Mohon tunggu...
Guritno AS
Guritno AS Mohon Tunggu... Penulis - Penulis | Pengajar | Wiraswasta

Seorang pengajar yang hobi menulis. Biasa menulis di media sosial, LinkedIn, Esaiedukasi.com dan tentu saja Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dengki, Minum Racun Bermimpi Orang Lain Mati

13 Juni 2020   02:24 Diperbarui: 13 Juni 2020   02:31 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber : Unsplash)

Soe Hok Gie pernah berujar bahwa orang yang paling beruntung adalah mereka yang tak pernah dilahirkan. Setujukah Anda? Atau ingin protes? Tentu saja bukan tanpa alasan aktivis pendongkel Bung Karno tersebut berujar demikian. 

Hidup memberikan kesempatan pada semua makhluk untuk mencintai dan dicintai, sekaligus membenci dan dibenci. Setiap persinggungan dengan manusia lain tentu akan menghasilkan gejolak emosi, bisa iri, dengki, marah atau bahagia. 

Dalam tulisan Besi Menajamkan Besi, Manusia Mengasah Sesamanya, memang benar kehidupan menawarkan aneka hubungan dan relasi. Dari situ manusia terasah. Bisa menjadi semakin bijak dan cerdas. Bisa juga terluka. 

Imajinasi adalah sesuatu yang hakiki. Bahkan imajinasi adalah bahan bakar sains. Sedang sains adalah motor penggerak peradaban. Lantas bagaimana dengan imajinasi dari para pendengki? Tidak lain dan tidak bukan adalah fantasi untuk mencelakakan sesamanya.

Manusia Sempurna

Hitler membuat banyak orang percaya, Arya adalah jenis manusia terbaik dan paling sempurna di alam semesta ini. Sebuah ciri khas dari fasisme, yaitu kesombongan akut pada diri sendiri. Bisa pada ras sendiri, partai sendiri, golongan sendiri atau kesatuan sendiri.

Impian mencari citra manusia sempurna memang merupakan cita-cita manusia sedari dulu. Orang Yunani melambangkannya pada Hercules yang kuat, Oddeseus yang pemberani atau Athena yang bijak. Orang Mesir mengagungkan hewan-hewan tertentu hingga lahir cerita makhluk-makhluk hybrid berbadan manusia berkepala burung, atau setengah pria setengah singa. 

Tetapi benarkah ada manusia sempurna? Sekuat beruang, selembut malaikat dan seberani ksatria-ksatria dalam cerita-cerita? Tentu tidak ada. Justru karena ketidaksempurnaan itu maka manusia disebut manusia, bukan dewa atau malaikat. 

Namun sulit rasanya menginsafi ketidaksempurnaan. Inipun juga bagian dari kemanusiaan. Bagi mereka yang belum selesai dengan dirinya sendiri, maka sering mereka melihat orang lain sebagai sosok yang sempurna, bukan untuk dipuja, melainkan dijatuhkan. Disilah salah satu faktor lahirnya dengki, kemarahan atas kesempurnaan orang lain.

Mendengki Sampai Mati

Dengki bisa berubah jadi penyakit yang menggerogoti jiwa, mengubah pandangan yang tadinya cerah berbinar menjadi gulita penuh amarah. Hati jadi tidak tenang dan semangat naik turun. Dengki lebih berbahaya dari luka karena memegang panci yang panas atau kena beling. Karena urusannya adalah tentang hati yang kotor yang membuat pikiran akhirnya mereka-reka celaka orang lain. 

Imajinasi adalah sesuatu yang hakiki. Bahkan imajinasi adalah bahan bakar sains. Sedang sains adalah motor penggerak peradaban. Lantas bagaimana dengan imajinasi dari para pendengki? Tidak lain dan tidak bukan adalah fantasi untuk mencelakakan sesamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun