu... profesional -

Dunia Dalam Genggaman

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sosok Endin Fakhruddin Masthuro wafat

15 Juni 2012   20:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:56 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1339792993905482446

[caption id="attachment_188312" align="aligncenter" width="300" caption="KH. Endin Fakhruddin Masthuro (Alm). Sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,38385-lang,id-t,Mustasyar+PBNU+Ajengan+KH+Endin+Fakhrudin+Wafat-.phpx"][/caption]

Belum hilang duka saya atas wafatnya Mbah Liem, Kamis, 24 Mei, kini duka itu bertmbah setelah K.H. Masthuro wafat, Jumat (15/6) dini hari. Saya berduka karena beliau (K.H. Masthuro) adalah seorang Almarhum yang merupakan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang banyak ikut andil dalam mengisi kemerdekaan Republik Indonesia dan beliau banyak memberi pencerahan hati pada banyak ummat. Saya turut berduka cita sedalam-dalamnya.Semoga amala Beliu diterima oleh Allah SWT. Amiin.

KH. Endin Fakhruddin Masthuro wafat pada hari Jumat (15/6) dini hari. Almarhum yang akrab disapa Abah Endin ini menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit ASRI Kalibata, Jakarta sekitar pukul 01.25 WIB. KH Endin Fakhrudin Masthuro wafat di usia 74 tahun karena penyakit jantung koroner yang diderita Beliau. Jenazah almarhum dimakamkan di Kompleks Pemakaman Al-Masthuriyah di samping ayahanda KH Masthuro dan Habib Syeikh bin Salim Al Athas.

KH Endin Fakhruddin Masthuro dilahirkan di Kampung Cikaroya, sebuah kampung yang bertetangga dengan Kampung Tipar tempat Al-Masthuriyah kini berada, pada tahun 1901. Ayahnya bernama Amsol. Bapak Amsol sering juga disebut Bapak Uha. Nama Uha diberikan orang kepada Bapak Amsol karena diambil dari salah seorang putranya. Keseharian Bapak Amsol adalah sebagai Amil atau Lebe yang bertugas mengurusi masalah keagamaan di desa. Bapak Amsol adalah nama samaran dari Asror. Beliau menggunakan nama samaran itu untuk menghindar dari kejaran Belanda. Karena tidak mau tunduk ke penjajah, beliau melarikan diri dari Kuningan ke Bogor yang kemudian memperoleh istri dari Cimande Bogor yang bernama Ibu Eswi.

Pendidikan

Sebagaimana kebiasaan masyarakat pedesaan pada masa itu, K.H. Masthuro memulai kegiatan mencari ilmunya dengan belajar membaca Al-Quran. Ini dimulainya pada saat ia berusia enam tahun, yaitu pada tahun 1907. Guru pertama beliau dalam membaca Al-Quran ini adalah Ayahnya sendiri, Bapak Amsol.

K.H. Masthuro pada tahun 1909 dalam usianya menginjak tahun kedelapan, pergi menuntut ilmu di Pesantren Cibalung Desa Talaga Kecamatan Cibadak Sukabumi yang dipimpin oleh K.H. Asyari yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari Kampung Tipar.

Di Pesantren ini K.H. Masthuro selain memperdalam penguasaan membaca Al-Quran, juga mulai mempelajari kitab-kitab kuning. Disinilah pertama kali K.H. Masthuro mengenal kitab-kitab kuning yang menjadi rujukan dibanyak pesantren sampai sekarang. Pada tahun 1911 pada saat usianya 10 tahun, K.H. Masthuro masuk sekolah kelas II di Rambay Cisaat yang berjarak 4 kilometer sebelah Timur Kampung Tipar. Beliau pergi ke sekolah setiap hari dengan berjalan kaki. Pada tahun 1914, setelah tiga tahun belajar di sekolah ini, ia berhasil lulus dengan memperoleh ijazah.

Di samping sekolah di Rambay, K.H. Masthuro pada tahun yang sama ia juga mengaji kitab-kitab kuning di Pesantren Tipar Kulon yang dipimpin oleh K.H. Kartobi. Di pesantren ini, ia perdalam kembali apa yang pernah diperolehnya di Pesantren Cibalung sambil meningkatkan diri untuk mempelajari kitab-kitab yang belum pernah dipelajari di Pesantren Cibalung itu.

Selepas menamatkan pendidikannya di sekolah di Rambay, K.H. Masthuro kembali menjelajah dunia pesantren. Pada tahun 1914, ia kembali mengaji kitab-kitab kuning. Kali ini pesantren yang dipilihnya adalah Pesantren Babakan Kaum Cicurug Sukabumi yang dipimpin oleh K.H. Hasan Basri yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Kampung Tipar.

Pada masa yang sama, K.H. Masthuro juga ikut mengaji di Pesantren Karang Sirna Cicurug yang dipimpin oleh K.H. Muhammad Kurdi. Jarak yang tidak begitu jauh dari pesantren tempat ia tinggal, memungkinkannya untuk mengaji di dua pesantren pada saat yang bersamaan. Di pesantren ini, seperti juga di pesantren-pesantren lainnya, K.H. Masthuro mempelajari kitab-kitab kuning terutama yang belum dipelajarinya. Di dua pesantren di atas, K.H. Masthuro hanya mengaji selama satu tahun saja. Pada tahun berikutnya, 1915, K.H. Masthuro mengaji kitab-kitab di pesantren Paledang Cimahi Cibadak Sukabumi pimpinan K.H. Ghazali.

Pada tahun yang sama, yaitu 1915, K.H. Masthuro berpindah ke Pesantren Sukamantri Cisaat yang diasuh dan dipimpin oleh K.H. Muhammad Sidiq. Jarak pesantren ini dengan rumahnya sekitar lima kilometer. Pada tahun 1916 masuk Sekolah Ahmadiyah yang terletak di Kota Sukabumi. Nama Ahmadiyah ini bukanlah nama salah satu aliran, Ahmadiyah, yang ada dalam ummat Islam seperti sekarang ini. Pada tahun yang sama, K.H. Masthuro juga mempelajari kitab-kitab di Pesantren Pintuhek, Sukabumi, yang dipimpin oleh K.H. Munajat.

Pada tahun 1918, K.H. Masthuro mengaji kitab-kitab di Pesantren Cantayan yang dipimpin oleh K.H. Ahmad Sanusi. Di pesantren ini, beliau belajar selama dua tahun dan selesai pada tahun 1920.

Pada tahun 1920 itulah beliau kembali ke kampung halamannya untuk membuka lembaran baru yang cerah dan menyinari masyarakat yang dalam kegelapan dengan membuka pesantren sebagai tempat pengamalan ilmunya dan pengabdiannya kepada masyarakat untuk meraih mardlatillah. Kendatipun K.H. Masthuro sudah kembali ke kampungnya dan sudah mendirikan pesantren yang memiliki santri yang banyak serta menjadi ulama yang dihargai dan dihormati, dorongan untuk menuntut ilmunya tidak terhenti. Semangat memperdalam pengetahuan dan memperluas wawasannya tidak pernah padam.

Dalam kapasitasnya sebagai seorang ulama dan kyai, K.H. Masthuro ikut mengaji kitab-kitab di Sukabumi yang dilaksanakan oleh Al-Habib Syech Ibn Salim Al-Attas, seorang ulama besar keturunan Nabi Muhammad SAW. Disinilah Al-Habib Syech mlihat sifat-sifat mulai pada diri K.H. Masthuro; tawadu, ikhlas, ta’dzim kepada guru, cerdas, dan sebagainya. Karena akhlaq karimah yang dimilikinya, membuat Al-Habib Syech begitu mencintainya. Kecintaan dan rasa hormat K.H. Masthuro kepada habaib (keturunan Rasullah SAW) semakin mempertebal kecintaan gurunya. Sehingga pada saat menjelang wafatnya, Al-Habib Syech meminta untuk dikebumikan di samping murid kesayangan dan kepercayaannya, K.H. Masthuro. Kini, murid dan guru dikebumikan berdampingan. Suatu bukti antara keduanya terjalin bukan hanya hubungan cinta dan kasih sayang, tetapi lebih dari itu.

Kiprah dalam Masyarakat

Selain sebagai pimpinan dan pengasuh Pesantren dan Madrasah Sirojul Athfal/Banat, K.H. Masthuro juga berperan sebagai tokoh masyarakat. Sebagai tokoh, suara Kyai biasanya lebih didengar daripada suara penguasa (umara). Ini disebabkan bahwa apa yang diungkapkan Kyai dan tokoh keagamaan lain didasari oleh niat yang ikhlas untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Sedangkan suara ‘umara lebih ditafsirkan masyarakat sebagai upaya melestarikan kekuasaannya. Dengan kenyataan ini, tak jarang umara meminta bantuan ulama untuk menyampaikan sesuatu programnya dengan bahasa dan pendekatan yang biasa digunakan oleh para ulama dan tokoh keagamaan itu. Dengan cara ini, biasanya program itu dapat dilaksanakan sesuai dengan yang ditetapkan.

Dalam kesehariannya, K.H. Masthuro selalu menempatkan masyarakat sebagai hal yang harus diperhatikan dan diayomi. Kepada para santrinya, selain diajarkan pendidikan agama, juga diajarkan pendidikan kemasyarakatan. Suatu bukti bahwa K.H. Masthuro memiliki perhatian yang besar terhadap masyarakat. Inilah modal yang memperkuat kedudukan K.H. Masthuro sebagai tokoh masyarakat. Dalam masalah pendidikan, kepada masyarakat K.H. Masthuro selalu menganjurkan dan bahkan dengan tegas memerintahkan agar memasukkan anaknya ke sekolah atau pesantren.

Kesulitan dalam masalah ekonomi dipecahkan oleh K.H. Masthuro dengan membebaskan mereka yang tidak mampu. Dalam catatan buku stambook murid didapati beberapa masyarakat yang tidak membayar uang sekolah, dan ada pula yang membayar dengan jumlah di bawah yang ditentukan . (Stambook Sekola Agama Desa Tjimahi). Bagi K.H. Masthuro yang terpenting adalah masyarakat dapat menikmati pendidikan. Dengan demikian, kewajibannnya sebagai ulama dalam membina dan mendidik masyarakat sudah dilaksanakannya.

Dalam masalah kesejahteraan masyarakat, K.H. Masthuro juga sangat memperhatikannya. Dalam setiap kesempatan mengambil ikan di kolam (Sunda : ngabedahkeun) miliknya, K.H. Masthuro selalu mengikutkan masyarakat dan membebaskan mereka mengambil ikan yang saat itu sedang dipanen. Bahkan apabila dilihatnya ada masyarakat yang karena kurang lihai, mendapatkan hasil yang sedikit, K.H. Masthuro tak jarang menambahkan pendapatan ikannnya itu. Begitu selalu dilaksanakan dalam setiap panen mengambil ikan.

Orangtua, janda, dan yatim piatu juga sangat diperhatikan K.H. Masthuro. Apabila ada rumah mereka yang rusak diperbaikinya bersama-sama masyarakat yang lainnya. Atau apabila tidak memiliki rumah, K.H. Masthuro mempeloporinya gerakan untuk membangun rumah bagi janda, pakir miskin, dan jompo. Gotongroyong pun dilaksakan dengan masyarakat. Peran K.H. Masthuro dalam gerakan ini bukan hanya sebagai penggerak, tetapi langsung menjadi pelaksananya.

Masalah hak pribadi, juga diperhatikan K.H. Masthuro. Pernah K.H. Masthuro mengajak Bapak Mari, seorang preman yang tinggal di Kampung Jamatan Desa Cimahi diajaknya memancing ikan. Dengan diajak memancing, berarti kesempatan Bapak Mari untuk memperoleh penghasilan sehari-harinya menjadi tidak terpenuhi. Bagaimana ia akan memberikan uang belanja kepada istrinya ?

Sebagai orang yang mengerti dan tahu hak, K.H. Masthuro memberikan uang kepada istri Bapak Mari yang diajaknya memancing, dengan berkata : Bi, ini uang untuk belanja. Hari ini, Mamang saya ajak memancing. Bukan hanya itu. Sepulangnya dari memancing, setelah menjamu Bapak Mari makan besar K.H. Masthuro juga membekali Bapak Mari berbagai makanan yang tadi disantapnya untuk diserahkan kepada istrinya .

Dalam masalah pelaksanaan ajaran agama Islam bagi masyarakat, K.H. Masthuro tidak melepaskan tanggungjawab sebagai tokoh agama. K.H. Masthuro selalu mengajak dan menyuruh masyarakat dengan tegas dan bijaksana untuk selalu mengikuti shalat berjamaah dan mengaji yang disediakan khusus untuk mereka. Teguran dan bentakan keras yang berdasar amar maruf nahyi munkar tak jarang terlontar dari mulut K.H. Masthuro. Karena itu, kegiatan shalat berjamaah selalu ramai selain oleh santri juga oleh masyarakat. Masyarakat ke mesjid bukan hanya pada shalat jumat saja, tetapi dalam seluruh shalat maktubah, sampai saat ini.

Wasiat Sebelum Meninggal

Wasiat adalah amanat yang disampaikan oleh seseorang sebelum ia meninggal dunia. Wasiat umumnya disampaikan oleh orangtua kepada anaknya. Anak yang diwasiati, sebagai bukti birr Al-walidain, harus melaksanakan wasiat itu. Sebelum wafat K.H. Masthuro mewasiatkan 6 hal kepada anak-anak dan mantu-mantunya, (dalam bahasa Sunda), yaitu :

  1. Kudu ngahiji dina ngamajukeun Pesantren, Madrasah. Ulah Pagirang-girang tampian.
  2. Ulah Hasud
  3. Kudu nutupan kaaeban batur
  4. Kudu silih pikanyaah
  5. Kudu boga karep sarerea hayang mere
  6. Kudu mapay thorekat anu geus dijalankeun ku Abah

Wasiat K.H. Masthuro point pertama memiliki makna penting dalam menanamkan dan memperkuat kembali keinginan untuk mengembangkan lembaga pendidikan yang dirintisnya. Wasiat ini diungkapkan dengan jelas agar para pewaris perjuangan K.H. Masthuro tidak sulit menafsirkan maknanya.

Di antara penafsiran yang pernah dilontarkan adalah bahwa memajukan dan mengembangkan pesantren dan sekolah, bukan hanya tinggal, mukim, dan mengajar di Al-Masthuriyah. Siapapun dan dimanapun memiliki kesempatan untuk memajukan Al-Masthuriyah. Kenyataannya, 100% anak KH. Masthuro tinggal di Al-Masthuriyah dan hanya sekitar 20% cucu K.H. Masthuro yang tidak tinggal di Al-Masthuriyah. Ini menandakan bahwa wasit itu sangat berpengaruh sekali terhadap keinginan generasi K.H. masthuro untuk memajukan dan mengembangkan pesantren dan sekolah.

Dalam memajukan dan mengembangkan pesantren dan sekolah ini, tidaklah harus menjadi pemimpin dalam lembaga itu. Perebutan Kekuasaan dalam lingkungan keluarga, apalagi keluarga besar adalah ancaman dan bahaya laten yang selalu menghantui persaudaraan dan keharmonisan. K.H. Masthuro ternyata cukup arif dan berpandangan jauh. Selain berwasiat untuk memajukan pesanten, beliau juga mengimbangi dengan wasiat agar tidak memiliki keinginan yang besar dalam menduduki jabatan pimpinan.

Jabatan bagi K.H. Masthuro suatu amanah. Bila dipercaya, dilaksanakan. Bila tidak dipercaya, jangan memperebutkannya. Hal seperti itulah yang selalu diungkapkan dalam setiap kesempatan pembacaan wasiat.

Bila ada kesepakatan untuk menentukan pilihan pimpinan, maka yang lain harus mau menerimanya, bagaimanapun asalnya. Ini pula salah satu yang dikehendaki dari wasiat yang kedua, Jangan Hasud. Hasud artinya iri terhadap kenikmatan yang dimiliki orang lain. Hasud terhadap kepemimpinan seseorang bisa berakibat lahirnya usaha-usaha untuk menggulingkan kepemimpinannya.

Untuk menjaga keutuhan keluarga sebagai modal keutuhan lembaga, K.H. Masthuro juga berwasiat agar menutupi keaiban dan kekurangan orang lain, termasuk dan terutama saudara. Dengan tidak mengungkapkan kelemahan dan kejelekan saudanya, berarti tidak ada orang lain yang akan tahu tentang sesuatu komplik yang terjadi dalam lingkungan keluarga. Apabila ada pihak ketiga yang mengetahui, sudah menjadi sunnatullah, pihak ketiga ini biasanya mengungkapkan kembali ke pihak lain atau ke salah satu pihak yang terlibat dalam komplik, dengan penambahan-penambahan yang didasari dengan niat yang buruk. Akibatnya sudah dapat dibayangkan, komplik semakin meruncing, keutuhan keluarga terancam, dan artinya kelembagaan pesantren dan madrasahpun terancam pula.

Hubungan kekeluargaan sekalipun berada dalam lingkup birokrasi kepemimpinan formal tetap saja harus berdasarkan kasih sayang. Itu yang dikehendaki dari wasiatnya yang keempat. Hubungan saling mengasihi keluarga dan saudara akan melahirkan keharmonisan dan keakraban serta keutuhan keluarga.

Makna wasita yang kelima, harus memiliki keinginan memberi, memberi tekanan agar mampu mengayomi orang lain dalam masalah ekonomi; membantu orang yang tidak mampu. Kenikmatan kekayaan yang dimilki hendaknya tidak hanya digunakan untuk kepentingan pribadi semata, tetapi orang lain harus dapat menikmatinya. Apabila memberi ini dilaksanakan, maka hasud dapat dihindari.

Wasiat yang terakhir menghendaki agar keturunan dan pewaris K.H. Masthuro berjalan searah dengan apa yang telah digariskan K.H. Masthuro. Langkah-langkah perjuangan harus mengikuti K.H. Masthuro dalam arahnya. Dalam bidang pendidikan juga harus seirama dengan apa yang dilaksanakan K.H. Masthuro, terutama dalam pengembangan pendidikan Islam.

Apa yang diungkapkan K.H. Masthuro dalam wasiatnya itu, ternayata cukup ampuh dalam menjaga keutuhan keluarga sekaligus menjaga eksistensi pesantren dan madrasah. Apabila ada komplik keluarga atau bahkan bunga-bunganya, anak K.H. Masthuro akan menahan diri dengan selalu mengingat akan wasiat yang diucapkan orangtua tercinta yang harus berbuat baik kepadanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun